Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tabiat Gagal Paham dan Politik Gagal Paham

8 Juni 2018   07:14 Diperbarui: 8 Juni 2018   08:49 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: nasional.kompas.com

Tabiat gagal paham dan politik gagal paham, mendapatkan ide dari salah satu obrolan di media sosial. Rekan ini menyatakan betapa susahnya untuk membagikan prestasi, lama baru ada yang membagikan ulang, beda jika itu akan diungkap skandal, atau ketahuan ada bau tidak enak dari si X misalnya. Menarik sebenarnya hal demikian, begitu limpah ruah berita miring namun menjadi pembicaraan hangat dan prestasi malah senyap.

Politik dan kopi kini menjadi pembicaraan dari anak-anak hingga lansia, kopi pun demikian. Dulu kopi  hanya orang-orang tua, eh kini anak sekolah dasar pun di warung memesannya kopi. Bicara tokoh politik ya tahu dengan baik. Tidak usah disebut dua nama yang nanti buat sensi. Hal yang sangat menyenagkan namun ketika hal yang tidak semestinya yang tumbuh, ya duka yang terjadi. Pembicaraan plitik makin akrab, namun tanpa diiringi kedewasaan, dan malah identitas dan labeling yang lebih mengejala.

Perselisihan, perseteruan, dan perpecahan lebih menguat daripada kekeluargaan, persatuan, dan kebersamaan. Politik sebagai sebuat cara, seni, dan kendaraan untuk memperjuangkan kesejahteraan umum itu masih jauh dari angan. Terputus pada mendapatkan kekuasaan dengan berbagai-bagai cara.

Pun dalam hidup bersama, sering gagal paham untuk banyak kasus. Bagaimana orang bisa mencaci maki korban karena mau tenar. Ingat mereka ini juga paham bahwa yang benar mana, yang salah siapa itu tahu, namun mencari celah  untuk tenar. Lihat tenar dengan jalan cemar pun tidak menjadi pertimbangan. Lihat saja kasus penyanyi yang mendapatkan pelecehan seksual, atau artis yang sedang mengalami konflik keluarga, dua pihak sama-sama ngotot membri dukungan dan mencerca. Aneh bukan?

Berbagai kasus menjadi pro dan kontra yang berkepanjangan, mengapa? Karena adanya tujuan yang berbeda. Esensial masalah tidak  lagi menjadi pertimbangan, asal mendapatkan panggung untuk bisa menjadi terkenal mengapa tidak? Termasuk dengan jalan yang tidak pantas, atau patut. Lihat bagaimana kisah seorang mendapatkan perlakuan tidak baik secara kemanusiaan, eh malah membahas bahasa Inggrisnya. Bahasa yang dikritisi memang ada yang tidak tepat misalnya, namun esensinya bukan itu.  Bahasa  sarana untuk memahami dan dipahami, bukan ujian di sekolah, karena si lawan bicara juga menggunakan bahasa itu.

Bagaimana mau paham ketika hidup bersama, termasuk politik, kontroversi jauh lebih menjadi perhatian daripada prestasi. Bagaimana menteri yang bekerja keras itu selalu dihantam dengan berbagai-bagai argumen separo data, demi memperoleh kesempatan tenar, bukan demi kebaikan berbangsa. Bagaimana menteri yang biasa saja, pekerjaan tidak jelas ujung pangkalnya malah tenang-tenang saja tanpa ada yang mengaku kritik padahal sebentuk hujatan. Coba pernah tidak ada pujian ketika tidak ada kebakaran lahan, namun ada api kecil saja apa yang terjadi?

Fokus hidup berbangsa ini pada kegagalan, keburukan, kontroversi, dan hal-hal demikian. Susah untuk memberikan penghargaan atau apresiasi  pada kesuksesan dan capaian pihak lain. Hal yang seolah menjadi tabiat bangsa.

Dikotomi jelas dan tegas dengan model bukan kawan pasti lawan, padahal belum tentu, ditingkahi berbeda sebagai musuh membuat tabiat buruk ini bisa menjadi budaya dan berujung pada karakter jika tidak disadari bersama.

Entah mengapa, para tua, elit itu masih berkutat pada pencarian jati diri, padahal hal tersebut sebenarnya sudah usai, ketika masa puber sudah dijalani. Bagaimana tidak, orang sudah bercucu dan bercicit pun masih berkutat pada kemegahan diri, yang seharusnya level remaja. Kekayaan, ketenaran, dan jabatan itu masuk pada ranah jati diri. Seharusnya sudah usai dengan itu semua, dan menjadi pengabdi, negarawan, dan jabatan sebagai kepercayaan, bukan lahan eksistensi diri lagi.

Tujuan sebagai fokus itu secara motivasi baik, namun jangan abaikan motivasi dan jalan atau proses yang dipilih. Bagaimana mengaku demokrat, religius, namun tidak malu menggunakan segala cara demi mendapatkan hasil. Fasisme dicaci namun toh jalan yang sama dijalani. Mengapa demikian? penghargaan akan proses diabaikan. Proses bisa menjadi benar karena hasil yang diperoleh. Lha bagaimana peran religius dalam proses jika demikian?

Pendidikan mau tidak mau, suka atau tidak, memegang peran sangat fundamental atas segala kegagalpahaman ini. penghargaan akan sekolah sebagai proses direduksi dengan ujian nasional. Kesesatan yang bersama-sama dilakukan. Perjalanan bertahun-tahun hanya ditentukan dalam hitungan hari. Air mata dan keringat dari puluhan mata pelajaran hanya divonis oleh empat hingga enam matauji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun