Mohon tunggu...
Paul Sagajinpoula
Paul Sagajinpoula Mohon Tunggu... karyawan swasta -

kadang tertawa, kadang serius

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Potret Pendidikan di Bekeiluk, Salappa, dan Magosi

24 September 2014   19:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:41 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh Paul Sagajinpoula

Bekeiluk, Salappa, dan Magosi. Ketiga dusun ini adalah bagian wilayah dari Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai—selain dusun Peining Buttet, Pariok, dan Muntei. Secara geografis letak ketiganya terpisah cukup jauh dari pusat kecamatan dan berada di hulu sungai. Untuk bisa sampai ke sana biasanya harus dengan pompong atau boat ukuran sedang dan memakan waktu lebih kurang tiga jam perjalanan.

Dusun yang akan kita jumpai pertama kali adalah Bekeiluk, lalu Salappa dan kemudian Magosi. Antara Bekeiluk dan Salappa sendiri bisa kita capai baik lewat jalan darat maupun sungai. Kita bisa berjalan kaki—waktu tempuhnya lebih kurang 45 menit—ataupun menggunakan sepeda motor. Untuk akses sungai bisa menggunakan pompong atau sampan biasa. Namun untuk akses dari Salappa ke Magosi saat ini hanya bisa dicapai lewat sungai. Akses jalan darat belum tersedia.

Jumlah penduduk yang menetap di ketiga dusun ini tidak terlalu banyak. Di Bekeiluk sekitar 25 kepala keluarga (KK). Di Salappa sekitar 30 KK dan Magosi sekitar 25 KK pula. Mata pencaharian utama masyarakat setempat—seperti masyarakat Mentawai pada umumnya—adalah bertani. Tanaman yang ditanam antara lain pisang, keladi, ubi dan beberapa jenis tanaman 'tua' seperti cokelat dan kelapa. Untuk saat ini sepertinya cokelat menjadi sumber penghasilan harian masyarakat setempat—setidaknya itu yang saya lihat saat melakukan kunjungan kerja ke sana awal September lalu.

Saya kira setiap daerah terpencil di Indonesia mempunyai 'lagu yang hampir sama' yaitu kondisinya miris dan memprihatinkan. Itu jugalah yang saya lihat terjadi di ketiga dusun daerah hulu sungai ini. Dalam tulisan ini saya hanya akan fokus pada salah satu kebutuhan dasar manusia yang belum terpenuhi di sana yaitu pendidikan.

Kondisi di Bekeiluk

Akses pendidikan yang ada di Bekeiluk hanya sampai Sekolah Dasar (SD), yaitu sampai kelas III SD. Jumlah anak usia sekolah (dan bersekolah) yang saya coba hitung waktu itu berada pada kisaran 15 - 20 orang. Selebihnya ada yang putus sekolah/tidak mau sekolah. Di dusun ini belum ada SD negeri. Yang ada hanyalah SD swasta, namanya SD Filial Santa Maria Bekeiluk. Filial adalah istilah yang biasa digunakan untuk 'sekolah jauh'.

SD Filial ini adalah 'cabang jauh' dari SD Santa Maria yang berada di Muara Siberut—ibukota kecamatan Siberut Selatan. SD Santa Maria ini sendiri ada dibawah naungan Yayasan Prayoga yang berkantor pusat di Padang, Sumatera Barat. Kegiatan belajar mengajar di Bekeiluk selama ini dilaksanakan di sebuah gereja Katolik setempat. Hal ini dikarenakan belum adanya gedung sekolah resmi yang dibangun di sana baik itu oleh Yayasan Prayoga sendiri ataupun pemerintah. Guru yang mengajar murid SD di Bekeiluk juga hanya satu orang dan mengajar kelas I - III. Bisa kita bayangkanlah betapa tidak efektifnya proses belajar mengajar dengan kondisi seperti itu.

Selain kondisi pendidikan yang membuat miris, kondisi anak-anak di Bekeiluk—kesehatan, kebersihan, gizi—juga memprihatinkan. Kuku mereka hitam. Sebagian anak ada yang mengalami luka dibeberapa bagian tubuhnya namun tidak diobati dan dibiarkan begitu saja. Penampilan mereka kumal. Inilah akibat dari minimnya pengetahuan orang tua akan pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan. Tentu akibat kelalaian pemerintah juga yang kurang memperhatikan kondisi masyarakat di daerah terpencil seperti ini.

Kondisi di Salappa

Akses pendidikan yang tersedia di Salappa hanya sampai kelas IV SD. Sama halnya seperti di Bekeiluk, tidak ada SD negeri di sana. Yang ada hanya 'sekolah jauh', dinamakan SD Filial Santa Maria—cabang dari SD Santa Maria Muara Siberut juga.

Ada satu hal yang membuat saya cukup prihatin dengan kondisi pendidikan di dusun ini. Setiap anak yang akan naik ke kelas V SD—jika masih ingin tetap sekolah—terpaksa harus melanjutkan sekolahnya di luar Salappa, karena memang tidak ada pilihan lain. Biasanya mereka akan memilih untuk melanjutkan sekolahnya di SD Santa Maria Muara Siberut dan harus berpisah jauh dari orang tua meskipun usia mereka belum sepatutnya begitu. Ya, anak-anak yang berusia 9 atau 10 tahun harus rela berpisah dengan orang tuanya demi menuntut ilmu.

Saya sempat menanyakan kepada seorang penduduk setempat sejak kapan hal ini terjadi dan mengapa pihak SD Santa Maria—Yayasan Prayoga selaku pengelola—tidak sekaligus saja menyediakan lokal sampai kelas VI SD. Bapak itu kemudian mengatakan bahwa sejak dia SD dulu pun—sekitar tahun 1987—keadaannya sudah begitu. Alasan lain yang saya dengar, pihak yayasan tidak sanggup untuk membayar akomodasi guru seandainya dilakukan penambahan kelas.

Saya pun kemudian tertegun. Selama sekian puluh tahun kondisi seperti ini seolah “dibiarkan” begitu saja. Pemerintah entah kemana. Anak-anak pun menjadi korban. Di usia mereka yang sangat belia dan masih sangat membutuhkan kehadiran orang tua, mereka terpaksa rela meninggalkan kampung halamannya agar tetap bisa sekolah. Apalah salahnya pihak pengelola menyediakan ruang belajar sampai kelas VI SD. Walaupun anak-anak ini tetap akan pergi meninggalkan orang tuanya, tapi setidaknya janganlah di usia yang 9, 10 ataupun 11 tahun. Secara psikologis tentu itu tidak baik bagi anak. Miris sekali.

Kondisi di Magosi

Kondisi pendidikan di Magosi juga setali tiga uang dengan di Bekeiluk dan Salappa. Sebelumnya di sana ada namanya sekolah hutan yang dikelola oleh salah satu yayasan sosial. Namun entah kenapa akhirnya yayasan tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi program sekolah hutannya. Dari obrolan yang saya dengar, saat ini sedang diusahakan untuk membuat sebuah sekolah jauh—seperti halnya di Bekeiluk dan Salappa—tapi Filial dari SD N 12 Muntei. Kegiatan belajar mengajar di dusun ini juga sama persis dengan Bekeiluk, hanya sampai kelas III SD dan diajar oleh satu orang guru. Proses belajar mengajar juga dilakukan di sebuah gereja Katolik setempat oleh karena tidak adanya gedung sekolah di sana.

Waktu kami ke sana untuk melakukan kegiatan belajar dengan anak-anak, kebetulan guru yang mengajar di dusun ini sedang tidak berada di tempat. Akibatnya sudah bisa kita tebak, anak-anak pun tidak masuk sekolah. Penduduk setempat mengatakan bahwa sudah hampir tiga minggu tidak ada kegiatan belajar mengajar. Inilah salah satu kenyataan pahit yang mungkin sering dialami oleh anak-anak di daerah terpencil. Ketika guru (yang hanya satu orang) berhalangan hadir maka kegiatan belajar mengajar pun otomatis ikut libur. Entah kapanlah anak-anak sekolah di daerah terpencil bisa merasakan pendidikan yang baik dan berkualitas.

Merajut Asa

Daerah-daerah terpencil di Indonesia selalu dianaktirikan dalam pembangunan Indonesia. Masyarakat yang ada di sana seolah-olah dianggap tidak ada. Bukan hanya di Mentawai saja, tapi mungkin di daerah pelosok lain nusantara ini juga mengalami hal serupa.

Entah kapan anak-anak di Bekeiluk, Salappa, dan Magosi bisa terpenuhi haknya mendapatkan pendidikan. Sekian lama mereka merajut asa tapi mimpi mereka merasakan pendidikan layak tak kunjung terwujud sampai sekarang. Pemerintah setempat—kepala dusun, kepala desa, camat, dan bupati—harus serius menyikapi ini. Anak-anak ini adalah generasi penerus dan masa depan Mentawai ada di tangan mereka. Kalau dari sekarang mereka tidak dipersiapkan dengan baik, kapan lagi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun