Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

AUKUS, Pakta Pertahanan atau Pakta Keamanan?

17 November 2021   10:47 Diperbarui: 18 November 2021   18:44 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar : asianews.com

Berangkat dari banyak persoalan politik luar negeri yang terjadi saat ini, Indonesia dengan politik bebas aktif masih terus menjalankan hubungan diplomasi yang baik dengan banyak negara tak terkecuali China dan AS. Meski saat ini terjadi eskalasi konflik yang makin menegang diantara kedua negara. Memanasnya konflik ini adalah reaksi dari kebijakan dan kejutan yang tak tertebak yaitu Pakta AUKUS. 

Belum reda rasa khawatir nelayan di Kepulauan Natuna akibat kapal perang dan kapal yang alih-alih melakukan penelitian di zona abu-abu antara ZEE dan Nine Dash Line. Rupanya China semakin menjadi-jadi ingin menunjukkan pada dunia tentang Nine Dash Line. 

Pengakuan atas Nine Dash Line ditunjukkan dengan cara halus/soft diplomacy. Indonesia memiliki kedaulatan laut dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). 

China juga merasa memiliki kedaulatan laut dengan Nine Dash Line. Terlebih pasukan TNI yang dikerahkan di Kepulauan Natuna, bukan hanya bertugas menjaga kedaulatan, melainkan juga untuk menegakkan hukum jika terjadi pelanggaran batas teritorial suatu negara. 

Secara sederhana cara China menunjukkan kedaulatannya dengan bahasa, "kami tidak perlu kapal perang ditempatkan di Laut China Selatan, hanya kapal penelitian saja untuk menunjukkan keberadaan Nine Dash Line pada seluruh dunia". Saya pribadi selaku Warga Negara Indonesia merasa tidak nyaman dengan cara-cara China menunjukkan kekuasaannya. 

Apalagi banyak nelayan yang mencari penghidupan di Laut pun merasakan kegelisahan terhadap hal ini. Atas dasar hal ini terhadap keberadaan AUKUS yang diresmikan tanggal 15 September 2021, seharusnya Indonesia dapat menunjukkan keberpihakannya kepada AUKUS. Apalagi berbicara masalah keamanan negara, didalamnya bukan hanya ada keamanan kolektif saja. 

Tetapi kompleks pada keamanan nasional, keamanan internasional, keamanan global dan keamanan insani. Aspek yang paling diperhatikan secara detail adalah menyangkut keamanan insani. 

Apalagi daerah perbatasan yang memiliki keterbatasan jangkau dari pusat negara. Isu keamanan global ini akan menyentuh pada ranah keamanan insani yang didalamnya terdapat aspek kemanusiaan, isu kesejahteraan, Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, kemiskinan, penghidupan warga negara yang berada di perbatasan utamanya saat ini. 

Pada perspektif lainnya, berdasarkan NPT atau Non-Proliferasi Treaty, aliansi negara AUKUS telah melanggar perjanjian tersebut. Sikap ini sangat keterlaluan dan membuat geram banyak pihak. 

Pihak-pihak yang merasa dirugikan secara global adalah kawasan IndoPasifik yang mengharapkan perdamaian dunia. Jangankan senjata nuklir, masih ingat dengan kejadian WTC di AS? 

Pesawat tempur biasa saja, bisa menjadi ancaman serius bagi suatu negara. Jika istilah perang dunia II, kita mengenal yang namanya kamikaze. Untuk saat ini, bisa saja PM Australia atau Inggris akan mentaati untuk tidak menggunakan senjata nuklir sebagai perang nyata bagi kehidupan manusia. 

Waktu berganti dan manusia itu dinamis, bisa berubah kapanpun. Negara manapun termasuk UNI Eropa sendiri terkejut dengan adanya AUKUS. Padahal masih hangat diingatan saya, Korea Utara dikenakan sangsi dari AS karena nuklir dengan alasan perdamaian dunia tanpa nuklir. 

Lalu bagaimana dengan AUKUS? Jika pemindah pengetahuan tentang nuklir sudah terjadi, dan kapal selam nuklir dibuat, memang kapal selam itu akan beroperasi dimana? Tentunya akan bergesekan juga dengan wilayah perairan Indonesia? 

Berangkat dari hal ini, Indonesia dapat menunjukkan keberpihakannya pada China. Bayangkan saja, jika terjadi perang nyata pelepasan nuklir diantara pihak yang berseteru? 

Indonesia berada ditengah-tengah dan mengkhawatirkan keamanan nasional dan keamanan insani. Meski menganut politik bebas aktif, Indonesia harus segera menentukan keberpihakan. Terlebih dengan adanya kejadian ini, tentunya akan menimbulkan efek domino pada kebijakan negara, kebijakan politik dan kebijakan ekonomi. Siapa yang dirugikan dalam hal ini? Kita juga sebagai Warga Negara Indonesia. 

Apalagi jika ditinjau lebih dalam lagi, gerbang perairan Natuna sangat strategis untuk lalu lalang kepentingan ekonomi impor dan ekspor barang, ditambah lagi harus ada mobilisasi kapal perang China yang ingin menunjukkan taringnya pada dunia. Aspek geopolitik ini bukan hanya makanan renyah dibidang politik, pertahanan dan keamanan saja, ini semua menjadi kewaspadaan bagi kita semua. 

Melalui juru biacaranya, Menteri Luar Negeri mengharapkan untuk mengedepankan dialog, mencermati dengan kehati-hatian, dan menegaskan kembali komitmen NPT. Saatnya Indonesia memainkan peran dikancah internasional dalam masalah ini. Jika beberapa waktu lalu, China memiliki regulasi seluruh kapal yang masuk Laut China Selatan harus didaftarkan dan tercatat keperluan serta kepentingannya. 

Pihak yang merasa dikecewakan selanjutnya adalah negara Prancis yang balik badan karena terjadinya pembatalan pengadaan kapal selam dengan Australia. Selain Prancis, ada lagi negara yang merasa dikecewakan adalah China tentunya. Negara China geram dengan AUKUS bahkan menganggap hal ini sebagai tindakan tidak bertanggung jawab. 

Negara-negara ASEAN dan Selandia Baru serta UNI Eropa yang merasa tidak diikutsertakan dalam aliansi untuk menghadapi IndoPasifik. Disini, bukan artinya Indonesia menjadi opportunis, tetapi Indonesia dapat mengambil langkah dari sikap-sikap kekecewaan negara-negara tersebut. Dimana Indonesia harus meletakkan diri? 

Jika juru bicara Menlu, harus ada dialog, artinya saat ini Indonesia dapat duduk bersama dengan negara-negara ASEAN membangun solidaritas bersama, menyamakan suara diatas kepentingan perdamaian dunia. 

Jangan seperti sekarang yang sedang terjadi, Filiphina mendukung AUKUS, sementara RI dan Malaysia menolak AUKUS. ASEAN memiliki kemampuan yang sangat potensial terhadap problematika ini. Di tahun 2022, Indonesia dapat mengangkat isu keamanan global ini dalam KTT G20. Pendekatan terhadap Prancis perlu dilakukan mengingat negara ini sangat dikecewakan oleh sikap Australia. 

Pertanyaan mendasar adalah Apakah AUKUS Pakta Pertahanan atau Pakta Keamanan? 

Dari uraian diatas persepsi kita sudah terbentuk. Meski PM Australia sudah mengeluarkan pernyataan jika AUKUS ini bukan Pakta Pertahanan melainkan Pakta Keamanan Kolektif. 

"Perdana Menteri kami [Boris Johnson], bersama dengan Presiden Biden dan Perdana Menteri Morrison mengumumkan sebuah kemitraan keamanan yang kami sebut AUKUS. Saya harus menegaskan bahwa AUKUS bukanlah sebuah traktat, bukan pakta, bukan aliansi baru," tegas Dubes Jenkins dalam webinar soal Kemitraan Strategis Indonesia-Inggris, Rabu (22/9).

Indonesia memang menganut politik bebas aktif, tetapi bukan berarti tidak menunjukkan keberpihakan/tendensi. Bersikap adalah bentuk sebuah kewajaran untuk menjaga kedaulatan NKRI dan melindungi segenap rakyatnya agar tidak terdampak secara langsung atau tidak langsung. Dalam dunia pergaulan/hubungan internasional, kita tidak pernah tahu siapa kawan dan siapa lawan? Yang ada hanyalah kepentingan. 

Bogor, 17 November 2021

Salam, 

Sri Patmi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun