Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat kepada Ahok dan Masalah Klasik Pendidikan

3 Januari 2018   12:05 Diperbarui: 3 Januari 2018   14:12 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Surat kepada Ahok dan masalah klasik pendidikan, hal yang sangat lama, jamak, dan hampir semua tahu sebenarnya. 

Meskipun kadis, kepsek, dan siapapun mengatakan tidak ada uang dalam mengambil ijazah, semua juga tahu. Tapi bahwa ijazah adalah sandera manjur juga semua tahu, apalagi pihak sekolah. Kalau kadis dan jajaran ke atas tidak tahu, ah yang bener saja.

Menarik adalah apa yang disebut sebagai uang gedung. Ini sekolah negeri lho, anggaran pembangunan adalah anggaran negara, baik APBN ataupun APBD. Tapi soal uang gedung ini selalu ada. Soal nama atau metode pengumpulannya beragam. 

Ada yang namanya uang kursi, uang meja, uang komputer, dan aneka bentuk kecerdasan lain, yang ujung-ujungnya, sejatinya pungli.

Sekolah swasta yang mati suri karena banyaknya sekolah negeri pun, mau tidak mau membuat spanduk atau brosur, bebas uang gedung. Eh la dalah, malah negeri mengutip uang gedung. Dalih dan alibi cerdas pun muncul. 

Bagaimana katanya uang pemeliharaan yang tidak memadailah, perlu bangunan atau gedung, kelas. Atau laboratorium ini itu. Banyak alasan yang bisa dipakai untuk "mengelabui" orang tua, yang tentunya disetujui oleh komite sekolah. Akal-akalan pun biasanya komite terlibat jauh kog. Komite malah seolah menjadi corong kepentingan kepala sekolah dan sekolah.

Jabatan strategis kepala sekolah pun sekarang cendrung politik, saat otonomi daerah. Desas-desus soal beli jabatan pun ikut sampai ke level ini. Setoran sebagai cara untuk balik modal, mau tidak mau akan dipakai para pimpinan daerah yang menggunakan politik uang dalam pencalonannya. Salah satu pos yang paling empuk adalah kepala sekolah. 

Guru dan kepala sekolah itu orang yang "paling polos" pola pikir guru ke murid sebagaimana pola mereka ke atasan. Apapun yang dikatakan atasan adalah "kebenaran" dan perlu diiyakan dan diikuti.

Trik mendapatkan uang seolah-olah legal. Hampir semua sekolah negeri, apalagi favorit, di kota besar, selalu uang yang ke depan. Memang pas pendaftaran semua seolah tidak bayar. Namun dua tiga bulan jangan tanya, akan ada udangan kepada orang tua siswa-siswi untuk ke sekolah, atas nama komite jelas yang mengundang, kemudian di sanalah diadakan "tawar-menawar" uang ini dan itu. 

Coba bayangkan sudah masuk baru ada tarikan, apa tidak jauh lebih jahat dari pada sekolah swasta yang memang bayar? Mana bisa memindahkan sekolah anak dengan kondisi sudah masuk. Mau tidak mau bayar dan ikut ketetapan. Hal ini lah ternyata yang memberatkan lulusan SMA, yang bersurat kepada Pak Ahok.

Soal uang dan kejujuran Ujian Akhir, sama klasiknya. Kemauan saja, bukan soal apa-apa. Mau tidak berubah dan bebenah. Mau apapun metodenya, kalau orangnya sama, mau apa, sama saja hasilnya. 

Persoalan klasik yang seolah-olah tidak ada masalah. Miris akhirnya kalau masalah dan persoalan dianggap sebagai hal yang wajar. Apalagi diperparah politik masuk sekolah dan lembaga pendidikan.

Masih elok dan patut zaman Orde Baru, di mana kesejahteraan guru minim, sarana prasarana minim, mau tidak mau menggerakan partisipasi orang tua sesuai dengan kemampuan. Sangat jelas darimana uang dan untuk apa. Suap untuk masuk juga masih wajar dan waras. 

Kalau saat ini, aduh mana jelas anak yang masuk dengan suap atau tidak, uang anggaran dari negara ada, kesejahteraan sudah jauh lebih baik, namun kembali mental tamak jauh lebih kuat.

Gaya hidup mengubah pola pendidikan. Guru sekarang pun sudah mulai naik gengsi dan gaya hidupnya. Tidak heran, pungutan bisa demikian besar dan leluasa. 

Atas nama  kesepakatan yang dilakukan pihak orang tua dalam komite, bukan sekolah, komite benar mereka atas nama orang tua kebanyakan, atau orang tua yang dekat dengan pihak sekolah, kadang malah pejabat. Artinya, kepentingan siswa dan orang tua belum tentu bisa terjamin terakomodasi dengan baik.

Jangan kaget dan latah mengatakan tidak ada pungutan, atau gratis. Iya kalau mengambil ijazahnya gratis, hanya dulu-dulunya, uang bulanan, uang macem-macem, tetap saja ada.  Hal klasik yang sama-sama diketahui, namun enggan mengakui.

Penyakit bangsa ini adalah, masalah dibiarkan, dan seolah dinilai sebagai wajar. Salah kaprah yang membudaya. Banyak hal demikian. Toh wajar pendidikan memang mahal. 

Iya memang pendidikan mahal, tapi uang negara ke mana? Mengapa masih ada tarikan? Namanya uang gedung lagi, sangat tidak patut. Swasta memang operasional dari siswa tau orang tua, beda dengan sekolah negeri. Sekarang lebih mahal sekolah negeri dari pada swasta. Aneh dan ajaib namun dianggap biasa.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun