Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara "Kepribadian Ganda"

22 Februari 2018   05:20 Diperbarui: 22 Februari 2018   15:23 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara "kepribadian ganda", dalam banyak hal ironis dan aneh terjadi di dalam hidup berbangsa dan bernegara. Paling jelas mengenai sistem pemerintahan yang digembar-gemborkan mengenai sistem presidensial, toh parlemen juga sok berkuasa dan bisa membuat kalang kabut eksekutif. Demikian juga mengenai dasar negara yang sudah diputuskan bersama oleh para sesepuh pendiri bangsa Pancasila, pun masih saja banyak yang tidak suka dan menggerogoti dengan berbagai cara. Padahal pernah juga bersumpah dan janji ketika menjadi pejabat ini dan itu.

Sikap mendua, dan sering banget bertolak belakang. Seolah sudah menjadi gaya hidup dan karakter yang lekat. Mulai dari pakaian, merasa sangat saleh dan agamis dengan berbagai asesoris keagamaan, apapun agamanya, toh perilakunya tidak mencerminkan kehidupan beragama dan memiliki agama. Bisa dengan serentak beragama sekaligus juga menggambarkan perilaku biadab. Pun ritual keagamaan apa sih yang sepi dari hiruk pikuknya di sini ini? Baik harian, mingguan, apalagi jika hari raya, namun eh perilaku tamak, rakus, tidak kenal belas kasihan juga menjadi anutan yang sangat mengerikan.

Hal ini bukan hanya dalam gaya berpakaian dan gaya berdandan serta bersikap saja. Namun juga dalam hal hiburan. Lihat saja bagaimana film, sinetron, dan aneka hiburan lain. Mosok sih negara beragama, negara Pancasila, toh film porno, kekerasan, dan juga hantu yang sangat tidak mencerminkan budaya agama dan Pancasila dengan bergitu masif, menjadi hiburan favorit bahkan. Orang bisa bertengkar, mengatakan fitnah eh diakhiri dengan salam keagamaan dengan ringan tanpa merasa bersalah.

 Kekerasan dan hal-hal yang seharusnya menjadi rahasia, konsumsi privat eh malah menjadi konsumsi publik dan seolah bangga, yang seharusnya malu malah bangga dan seharusnya disimpan malah dieder-eder. Sikap empati, menghargai, dan menghormati seolah sudah sirna.

Sikap bertanggung jawab dan peduli, makin jauh, padahal jelas perintah agama sepeti apa. Bagaimana perilaku tamak dan rakus para pejabat. Mosok mereka tidak tahu sih kalau mereka itu dibayar untuk bekerja bagi nusa dan bangsa bukan hanya untuk diri dan kelompoknya. Lihat mereka merampok, menjarah uang negara dengan gagah perkasa dan kalau ketangkap menyatakan khilaf. Padahal kalau menyitir kata atau ayat suci jangan dikira akan bisa berperilaku sebiadab itu.

 Jika berorasi politik atau memberikan wejangan pada jajarannya, wah sangat indah, menjanjikan, dan luar biasa kata dan kalimatnya. Bekerjalah dengan nurani, layani masyarakat dengan dirimu, bla...bla....padahal di ruangan pribadinya, setoran, lawan jenis, dan segala maksiat kalau tembok dan sofa bisa omong, mereka akan menangis dan berteriak.

Media itu sejatinya ada untuk membangun jembatan, menyatukan, dan membuat adem keadaan. Apa yang kita saksikan kini? Memperlebar perbedaan, dengan menjual pertentangan yang didramatisir, dan ironisny penontonnya sangat banyak, iklan mengantri panjang, membuat pemodal girang, soal rakyat menyimpan jejalan kekerasan dan kebencian bukan pertimbangan. Padahalacara dibuka dengan doa, dengan salam yang meneduhkan, toh isinya tidak beranjak jauh dari perbedaan, menjual derita, mendramatisir keadaan. 

Dulu, berantem atau tawuran itu anak-anak STM, anak yang mencari jati diri, eh kini justru malah elit, orang yang sudah patut masuk persiapan masuk lubang kubur atau perabuan, malah berkelahi di televisi. Kelahi dalam arti kiasan ataupun yang betulan. Dan itu menyenangkan. Di mana adab dan agamanya?

Menyatakan demokrat, demokrasi, memperjuangkan rakyat, semua mbelgedes.Yang di atas panggung demokrat, demokrasi, rakyat, padahal di balik panggung, kamu beri aku apa biar bisa mendapatkan apa. Pemaksaan kehendak hal yang lumrah padahal jelas-jelas salah dan melanggar hukum bahkan. Orang yang sama, pribadi yang sama, dan melakukan perilaku yang begitu jauh bertolak belakang padahal. Miris bukan, dan seolah hal yang lumrah dan biasa saja.

Pemuka agama bisa serentak mengatakan membela Tuhan dan sekaligus mengacungkan telunjuk untuk menghujat, mengutuk orang lain. Emang bisa ya orang serentak suka dengan kegelapan dan terang. Serempak lho, bukannya mengasihi dan membela Tuhan juga akan mengasihi dan melindungi ciptaan-Nya, apapun kondisinya?

Bagaimana bisa membela perbedaan dengan cara menyatakan kalau berbeda itu salah. Bagaimana bisa menafikan pluralitas dengan berbagai dalih, padahal jelas-jelas bapak dan ibunya saja berbeda. Bisa dengan begitu serempak memuja Tuhan namun menghujat ciptaan dengan sewenang-wenang. Kemanusiaan diabaikan atas nama Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun