Mohon tunggu...
Fransiskus Pascaries
Fransiskus Pascaries Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan penerjemah lepas

sesekali kita perlu menoleh ke belakang, agar langkah ke depan tak terantuk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Berharga bersama Orang Rimba

30 September 2020   23:01 Diperbarui: 1 Oktober 2020   09:19 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS/IRMA TAMBUNAN)

Andaikan Anda adalah seorang penyuluh kesehatan di kota besar, tentu Anda merasakan bagaimana sulitnya menanamkan pola hidup sehat bagi masyarakat di masa pandemi COVID-19 ini. Tapi, itu tampaknya tak seberapa dengan apa yang dihadapi Radhimas Firmansyah (37 tahun).

Pria yang sejak tahun 2008 berkarya di Jambi ini tahu persis bagaimana rasanya hidup bersama dan bekerja di antara kelompok Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di sana.  

Setelah awal Maret 2020 pemerintah pusat mengumumkan pasien pertama COVID-19 di Indonesia, pada minggu ketiga bulan yang sama Dhimas, begitu ia biasa disapa, bersama timnya di sebuah perusahaan di Jambi melakukan sosialisasi kepada kelompok Orang Rimba di sana.

Seminggu sebelum ia dan timnya menjalankan sosialisasi, banyak Orang Rimba yang sudah tak di rumah.

"Dari dulu, sejak zaman nenek moyang dulu mereka ini tipe forager, yaitu berburu, meramu, dan mengambil hasil hutan," kata Dhimas.

Situasi menjadi sulit, karena terbatasnya akses masyarakat setempat pada sumber-sumber informasi tepercaya yang bisa dengan mudah didapat orang-orang di perkotaan. Sinyal telepon seluler pun tak seperti di kota.

Banyak informasi keliru dan menakutkan beredar di kalangan Orang Rimba. Informasi itu berbunyi kira-kira: jangan berdekatan karena kalau orangnya tertular langsung akan meninggal.

"Jadi, yang mereka persepsikan penyakit ini memang cukup menakutkan, sama seperti konsepsi-konsepsi mereka tentang penyakit atau pandemi. Begitu situasinya," kata Dhimas kepada saya melalui pesan suara di Whatsapp.

Pihaknya secara rutin menggelar sosialisasi alias penyuluhan tentang kesehatan ini. Mulai dari menjelaskan pentingnya untuk rajin-rajin mencuci tangan dan memakai masker.

Itu tentu agak sulit diterima oleh kebanyak warga Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.

Ini sulit, karena praktis memang tidak pernah ada kebiasaan seperti itu. Tapi, Dhimas dan kawan-kawannya tetap menyampaikan bahwa situasilah yang menuntut semua pihak untuk melakukan ini. Sehingga memang diharapkan untuk bisa sama-sama disiplin untuk menjalankan.

Dhimas menggelar sosialisasi itu setelah sejumlah kelompok Orang Rimba beranjak cukup jauh dari rumah tempat mereka tinggal.

"Mereka sudah berada di pinggir hutan yang masih asri. Itu memang strategi mereka untuk menghindari dari pandemi atau penyakit," kata Dhimas yang bisa berkomunikasi dalam bahasa setempat dengan Orang Rimba karena sudah terbiasa makan, tidur dan hidup bersama Orang Rimba.

Tak mudah untuk menanamkan habitus baru dan pola hidup sehat. Tapi, Dhimas dan kawan-kawannya tak putus asa.

Perlahan-lahan beberapa orang yang mereka lihat dan temui saat berkendara dan berjalan sudah mulai mengenakan masker dan baju lengan panjang. 

Di rumah pun, mereka mulai menerapkan kebiasaan mencuci tangan dan tidak berdekatan dengan orang yang baru tiba dari luar daerah.

Dhimas biasanya berperan dalam mengoordinasikan tim internal PT Royal Lestari Utama dan tim dari Puskesmas Suo-Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. 

Mereka merencanakan jadwal kunjungan, lokasi Orang Rimba yang senantiasa berpindah-pindah, serta penyakit apa saja yang diderita.

Jika ada yang menderita sakit namun tidak tertangani di Puskesmas, mereka biasa akan merujuk pasien tersebut ke Rumah Sakit Umum Daerah Tebo, agar bisa mendapatkan perawatan lebih memadai.

Ia dan sejumlah rekan bisa bahasa yang dipakai Orang Rimba, sehingga penjelasan relatif bisa diterima meski tidak secara ilmiah.

Biasanya mereka menjelaskan bahwa penyakit menular seperti Covid-19 ini adalah sesatu yang tidak terlihat dengan mata, tapi nyata adanya.

Ia dan kawan-kawan penyuluh juga menjelaskan apa perbedaan penyakit ini dibanding batuk atau pilek biasa, gejala seperti nafas sesak dan pendek yang menyertai, badan lemas, lidah tak bisa mengecap, hidung kehilangan kemampuan mendeteksi bau, dan seterusnya.

"Kami jelaskan tanda-tanda bagi yang terkena virus kepada mereka dengan cara-cara sederhana, yang bisa diterima oleh mereka. Tapi memang itu tadi, mereka tidak pernah mengalami situasi pandemi seperti ini. Ada anggapan bahwa ini penyakit iblis atau penyakit guna-guna lah gitu. Itu yang mereka anggap," kata Dhimas yang mulai bekerja di PT Royal Lestari Utama sejak Maret 2019.

Ia mengaku tak terlalu kesulitan menjelaskan. Persoalan yang timbul kemudian adalah pihaknya tidak bisa memastikan bahwa kebiasaan hidup sehat yang disampaikan kepada Orang Rimba itu bisa diikuti atau dipatuhi.

Kebiasaan itu mencakup misalnya rajin mencuci tangan, kemudian air harus dimasak. Kata Dimas, tidak semua orang di sana melakukan itu, karena situasi secara tradisional mereka kalau minum langsung dari air sungai. Mereka hanya akan memasak air, kalau mau menyeduh kopi atau teh.

"Jadi, kalau hanya minum air putih mereka langsung dari sungai karena daerah mereka ini area hulu-hulu sungai," kata bapak dari satu anak ini.

Orang Rimba juga punya kearifan lokal yang sudah dihidupi sejak zaman nenek moyang. Namanya becenenggo.

Menurut Dhimas, itu adalah situasi di mana ketika ada satu pihak terkena penyakit, maka Orang Rimba yang bersangkutan ini akan menjauh supaya tidak menularkan penyakit ini kepada orang lain.

Ia dan tim berharap ada tenaga kesehatan yang rutin atau paling tidak bisa didatangkan ketika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengungjungi Orang Rimba.

Selain itu, ia mengharap agar pemerintah juga membuka akses yang cukup luas bagi Orang Rimba, karena belum semua, ada beberapa dari mereka sudah mempunyai nomor induk kependudukan.

Hal ini dirasa cukup merepotkan saat, misalnya, para pihak ingin membantu fasilitasi tenaga kesehatan.

"Alangkah baiknya memang pemerintah juga lebih aktif turun ke kelompok-kelompok Orang Rimba yang memang secara akses jauh dan terpencil," kata Dhimas berharap.

Jarak Bukan Penghalang

Tak banyak orang yang memilih untuk berkarya jauh dari kota kelahirannya. Dari yang tak banyak itu, Dhimas lah salah satunya.

Pria asal Pasuruan, Jawa Timur ini memilih Jambi sebagai lahan pengabdian. Jarak sekitar 1600 kilometer yang terentang dari tanah kelahirannya ke Jambi tak jadi penghalang.

Ia awal mulanya pada tahun 2008 melamar kerja di sebuah lembaga nonpemerintah yaitu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi di Jambi.

Mulanya, ia tidak mengetahui bahwa ia akan bersentuhan dengna kelompok-kelompok Orang Rimba atau SAD yang ada di Jambi.

Pada waktu itu ia melamar untuk posisi Forest Management. Sesuai dengan latar belakang pendidikannya yaitu jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan dari Institut Pertanian Bogor.

Tugas utamanya pada waktu itu adalah mengunjungi kantong-kantong hutan sisa yang ada di Provinsi Jambi terutama juga yang menjadi ruang hidup bagi SAD atau Orang Rimba serta masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pada sumber daya hutan di sekitar wilayah mereka.

Dhimas pada masa itu lebih banyak beraktivitas di Taman Nasional Bukit Duabelas, yang merupakan kantong populasi terbesar kelompok Orang Rimba yang ada di Provinsi Jambi.

Kalau transportasi di kota besar dihadapkan pada persoalan kemacetan, di Jambi mereka berhadapan dengan cuaca yang tidak menentu.

Kalau misalnya ia membawa kendaraan bermotor saat hujan, akses jalan tentu tidak bisa ditempuh. Ia harus menunggu satu sampai dua hari, dan setelah jalan mengering baru bisa menuju ke lokasi.

Ketika misalnya sudah berada di dalam hutan, tak ada pilihan lain, ia harus berjalan kaki. Bisa dua hari baru sampai ke lokasi yang dituju. Tapi, ia mengaku tidak terlalu kesulitan mencari alamat di hutan.

"Kalau di hutannya sebenarnya tidak terlalu sulit ya. Kita bisa bertemu dengan kelompok-kelompok Orang Rimba, lalu minta tolong untuk ditunjukkan jalannya sampai ke lokasi yang mau kita tuju di dalam hutan itu," kata Dhimas.

Ia terkesan, karena disadarkan bahwa ternyata ada manusia yang sungguh-sungguh terikat dengan hutan dan kemudian mereka secara arif punya pengetahuan dalam mengelola hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya, termasuk juga segenap norma yang berlaku di kelompok Orang Rimba atau SAD ini.

"Itu pengalaman paling berharga yang saya peroleh,"tegas Dhimas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun