Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AHY Belajarlah pada Fahri Hamzah

9 Oktober 2020   11:06 Diperbarui: 9 Oktober 2020   11:09 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

AHY Belajarlah pada Fahri Hamzah

Siapa tidak  kenal dengan reputasi Fahri Hamzah di dalam bersikap menghadapi Jokowi dan pemerintah. Oposan dari oposan ya Fahri dan Fadli. Duo dan duet maut dari meja pimpinan dewan masa lalu, mereka seolah di atas para dewa politik bangsa ini.

Penghargaan pada hari Kemerdekaan menjadikan Fahri mendapatkan lagi panggung, ketika ia beralih partai baru. Kancah dan panggung politik yang tidak lagi memberikan ia tempat, ternyata ada berkah dengan penghargaan itu, sehingga menjadi pembicaraan lagi.

Kemudi berputar, haluan menjadi berbeda demi Gelora tentu saja, menyatakan dukungan pada anak dan menantu Jokowi. Pembelaan yang akan sangat mustahil seperti itu, jika masih pada kandang, eh partai lama. Ini permainan politik semata.

Kini, panggung milik Fahri, yang menusuk langsung pada dua partai politik yang sedang memainkan narasi menolak UU Cipta Kerja. Sah secara konstitusi, namun sangat naif jika bicara ranah etis dan moral. Fahri mengatakan tolak ya sejak awal bukan pada ujung.

Logis, ketika begitu banyak rekaman terbuka, bagaimana SBY dulu mengaku bahwa produk ini sama dengan gagasannya dulu. Cek sendiri, ini bukan mau berbicara itu.  Artinya, ketika dulu mengaku itu sebagai sama, kini menolak, apakah SBY lupa, atau karena AHY menjadi malin kundang? Tidak keduanya.

Kepentingan pilkada. Lagi-lagi cara basi yang dilakukan Demokrat dan AHY. Cara yang sangat cemar bukannya tenar. Malah cenderung lebih buruk karena rusuh di mana-mana kini terarah kepada Demokrat. Sangat mungkin ini juga nanti menjadi permainan politik korban yang sudah tidak akan laku.

PKS perlu hati-hati, gerbong Anies Mata dan Fahri jauh lebih militan dan matang. Lihat bagaimana Fari yang sudah dipecat oleh pengurus PKS masih tetap menjadi wakil ketua lagi di DPR. Ini jangan dianggap sepele. Kekuatan yang cukup kuat di dalam keseluruhan partai.

Kini,  ketika menjadi partai baru, Fahri memainkan cara dan trik yang bertolak belakang dengan yang sudah biasa ia lakukan. Tentu ini brbicara demi  kepentingan sendiri dan Gelora bukan demi membela atau mendukung Jokowi. Era Jokowi sudah berakhir, karena dua periode pemerintahan. Artinya sudah  tidak ada manfaat secara langsung.

Mendukung anak dan mantu Jokowi dan kemudian UU Cipta Kerja jelas sebuah pilihan baik dalam kondisi perpolitikan yang seperti ini. PKS yang maunya head to head full frontal pada pemerintah, tentu banyak kader dan anggota yang tidak suka. Kesempatan yang baik dipakai oleh Fahri untuk menampung mereka itu.

Kondisi PKS bisa limbung jika ini benar-benar sukses dilakukan dan akan terus demikian terjadi. Sudah mendapatkan basis massa yang cukup kuat. Permainan politik ini jelas untuk menarik simpati publik yang masih demikian luas demi partai Gelora lebih gede. Cerdik permainannya.

Melawan kondisi yang sangat kuat, saat ini malah menjadi bumerang. PKS dan Demokrat menggalii kuburnya sendiri. Kesalahan yang mungkin ada itu bawa ke MK bukan malah demo dan anarkhi. Sangat mungkin disusupi olehkepentingan lain. Memang ke MK sangat tidak populer dan media tidak suka dan mengekspos besar-besaran.

Kini, semua mata dan penilaian akan menuding Demokrat di balik rusuh di mana-mana. Mosok yang demikian mau dijual sebagai bahan kampanye pilkada dan 24? Kembali politik cemar asal tenar dipakai, padahal sudah tidak lagi laku.

Belum lagi, dua pekan ke depan, ketika angka penderita positif covid meningkat tajam karena klaster demo mengemuka. Tudingan kepada Demokrat akan kembali menjadi-jadi, siapkah AHY menahan serangan ini? Atau malah akan blunder lagi? Layak ditunggu dan asyik pastinya.

Pengalaman Fahri sebagai mahasiswa pergerakan cukup membantunya dalam melihat kondisi politik dengan lebih jeli.  Dukungan itu dihitung, bukan hanya asal dukung dan selesai. Kalkulasi masak demi kepentingan politik tentu saja.

Hal demikian yang jauh belum dikuasi AHY. SBY mungkin pernah sukses dengan caranya ketika menelikung  Megawati, kondisi berbeda. Lagi-lagi politik copasan menjadi gejala.

Permainan politik berbeda dengan permainan militer, hal yang belum bisa AHY pahami, alami, dan pelajari. Semua berantakan karena kurang pengalaman juga. SBY kehilangan feeling berpolitik. Tentu karena kehilangan almarhum Ibu Ani yang sangat mungkin adalah penasihat potensial, juga karena usia.

Pengalaman AHY juga masih relatif hijau, selain masih dalam dan mengambil bayang-bayang SBY atau Yudoyono Senior.  Pilihan-pilihan bagi konstituen itu penting, bukan malah demi pemikiran mereka saja. Masih ada waktu untuk 2024, ketika cara seperti ini salah, mengapa tidak mencari cara lain.

Fahri memberikan pembelajaran penting. Politik itu balik badan biasa, tidak usah takut atau malu. Atau ini rancangan untuk caper agar mendapat perhatian? Bisa saja.

Politik Indonesia memang unik dan asyik untuk  melihat pergerakan para pelakunya yang sering naif. Layak ditunggu ke depan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun