Mohon tunggu...
Simon Morin
Simon Morin Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi Indonesia dari Papua

Mantan Anggota DPR-RI (1992 - 2009) Mantan Anggota DPRD Province Irian Jaya (1982 - 1992) Mantan Pegawai negeri sipil daerah Irian jaya (1974 - 2004)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keberhasilan Membangun Orang Asli Papua: Sebuah Taruhan Ideologis

4 Mei 2017   16:11 Diperbarui: 4 Mei 2017   16:18 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang multi etnik dan multi-kultural, terdiri dari ratusan suku bangsa dan budaya serta menganut berbagai keyakinan agama dan kepercayaan.  Saat ini jumlah penduduknya sudah mencapai kurang lebih 258 juta jiwa dan hidup tersebar di lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil yang terbentang dari Merauke di Papua sampai ke Sabang di Aceh atau yang jaraknya sering disamakan dengan jarak antara Turki dan Eropa Barat.

Faktor-faktor ini di satu sisi merupakan kekayaan bangsa tetapi di sisi lain merupakan kendala utama dalam proses pembangunan dan proses pembentukan bangsa. Bahkan faktor-faktor tersebut tidak jarang dijadikan alasan pembenaran atas berbagai kekurang-berhasilan membangun bangsa ini secara adil, merata dan bermartabat, khususnya membangun orang asli Papua sebagai bagian yang integral dari bangsa yang multi etnik ini.

Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dalam memperingati tanggal 1 Mei 2017, sebagai hari integrasi orang asli Papua menjadi bagian dari bangsa Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 atau 54 tahun yang lalu.

Meskipun integrasi sudah berlangsung 54 tahun, namun masih terkesan bahwa sebagai bangsa, kita belum cukup berhasil membangun orang asli Papua sesuai harapan dan persepsi mereka sebagai warga negara Indonesia. Penduduk asli Papua yang terdiri dari kurang  lebih 250 suku asli dan berjumlah sekitar 1,5 sampai 2 juta jiwa, masih merupakan fenomena yang belum dipahami sepenuhnya oleh pemerintah sehingga pembangunan yang dilaksanakan untuk mensejahterakan mereka justru telah membuat mereka merasa tersisih, terasing dan merana di negerinya. 

Situasi Papua sekarang ini mirip dengan apa yang dilukiskan oleh DR. Jan Van Baal (pejabat pemerintah kolonial di Semarang sebelum Perang Dunia II) dalam bukunya “Mensen inVerandering” tentang perasaan orang Jawa ketika Belanda membangun pulau Jawa sesuai dengan selera dan kepentingan orang Belanda sehingga membuat orang Jawa menjadi orang asing di negeri sendiri ...................”Java dat wij gebouwd hadden, met zijn wegen, zijn fabrieken, zijn grote irrigatieleidingen, zijn spoorwegen, zijn huizen, zijn alles wat Java maakte. Ons Java, zeiden wij, want wij voelden er ons thuis ............. Het is wel duidelijk, waar de pijn ligt. Wij hadden ons geidentificeerd met het land, waarvan wij het aangezicht veranderden. Ons land. Men kan niet ergens thuis zijn en dat thuis veraderen zonder de ander, die er eigenlijk thuis hoort, te alieneren. Ons thuis zijn maakte the Javaan, vreemdeling in eigen huis, een verbouwd huis bovendien. ...... Een regime, dat het land grondig veranderde en welks invloed tot in de verste uithoeken merkbaar was in verandering van levensgewonten en vooral van levensmogelijkheden was onvedraaglijk. – 

(Jawa yang telah kita bangun, dengan jalan-jalannya, pabrik-pabriknya, saluran irigasinya, jaringan kereta apinya, rumah-rumahnya, semua kemajuan yang telah dicapai Jawa. Jawa kita, kata kita (orang Belanda) karena kita merasa seperti di rumah kita sendiri ........... Jadi jelaslah di mana letak rasa sakitnya. Kita (orang Belanda) telah mengidetifikasikan diri kita dengan negeri itu (Jawa) yang sudah kita robah (bangun). Negeri kita (orang Belanda). Orang tak akan pernah merasa kerasan /di rumah di manapun juga tanpa pemilik aslinya ikut berobah, dan bukan dengan membuat pemilik rumah yang sebenarnya terasing di rumah sendiri. Rasa kerasan dan rasa memiliki rumah  (Jawa) oleh kita (baca-orang Belanda) telah membuat orang Jawa menjadi orang asing dalam rumah sendiri, sebuah rumah yang telah dibangun oleh kita (Belanda). ...... Sebuah pemerintah yang secara mendasar merubah keadaan suatu negeri sehingga pengaruhnya terasa sampai ke sudut-sudut yang terjauh di negeri itu, meliputi perubahan dalam kebiasaan sehari-harinya dan terutama kesempatan untuk hidup adalah suatu keadaan yang tak tertahankan/menyakitkan – terjemahan penulis).  

Bila pemerintah ingin berhasil membangun orang asli Papua ke depan, ada baiknya memerhatikan pandangan van Baal tersebut dan mengevaluasi pembangunan yang sudah dan sedang dilaksanakan selama 54 tahun ini demi mendesign suatu konsep pembangunan yang lebih sesuai untuk membangun orang asli Papua dan membuatnya kerasan di negerinya. Jangan sampai tujuan mulia kita membangun orang asli Papua justru membuat mereka merasa terasing, tersisih dan merana di negerinya. Kita tidak mungkin membangun Papua hanya sesuai dengan selera dan ambisi kita dan mengabaikan pandangan, identitas kultural, persepsi politik, serta faktor-faktor lainnya yang memengaruhi kehidupan mereka.

Bertolak dari pandangan tersebut, maka pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia pun harus bertolak dari realitas masyarakatnya. Membangun orang asli Papua tidak sama dengan membangun orang Madura atau orang Bali. Masing-masing suku bangsa memiliki budaya, pengalaman hidup, pandangan hidup, dan lain-lain aspek yang membentuk persepsi masing-masing terhadap masa depannya dan terhadap segala sesuatu yang berlangsung disekitar kehidupannya. Tanpa memerhatikan aspek-aspek tersebut, maka pembangunan yang kita laksanakan meskipun tujuannya baik, akan menciptakan keterasingan dan bahkan penolakan dari masyarakat yang ingin kita bangun.

Filosofi dan ideologi Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah pengamalan Konstitusi, Ideologi Pancasiladan semboyan Bhinneka Tunggal Ikadalam kehidupan nyata Bangsa Indonesia. Filosofi tersebut mengharuskan para perencana pembangunan mestinya melihat Indonesia sebagai negri yang penduduknya heterogen dan bukan homogen sehingga dalam merancang berbagai program dan proyek pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya haruslah juga memberi jaminan bahwa tujuan akhir pembangunan nasional adalah terbangun atau terbentuknya suatu bangsa yang namanya Bangsa Indonesia yang meskipun berbhinneka tetapi tetap satu. Bukan membangun wilayah-wilayah tertentu saja dan membiarkan daerah-daerah pinggiran merana.

Kita perlu menyadari bahwa proses “menjadi bangsa atau mem-bangsa” (a nation in being) masih panjang dan masih tetap merupakan a never ending journey. Dengan demikian kita membutuhkan visi dan misi pembangunan yang mampu mengantar dan mengintegrasikan bangsa ini mencapai tujuan nasional yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara jasmani dan rohani.

Seperti telah dikemukakan di atas, Bangsa Indonesia sudah punya landasan filosofis yang jelas sebagai pegangan untuk membangun dirinya. Namun selama ini terkesan, Ideologi Pancasila, Konstitusi dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika masih kurang difahami dan dimplementasikan oleh para pengelola negara pada tiga cabang kekuasaan dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun