"Mar aku telat...."
Ungkapan singkat, padat, dan jelas bagi gadis seusia kami. Tanti masuk kamarku dengan tergesa dan memelukku sambil berkata itu. Aku sih tidak kaget, tahu banget malah dengan siapa dan seperti apa kelanjutannya.
Tanti tidak menangis, hanya perlu teman. Aku tahu persis. Hal yang pasti ia tahu dengan baik konsekuensi dan apa yang yang akan terjadi. Aku diamkan saja, lha mau apa, juga tidak tahu. Kami, aku dan teman-teman sudah jauh-juah hari mewanti-wanti. Ini berbahaya, dan tidak boleh.
Selalu saja Tanti mengatakan, enggak, hanya dekat biasa, bukan eksklusif apalagi seksual. Merasa nyaman, tenang, dan tahu banyak untuk bisa membantu di tengah kegalauan anak muda. Itu saja yang diulang-ulang oleh Tanti jika kami nasihati.
Biar Tanti cerita seperti apa, aku tidak mau bertanya. Sudah terlalu banyak drama yang ia sajikan untuk kami. Malas sebenarnya, tetapi melihat ia kelihatan stres seperti ini, toh dengan berat hati aku harus siap mendengarkannya.
Benar saja tidak lama kemudian ia mulai berbicara, mulai merah matanya, dan ia menangis juga.
"Kemarin Bapak memaksa ke paroki untuk bertanya alamat provinsialat, mau meminta pertanggungajawaban Rama Provinsial...." mulai membanjir tidak lagi tangisan biasa.
Aku masih diam, bingung mau bicara apa. Tanya juga gak tahu mana yang mau ditanyakan. Toh bahasa tubuhku jelas-jelas terbuka dan menunjukkan simpati dan empati, Tanti tahu itu.
"Maria, bapak marah besar ketika tahu telat itu dan mendesak untuk mengakui siapa laki-laki bangsat itu..." dia sudah mengatakan bangsat, jelas tidak bagus ini.
"Rama Anton mengajak bapak berdiskusi bagaimana baiknya. Ditelponlah si bangsat itu. tahu kami Maria, laki-laki itu bangsat, bajingan tengik.....dan Tanti pingsan...."
Aku biarkan saja demikian di kamarku. Hanya aku siapkan teh panas dan aku gosok dengan minyak angin untuk membantu agar lebih nyaman. Cukup lama ia pingsan, teh sudah kurang panas aku ganti airnya biar panas dan dia siuman.