Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi 01 atau 02 yang Bohong Soal Takut Debat?

9 Januari 2019   12:09 Diperbarui: 9 Januari 2019   12:23 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu baik pileg atau pilpres makin dekat, cukup naik tensi dan temperatur menjelang pelaksanaan. Salah satu rangkaian itu adalah debat capres dan cawapres. Dalam satu bagian itu menjadi riuh rendah ternyata ada saling tuding siapa yang "takut" untuk debat. Dimulai dari tim 02 yang mengatakan kalau Jokowi ternyata takut debat.

Pembelaan jelas dilakukan oleh tim 01 yang mengatakan bahwa pihak 02 yang sebenarnya meminta tidak ada debat saja. Aneh dan ajaib memang bangsa ini, kebenaran yang satu itu bisa dikatakan oleh keduanya sama-sama merasa benar dan merasa pernyataan mereka yang lebih betul.

Melihat model pendekatan yang terus demikian, lebih jauh perlu dilihat bagaimana perilaku mereka di dalam mendekati kebenaran dan mana yang lebih bohong dan salah di dalam pernyataanya.

Lihat saja rekam jejak mereka di dalam berdebat, dan bisa sukses mengantar mereka menuju kemenangan. Jokowi telah mengalami debat untuk cawali dua kali, cagub sekali, capres sekali. Nah apakah benar takut debat, apalagi ini yang kedua. Tidak cukup bisa dinalar karena pengalaman yang sudah dilalui selama ini.

Memang Prabowo dan juga Sandi pernah merasakan debat, Sandi sekalinya sukses mengantar menjadi gubernur (toh bisa dikaji lebih jauh soal jadi gubernurnya), toh boleh lah dinilai sebagai kesuksesannya. Prabowo lebih tragis maju berkali-kali dan belum pernah merasakan capaian yang sebenarnya.

Jenjang karir Prabowo tidak didahului dengan debat, hanya ada sistem komando dan evaluasi tertutup. Dunia militer itu segaris dari atas ke bawah tidak ada model debat dan "berebut" pengaruh. Bandingkan dengan Jokowi yang memang memberikan janji dalam debat dan sukses menarik pemilih dalam pemilihan wali kota dua kali dengan pemilih 90% di periode ketiga. Pilkada DKI pun mengalahkan Foke sang ahli yang diusung partai pemerintah waktu itu.

Fakta ini meragukan jika kubu Jokowi enggan berdebat. Bagaimana mungkin orang yang lebih berpengalaman justru menolak apa yang sangat ia kuasai. Apakah tidak lebih mendekati kebenaran itu, jika yang enggan berdebat yang belum pernah merasakan manisnya debat?

Melihat dari sisi di mana yang biasa melakukan kebohongan. Beberapa saja lah daripada artikel penuh dengan daftar kebohongan, paling tidak yang fenomenal, sensasional, dan sangat mudah dipatahkan dengan argumen sepele saja.

Paling besar dan heboh jelas soal kisah kekerasan yang hendak menyasar pemerintah, eh ternyata itu operasi plastik. Hal yang memperlihatkan ke mana-mana berkaitan dengan kualitas kepemimpinannya. Melupakan rekan yang dulu sempat dianggap potensial menjadi pahlawan. Hal yang sama juga akan terjadi dengan kisah surat suara tujuh kontainer tercoblos. Pengingkaran kalau kenal sudah mulai didengungkan.

Biasa membuat berita palsu dan kemudian menjadikan viral, ketika terkuak mengingkari kalau kenal dengan pihak tersebut. Ini  berkali-kali, apalagi jika berbicara sejak 2014 lampau. Biasa berdusta.

Bicara soal harga nasi di luar negeri lebih murah. Hal yang juga berulang, ini bukan soal ngapusi, semata, namun juga ngwur, asal bicara. Ternyata mengenai ngawur ini juga pengulangan yang identik terus menerus. Keberadaan tempe yang setipis kartu ATM, dibantah dengan data pun hanya cengengesan tidak merasa bersalah apalagi berdosa. Kemudian mengeluarkan jurus bohongan lagi dengan belanja Rp. 100.000, 00 tidak cukup untuk kebutuhan berkeluarga.

Model ini diikuti oleh Titik Prabowo, eh Titik Soeharto yang juga belanja dengan nominal lebih kecil. Lagi-lagi dengan mudah juga dimentahkan oleh fakta lapangan. Hal yang jelas sepele namun tidak disadari dengan baik oleh mereka, sehingga malah menjadi bulan-bulanan.

Teranyar jelas soal selang dan tim mereka mengenai tujuh kontainer surat tercoblos. Mereka biasa banget berbohong dan membohongi rakyat. Apa yang mau dicapai adalah jelas mendeskreditkan posisi pemerintah dan mendulang suara bagi mereka.

Model pendekatan ramai-ramai memberikan klarifikasi oleh timsesnya membuat keadaan makin buruk. Jelas bagaimana hal ini menunjukkan kualitas koordinasi dan komunikasi yang sangat buruk. Rancangan grusa-grusu yang mencerminkan kualitas kepemimpinan yang sangat buruk bahkan brutal.

Apa yang bisa diyakini dengan model koalisi tipu-tipu demikian?

Apa iya bisa mesin pembuat kopi mengasilkan minumal jeruk segar? Jika panas-panas dan di tepi pantai tentu kita akan memilih es jeruk segar sebagai minuman, atau air kelapa muda yang sangat menyegarkan bukan? Nah ternyata yang disediakan malah mesin pembuat kopi. Apa iya, kopi cocok di tepi pantai yang panas?

Ketika produsen kebohongan diberikan kepercayaan, apa iya mereka akan melaksanakan kepercayaan itu dengan baik? Dari mana coba bisa dipercaya, wong mereka sendiri tidak memberikan data untuk bisa dipercaya. Mana bisa membangun kebenaran dari perilaku dusta? Ini penting untuk dicermati.

Ribet dan repotnya kebohongan itu akan ditutupi dengan kebohongan atau dusta lain. Lebih lucu lagi akan mengggunakan kekerasan dalam menyembunyikan belangnya. Membentak-bentak pihak lain, ancaman grudugan, atau menekan penegak hukum dengan tuduhan kriminalisasi, pihak lain ketakutan, dan seterusnya, yang sejenis itu.

Tudingan masif yang sudah sering terdengar bukan? Setiap aksi mereka akan demikian itu, ada pernyataan sebagai aksi, diviralkan oleh tim mereka, menuding pemerintah atau Jokowi, dan ketika ketahuan, ramai-ramai menarik atau menuding pihak Jokowilah yang membuat ulah.  Demikian terus menerus.

Membosankan sebenarnya tipe kampanye model abg labil begini. Salah-salah sendiri malah menuding pihak lain sebagai pelaku. Come on, kata Pak Beye, belajarlah dewasa dalam berpolitik, sehingga bisa berjalan sebagai pesta demokrasi bukan hanya perang tanpa manfaat seperti ini.

Kapan coba visi dan misi itu terlihat oleh rakyat pemilih, jangan-jangan tidak ada dalam benak dan pemikiran mereka soal kualitas kerja? Jika demikian miris sekali calon pemimpin demikian. Susah melihat mereka memiliki kuaalitas, ketika yang mereka tawarkan adalah hanya omong kosong saja dari waktu ke waktu.

Mereka seharusnya meyakinkan pemilih dengan tawaran baru mereka, bukan dengan menggugurkan capaian pihak lain. contoh sederhana adalah mengapa rakyat sekarang begitu gemar soto bukan bakso, jangan membual soal soto yang buruk, namun jualah bakso itu sebagai hal yang jauh lebih  baik, lebih sehat, dan lebih segalanya.

Menjelekan soto bukan memperlihatkan bakso memang lebih mudah dan murah, nah lagi-lagi ketahuan kualitasnya yang minim. Tidak tahu jaulannya sendiri, lebih gampang menjelek-jelekan kualitas pihak lain yang sudah jelas kinerjanya.

Melihat apa yang mereka sajikan, ke mana arah kebenaran soal yang "takut" debat sebenarnya. Pengalaman siapa yang lebih berpengalaman dan telah merasakan berkali-kali manisnya hasil debat. Sisi lain satunya belum begitu merasakan dampak debat itu seperti apa dalam kinerja mereka.

Kebohongan demi kebohongan seolah telah menjadi gaya kampenye yang handal, malah satu-satunya bagi kubu ini, apa iya mau diberik kepercayaan untuk memimpin bangsa sebesar dan sekaya ini? Mau dibawa ke mana coba? Apa mau jadi bangsa Pinokio?

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun