Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Marcello Bielsa, Petisi Messi, dan Mengglobalnya Trik Prabowo

3 Mei 2019   12:20 Diperbarui: 3 Mei 2019   12:51 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Prabowo yang menuding KPU curang dan meminta pasangan Jokowi-KHMA didiskualifikasi. Jejak digital ternyata memberikan bukti bahwa 2014 melakukan hal yang sama meminta MK mendiskualifikasi Jokowi-JK. Ternyata ia tuman dan meminta hal  yang sama dengan pasangan berbeda dan lembaga lain lagi.

Liga Inggris memasuki pekan krusial. Sepertinya sampai akhir musim baru ketahuan juaranya. Baik di level elit ataupun liga keduanya. Dalam sebuah laga liga kedua, ada sajian menarik, sportif, dan layak menjadi pembelajaran bersama. Bagaimana Marcello Bielsa yang membutuhkan satu kemenangan untuk langsung promosi, malah memerintahkan pemainnya membiarkan lawan membuat gol.

Kemenangan di depan mata, artinya langsung promosi, namun gol itu berbau kontroversial karena aa pemain lawan sedang mengalami insiden dan terkapar. Sportivitas mengajarkan untuk menghentikan pertandingan dengan membuang bola. Sangat mungkin atas nama toh wasit tidak meniup peluit artinya bebas. Namun sportivitas di atas pelit dan aturan pertandingan.

Liga Champions juga sudah menyelesaikan babak semi final leg pertama. Kemenangan 3 gol di kandang sendiri Barca atas Liverpool ternyata banyak menghasilkan kejadian unik dan lucu. Apalagi jika dikaitkan dengan meme politik kekinian. Messi yang membuat dua gol kemenangan dipetisikan oleh fans Liverpool untuk dilarang bermain karena adanya sikutan pada pemain lawan ketika mereka menang.

Pada sisi lain, ternyata striker mereka membuat gigi patah pemain belakang Barcelona. Jika benar petisi itu serius dan berhasil, bisa-bisa semua pemain dilarang bermain dan aturan bisa dikalahkan oleh petisi, tekanan massa, atau people power. 

Peraturan memang dibuat untuk menjamin kekebasan setiap orang. Kekebasan satu pihak itu akan bersinggungan dengan kebebasan pihak lain. Dan di sanalah peran moral itu menjadi penting. Dalam fakta-fakta itu, dapat dilihat bagaimana peraturan bisa dinafikan demi nilai yang lebih dalam dan penting seperti sportifitas sebagaimana Leeds dan Marcello Bielsa.

Peraturan dibuat untuk manusia, bukan manusia diperbudak oleh aturan. Sangat mungkin demi kemenangan Leeds mengatakan hak kami membuat gol, perangkat peradilan, dalam hal ini wasit tidak meniup peluit, atau mengatakan si pembuat gol tidak melihat ada yang terkapar. (Khas bangsa ini kalau yang ini). 

Kebiasaan bangsa ini hukum adalah prosedural, di mana ketika semua prosedur ditaati, meskipun mengabaikan nilai yang lebih dalam seperti keadilan, kebenaran, dan kebebasan mereka abaikan. Bagaimana pembelaan mati-matian pada perilaku jahat, fitnah, teror, bandar narkoba, dan banyak lagi. Atas nama HAM padahal mereka melanggar HAM terlebih dahulu. Dan hal ini sangat biasa dalam hidup bersama sebagai sebuah bangsa.

Semua ada aturan masing-masing, hukum positif, hukum agama, hukum olah raga, dan itu tidak bisa dicampuradukan. Dan di balik hukum, jauh lebih luhur dan bermartabat adalah keadilan, kebenaran, dan sportifitas yang kadang tidak semata-mata dalam perlindungan hukum itu. Hal yang jelas bisa ditampilkan Marcello Bielsa.

Petisi sih boleh-boleh saja, sah-sah saja, dan sangat mungkin ketika memang prosedur yang dijalani normatif, namun mengabaikan nilai luhur yang lebih tinggi. Seperti pembebasan pelaku percabulan hanya karena ketiadaan saksi. Tekanan massa melalui petisi bisa mengakibatkan hakim yang memvonis dijatuhi sanksi. Jelas  karena memang ada keadilan yang dilanggar dengan adanya keadilan prosedural semata. Ketiadaan saksi memang tidak bisa membuat pelanggar hukum untuk divonis, namun tentu ada pembuktian lainnya.

People power, memang tidak dilarang, atau itu aksi terkutuk, namun tentu dalam konteks yang lebih mendasar, ketika perangkat hukum sudah mati, kekuasaan absolut yang tidak lagi bisa diajak berbicara, hanya satu-satunya jalan untuk berbicara dan menyatakan pendapat. Sering aksi itu memang satu-satunya cara seperti 98 di Indonesia, atau Philipina untuk menggulingkan Ferdinan Marcos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun