Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Urgensi Roadmap Indonesia Bebas Pekerja Anak, Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja Rumah Tangga Tahun 2022

22 November 2021   09:01 Diperbarui: 22 November 2021   09:24 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar : Merdeka.com

Faktor ekonomi menjadi penyebab tumbuh kembang anak. Realitas yang terjadi adalah kehidupan dibawah garis penghidupan yang layak, kemiskinan dan kelaparan. Lagi-lagi anak harus dieksploitasi demi keberlangsungan hidup keluarga. 

Mencari penghidupan menjadi seorang asisten rumah tangga/pekerja rumah tangga anak. Di Indonesia, anak perempuan mulai bekerja menjadi ART beranjak dari usia 12-15 tahun. Sementara usia minimum anak perempuan boleh bekerja adalah 15 tahun. Banyak alasan mengapa para majikan memilih ART anak yaitu bisa digaji murah dan masih polos serta penurut.

Berdasarkan data ILO pada tahun 2010, sejumlah 2,6 juta ART sekitar 688.132 adalah pekerja anak. Realitas yang terjadi di Indonesia, pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerja dan tidak termasuk dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nasional. Dimana hak-hak atas pekerja sering kali diabaikan. Misalnya hak atas standar upah, perlindungan kesehatan, jaminan sosial, upah lembur, jam kerja dan lain-lain. Prinsip kerja ART mengikuti kebijakan dan kebijaksanaan Sang Majikan. 

Persamaan dari tenaga kerja dan Pekerja Rumah Tangga adalah equality before the law atau kesamaan derajat dihadapan hukum. Jika ART mengalami tindak kriminal, maka perkaranya akan diproses sesuai dengan aturan hukum tindak pidana. Tetapi untuk kesejahteraan legitimasinya dianggap lemah. Secara umum, sebutan bagi pekerja rumah tangga adalah pembantu bukan pekerja. Stigma ini menjadi kaleidoskop bagian pekerja sektoral informal yang kurang perhatian dari Pemerintah.

Anak sebagai Asisten Rumah Tangga akan lebih rentan terhadap tindakan kekerasan, pelecehan seksual, dan diskriminasi. Beban sosial sudah ditanggung dari ruang lingkup keluarga, dimana orang tua sudah tidak dapat memberikan pendidikan, satu-satunya jalan menghasilkan uang adalah dengan menjadi ART. Karena anak perempuan biasanya terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga.

Anak perempuan semakin termajinalkan dengan adanya anggapan setinggi-tingginya anak perempuan sekolah, ujung-ujungnya tetap saja kasur, dapur, sumur. Sehingga jalan pintas yang diambil sebagian besar orang tua yang mengalami kesulitan ekonomi adalah bekerja menjadi asisten rumah tangga.

Selain faktor tersebut, meningkatnya permintaan kebutuhan asisten rumah tangga, mau tidak mau menjadikan anak perempuan sebagai komoditas yang lebih mudah diperjualbelikan/trafficing.

Selain alasan ekonomi, munculnya pekerja rumah tangga anak dikarenakan adanya alasan psikologis dan sosiologis. Secara sosiologis, hal ini berkaitan dengan watak sosial kelas buruh. Dimana pendidikan anak pada tataran ini merupakan barang mewah. Secara psikologis, membawa dampak pada anak untuk mewujudkan apa yang mereka harapkan melalui tempat kerja. Karena ditempat kerja mereka belajar tentang caranya berhubungan dengan orang lain dan belajar bekerja lebih baik.

Tak jarang ditemui, PRTA adalah korban human trafficking. Mengetahui aturannya sebaiknya condition sine quo non terhadap kepatuhan hukum yang berlaku. Peran majikan harus detail memperhatikan latar belakang pekerja karena menjadi tanggung jawab bersama. 

Selain untuk keamanan pribadi, karena mengurus rumah tangga adalah tanggung jawab yang berat. Bagaimana bisa orang asing mengetahui seluk beluk rumah dan kebiasaan yang dilakukan oleh majikannya. Dengan mengetahui latar belakang ART, tentu sedari awal sudah membantu pemerintah dalam upaya perdagangan manusia.

Urgensi pokok aturan yang melindungi warga negara adalah UUD 1945 pasal 27 ayat 1yang berbunyi segala warga negara bersaman kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam pasal 2 melanjutkan hak yang diterima warga negara "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan"

Proses dan perjalanan RUU PPRT sangat panjang dimulai dari tahun 2004 - 2009 diagendakan untuk masuk dalam Prolegnas dan masa bakti DPR-RI. Sejak 2010 masuk dalam pembahasan Komisi IX DPR RI, bahkan pada tahun 2012 pemerintah mengadakan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Hingga sekarang, RUU tersebut masuk dalam RUU prioritas.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015, tren pekerja rumah tangga mencapai 4,2 juta, disusul India 3,8 juta, Filiphina 2,6 juta. Sejumlah 14% dari pekerja rumah tangga adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA).

Oleh karena itu, RUU PPRT memuat landasan pokok berupa pengakuan PRT sebagai pekerja, kesejahteraan PRT sebagai pekerja dan warga negara, perlindungan dan keseimbangan hubungan kerja antara pemberi kerja dan PRT, pengkategorian PRT, ruang lingkup kerja, syarat dan kondisi kerja, hak dan kewajiban pemberi kerja dan PRT, pendidikan dan pelatihan bagi pekerja, penghapusan PRTA, penyelesaian masalah, serikat pekerja, pengawasan, informasi kerja, penyedia jasa, sanksi dan masa peralihan. Hal ini begitu kompleks, mengingat aspek kemanusiaan dan keadilan harus dijunjung tinggi.

Akselarasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menuntaskan permasalahan ini adalah akselerasi dalam bentuk peta jalan Pencapaian Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (PBPTA) tahun 2016. Komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk ratifikasi konvensi ILO, UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, serta Keppres no.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional PBPTA (RAN-PBPTA).

Dilansir dari Sakernas tahun 2012, distribusi pekerja anak berdasarkan aktivitas ekonomi sebanyak 60% pertanian, 26% jasa, 7% industri, 7% lain-lain. Sakernas memaparkan data secara detail PRTA sebanyak 9094 orang/ 86,5% dari usia 15-17 tahun bekerja lebih dari 40 jam. Angka ini jelas bentuk keprihatinan terhadap anak di Indonesia.

Ditambah lagi dengan aktivitas berbahaya lainnya yang dilakukan. Misalnya bekerja dengan bahan berbahaya, berhubungan dengan api dan gas, ledakan, beban berat, bekerja pada ketinggian, pekerjaan yang berhubungan dengan suhu dingin, ruang gelap dan tertutup.

Peran serta pemangku kepentingan seperti Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementrian Sosial, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Dalam Negeri, Kepolisian, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Program-program yang telah dilangsungkan tersebut berkontribusi bagi penghapusan BPTA. Selama kurun waktu lima tahun pada Tahap I, terdapat 41.453 anak yang dapat dicegah memasuki BPTA. Selain itu, sebanyak 3.658 anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk untuk anak ditarik keluar dari pekerjaannya dengan diberikan berbagai layanan. 

Strategi Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 : 

1. Evaluasi Pelaksanaan RAN Penghapusan BPTA Selama 10 Tahun. 

2. Menetapkan Prioritas Kebijakan dan Program. 

3. Mengintegrasikan Peta Jalan (Roadmap) Indonesia Bebas PA Tahun 2022 dalam Rencana Pembangunan Daerah. 

4. Aksi Penghapusan PA dan BPTA Dilakukan Secara Berkelanjutan dengan Melibatkan Semua Pihak. 

Beberapa program dalam Roadmap ini adalah : 

1. Program Transfer Tunai. 

2. Skema Padat Karya. 

3. Akses Terhadap Kredit Mikro

4. Program Pemberian Makanan Tambahan dan Pembebasan Uang Sekolah. 

5. Kebijakan Pasar 

6. Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah 

7. Implementasi Peta Jalan (Roadmap) dalam Perencanaan Pembangunan Daerah. 

8. Integrasi Peta Jalan (Roadmap) Penghapusan PA dan BPTA dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Roadmap ini merupakan wujud dari keseriusan dan kepeduliaan terhadap hak bagi pekerja rumah tangga yang diabaikan. Padahal, PRT telah banyak membantu meringankan beban, tetapi diabaikan hak dan kewajibannya. Kesetaraan dan keadilannya menjadi masalah yang pelik. Semoga 2022, hak bagi pekerja rumah tangga dapat diwujudkan dalam manifestasi nyata. 

Jakarta Selatan, 22 November 2021

Salam, 

Sri Patmi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun