Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Shohibul Imam-PKS, Ikut Melempar Handuk Demokrat karena Capresnya Mlempem

1 Februari 2019   09:00 Diperbarui: 1 Februari 2019   09:33 3584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrat cukup lama merasakan dan mengatakan kalau capres yang mereka usung tidak cukup menjual dan efek bagi pileg tidak memberikan dampak baik. Eh kini PKS pun mengatakan yang sama, bahkan identik. Tidak berefek bagi mereka di dalam pemilu mendatang. Logis.

Pernyataan Demokrat dulu tidak cukup mengagetkan karena reputasi mereka yang biasa main dua kaki. Kali ini diungkapkan oleh partai yang biasa taat buta dan cenderung fanatis. 

Apalagi ini waktu semakin pendek. Beberapa hal yang mendasari sikap Shohibul Imam sebenarnya sangat wajar, karena keadaan terpepet dan mendesak untuk mengejar pemilih potensial.

Hal yang sebenarnya lumrah, karena sejak 2015 arah peta PKS sebenarnya, terutama sang presiden lebih mengarah pada bergabung dalam  pemerintahan. Ini hanya masalah faksi dan beberapa pihak tua-tua yang seolah enggan atau malu balik badan. Pilihan realistis sebenarnya, toh PAN juga melakukan, tidak ada salahnya PKS memilih jalan yang sama.

Semua sudah terjadi. akhir-akhir ini kondisi PKS makin berat. Beberapa hal bisa dilihat sebagai berikut:

Survey banyak mengaitkan dengan kemerosotan popularitas PKS. Usai badai korupsi edan-edanan dulu, belum banyak sikap dan perilaku yang bisa membuat orang percaya kembali. Ini pasti mereka sadari dengan baik. 

Beberapa pihak juga menilai bahwa sangat mungkn PKS masuk pada posisi kritis untuk lolos ke parlemen. Semua masih mungkin dan sangat terbuka kemungkinan itu.

Keberadaan beberapa elit partai yang seolah bertikai, contoh konkret antara Fahri dan pengurus teras yang berlarut-larut. Ini bukan persoalan sederhana di masa kampanye ini. Sangat serius dan  besar dampaknya. M

embayar berarti kalah dengan kader sendiri, tidak membayar itu melanggar hukum. Simalakama, dan itu tidak kecil nilainya. Pertimbangan apapun membuat posisi elit PKS hancur lebur.

Manufer dan aksi ugal-ugalan, seperti Mardani Ali Sera, jelas bukan membuat partai makin baik. Jadi olok-olokan dan bahan guyonan iya. Perilakunya berulang dan malah makin konyol saja. 

Mungkin banyak yang enggan meliriknya, apalagi memilih, bagi pemilihnya pun bisa menjadi enggan lagi untuk kembali menjadi pemilih setia. Apa yang ditampilkan bukan barang baru nan cerdas, malah sekelas olok-olokan anak-anak.

Ugal-ugalan dalam menanggapi fenomena, apa yang dinyatakan HNW mengenai Jan Ethes jelas perilaku lucu dan naif. Jadi bahan guyonan, ketakutan pada anak kecil. 

Ya jelas lah, wajar namanya anak itu polos, ketika itu menjadi daya tarik dan masa kampanye lagi, ya sama juga main bulu tangkis dan kok di atas bibir net dan bergulir pada lapangan lawan. Itu tidak bisa dikatakan curang juga. Belajarlah bijak dan dewasalah.

Perilaku seperti itu, alah satunya melabeli Sandi sebagai santri milenial. Bagaimana pertanggunggawaban moralnya? Sering juga  melakukan kelucuan yang sama. Mana bisa meyakinkan publik untuk memilih. 

Belum lagi reputasi panjangnya jelas tidak memberikan pencerahan dan keyakinan yang mencukupi untuk mendapatkan kepercayaan.

GARBI, ini sih faksi paling serius, bukan sembarangan, dilakukan oleh mantan presiden yang usai menahkodai. Pengikut fanatisnya cukup banyak. Hal yang pantas membuat risau elit partai yang tidak sepaham dengan Anis Mata dkk. Potensi kehilangan yang cukup besar bisa menjadi kenyataan.

Kekecewaan atas perlakuan Gerindra. Ini beberapa kali dan patut diulas. Pertama soal  ketidakada nama, sembilan nama atau kandidat bacapres ata bacawapres. Sakit hati tapi tidak berani. 

Kemudian munculah isu kardus, kog ya lagi-lagi diam saja, tidak ada yang marah jika ada tudingan keji namun fitnah itu. toh menguap begitu saja, artinya ada kebenaran soal kardus.

Paling nyesek juga atas nama ulama, dan ada nama mereka yang diajukan untuk menjadi cawapres, ketika capres sudah pasti. Mana berani mereka mau "kudeta" capres abadinya. Bisa dilempar ke luar koalisi dengan tidak hormat.

Kecewa pula karena tim pemenangan pun bukan dari mereka. Jelas mana bisa kader mereka tidak pernah menang kog mau menjadi ketua pemenangan. Jelas diam saja karena memang tidak mampu dan tidak memiliki kapasitas untuk itu.

Berikutnya tentu soal Jakarta. Kelucuan dan keanehan ketika isi wakil gubernur saja berkepanjangan. Logika geblek dan sederhana adalah, ketika kemarin partai A kini jelas dari A atau B sebagai pengusung. Karena B belum merasakan, wajar gantian. 

Ini normal dan waras. Eh aneh-aneh. Ketika sudah mau, dengan syarat, adanya fit and proper test. Dilakukan proses itu ada lagi ketidaksetujuan, padahal awalnya setuju-setuju saja. Ini jelas permainan. Namun PKS takut dan jerih juga teriak karena posisinya sangat rentan didepak.

Apa yang perlu menjadi pertimbangan untuk pemilih adalah, bahwa mereka yang ada di dalam koalisi itu cenderung menonjolkan prakmatisme. Bagaimana Demokrat itu pun demikian, apalagi PKS dari uraian di atas. 

Pemilih harus cermat melihat tidak hanya sosok-sosok yang bertarung di dalam pilres, namun juga bagaimana para pendukung itu bersikap. Mengapa menjadi penting? Ini soal bangsa dan negara. Sekian tahun apa iya harus diserahkan pada pribadi model demikian itu?

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun