Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rupa dan Wajah Politik PAN

17 Desember 2017   06:47 Diperbarui: 17 Desember 2017   08:59 2238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rupa dan wajah politik PAN sangat transparan terbaca. Berbeda dengan partai politik lain yang masih "lebih baik" di dalam berlaku dan bersikap. Demokrasi latihan dan akal-akalan benar-benar tersaji dalam benak petinggi partai ini. sejatinya ada di pola pikir dan pola tindak pendirinya Amien Rais.  Beda jauh dengan Gerindra dan PKS yang jelas lebih "ksatria" memilih dalam barisan "oposisi", (meskipun ya gitu deeh....). PAN sangat berbeda. Kursi mau, taat konsensus nanti dulu.

Mau main dua kaki dengan sangat kasar. Pilihan politik itu bukan hanya sesaat dan satu moment saja. Apalagi demokrasi di negara sebesar Indonesia ini. Bagaimana ribuan pilihan di dalam banyak hal. Isu --isu strategis, pemilihan kepala daerah, kepada kepolisian, dan banyak pilihan-pilihan yang terkadang tetek bengek tidak penting pun bisa melibatkan politikus dan partai politik. Seperti soal negara lain yag terbaru mengenai Trump dan Palestina. Atau mengenai Ahok tempo hari. Pokoknya banyak banget.

PAN mendua dan main dua kaki, masih halusan Demokrat nampaknya. Bagaimana Demokrat malah tidak sampai masuk menjadi anggota kabinet, meskipun mereka juga main dua kaki sejak pilpres lalu. Mendpat atah dua kursi pimpinan majelis dan dewan tanpa kerja keras dalam pilihan presiden apalagi menjadi alat kelengkapan dewan. PAN yang jelas kadernya kalah dalam pemilihan presiden dengan manufer liarnya masuk kabinet dan malah dalam perjalanan waktu jelas lebih "oposan" daripada Gerindra ataupun PKS dan juga Demokrat.

Jelas terlihat kebersamaan di dalam pilkada jauh lebih cenderung bersama dengan PKS dan Gerindra. Ini tidak ada yang salah, wong PDI-P saja bisa saja kog bergabung. Namun lucu dan naif saja, ternyata  "koalisi" sebatas kepentingan. Jarang dan hampir tidak terdengar kiprah PAN dalam isu-isu strategis bagi hidup bersama sebagai bangsa dan negara.

Politik cair sebagai slogan yang siiulang-ulang, bahkan sampai bosan, toh tidak bisa diabaikan juga mengenai etis, moral, komitmen hidup bersama. Bagaimana menglaim diri produk reformasi namun sama saja dengan partai kuno bentukan Orba yang tidak bisa menjadi garda terdepan sebagai partai modern, mandiri, dan cerdas. Pilihan justru sebaliknya, nasionalismenya lemah. Apa yang ditampilkan menghianati jati diri dari namanya sendiri.

Nasional, mana nasionalisme ketika yang dikedepankan adalah primordialis, sektarian, dan sejenisnya. Memang namanya jelas ada kata nasional, namun dalam rekam jejak, perilaku, dan segala tetek bengeknya jauh lebih tradisional dan puritan semisal PKB dan PPP yang jelas-jelas warnanya religius. Kebingungan jenis kelamin ini yang membuat PAN didahului para adik yuniornya ke depan dengan pesat.

Kultus individu. Siapa yang bisa membantah dengan bukti bukan hanya berdasar akan visi, misi, atau pergantian periodik semu dalam berdemokrasi mereka juga tidak kalah dengan PDI-P. Mereka tetap di bawah ketiak Amien Rais. Mana modernnya, mana konsep pembawa amanat nasional, amanat Amien Rais iya. Lika liku dalam berpolilitik yang ujungnya kekuasaan, apakah ini yang dimaui reformasi? Jelas bukan.

Khas partai cari aman. Bagaimana mereka mencari aman dan nyaman dengan main dua kaki, bahasa Warkop DKI, maju kena mundur kena, dalam arti semua menguntungkan. Isu-isu strategis yang tidak menguntungkan mereka diam seribu bahasa. Begitu dapat celah sedikit saja langsung berderngung. Demi kekuasaan dan kursi. Ingat hampir semua parpol melakukan itu, hanya saja paling "kasar" PAN.

Kekuasaan menjadi andalan dengan menjual artis dalam banyak hal. Pilkada, pileg, dan seterusnya. Calon terbanyak salah satu dari mereka, dan sering menjadi bahan olok-olokan massa karena kapasitas mereka yang jelas tidak mumpuni. Tidak ada yang salah dengan keberadaan artis, namun perlu penanganan dan pembekalan lebih sehingga mereka bisa tampil dengan lebih elegan, lebih menjanjikan bagi pembangunan bukan malah jadi bahan dagean publik.

Apa yang bisa dilakukan masyarakat sehingga malah memberikan kepada mereka pelajaran, ini kebalik bukan partai yang mengajari konstituen sebaliknya, publik meberi pelajaran bagi partai poltik. Tidak memilih partai politik yang tidak jelas rekam jejaknya bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Siapapun itu partai yang hanya mengandalkan kekuasaan dan kemenangan dengan mengabaikan proses jelas tidak patut bagi pemimpin di negeri ini.

Pilih calon, bukan partai yang jelas teruji rekam jejaknya bagi bangsa dan negara ini. Bagaimana  pelaku maling ayam saja bisa "dihukum" seumur hidup dengan dosa sosial mereka, eh para rampok uang negara malah bisa mengaku saleh dan dipilih karena bisa memutaralikan fakta dengan kemampuan uang dan jaringan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun