Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

KopiStudio24 : Jejak Pagi di Jalan Bromo

10 September 2025   19:12 Diperbarui: 10 September 2025   19:12 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan depan KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

KopiStudio24 : Jejak Pagi di Jalan Bromo

Pagi di pusat kota Malang selalu memiliki cerita. Ada semacam getaran yang tak bisa ditangkap hanya dengan pandangan mata. Barangkali karena kota ini lahir dari tradisi panjang kolonial Belanda yang meninggalkan banyak bangunan ikonik, atau karena masyarakatnya yang hangat, ramah, sekaligus religius. Apa pun itu, Malang sering kali menghadirkan pengalaman kecil yang terasa berharga bagi siapa saja yang mau berhenti sejenak dan menikmatinya.

Beberapa hari setelah perayaan Maulid Nabi, suasana religius itu masih terasa di pusat kota. Sejak awal Juli, saya melihat arus kendaraan mengalir deras, membawa warga yang hendak menghadiri rangkaian acara maulid di masjid-masjid besar Malang. Bukan sekadar pesta seremonial, melainkan perayaan yang khas : khidmat, teduh, dan berakar kuat dalam keseharian warga. Tepat pada 9 Juli, ketika saya mengantar istri ke GKI Bromo, saya kembali menangkap suasana itu. Ada rasa damai yang sulit diceritakan, seakan udara pagi membawa sisa lantunan shalawat yang masih menggema di hati orang-orang.

Baca juga: Menyatukan Bromo

Tampilan depan KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.
Tampilan depan KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

Saya berjanji menjemput istri sekitar pukul 10.15. Artinya, saya punya waktu luang untuk sekadar berjalan mencari tempat ngopi. Malang pagi itu masih dingin. Dengan langkah santai, saya menyusuri Jalan Bromo yang tak jauh dari Jalan Ijen. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah kedai kopi dengan papan nama tak asing: KopiStudio24. Lokasinya persis di Jalan Bromo No. 4, tak jauh dari gereja tempat istri saya beribadah. Nama itu bukan nama baru bagi saya, sebab cabangnya sudah tersebar di beberapa titik kota Malang. Tetapi justru itulah yang menarik : bagaimana sebuah merek kopi kekinian bisa menempati bangunan lama khas Belanda, lalu memberi napas baru bagi ruang yang mungkin sempat terlupakan.

Customer di depan kasir KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.
Customer di depan kasir KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

Aroma Kopi dan Jejak Kolonial

Begitu melangkah masuk, saya segera disambut suasana yang unik. Dari luar tampak sederhana, tetapi bagian belakang kedai ternyata memanjang, dengan ruang-ruang terbuka dan meja-meja yang ditata santai. Inilah ciri khas banyak bangunan tua di kawasan Jalan Bromo : fasad bergaya kolonial tetap dipertahankan, sementara fungsi dalamnya disesuaikan dengan kebutuhan modern. KopiStudio24 jelas memanfaatkan peluang ini, menjaga keaslian bentuk lama sambil menghadirkan ruang nongkrong 24 jam bagi anak muda maupun keluarga muda Malang.

Anak-anak muda yang mengantri di depan kasir KopiStudio24 menunggu panggilan. Foto: Parlin Pakpahan.
Anak-anak muda yang mengantri di depan kasir KopiStudio24 menunggu panggilan. Foto: Parlin Pakpahan.

Saya memilih duduk agak ke belakang. Sembari menunggu pesanan, saya sempat memotret ruangan dengan kamera ponsel seadanya. Tidak semua hasil jepretan bagus, tetapi cukup untuk merekam suasana : dinding yang seakan menyimpan kisah puluhan tahun, meja kayu yang penuh goresan, dan cahaya pagi yang masuk lembut dari celah-celah jendela.

Ketika melihat daftar menu, mata saya segera tertuju pada minuman yang paling aman bagi penikmat kopi klasik : Americano dingin. Harganya hanya Rp 8.000 - jumlah yang terbilang murah di tengah tren kopi kekinian yang sering kali mahal. Saya meminta sedikit gula, jangan terlalu manis. Kasir melayani dengan tangkas, menyerahkan nota kecil, lalu berkata, "Ditunggu ya, Pak, nanti dipanggil."

Ayam crispy 7 Chicken di KopiStudio24 Jln Bromo Malang, Foto : Parlin Pakpahan.
Ayam crispy 7 Chicken di KopiStudio24 Jln Bromo Malang, Foto : Parlin Pakpahan.

Kopi, Kudapan, dan Mahasiswa

Tak lama setelah duduk, saya memperhatikan pengunjung lain. Ternyata sebagian besar adalah mahasiswa. Wajar saja, karena tak jauh dari situ berdiri Universitas Budi Utomo, termasuk fakultas kedokteran gigi yang cukup banyak mahasiswanya. Mereka berkelompok, ada yang memesan minuman dingin, ada pula yang menyantap ayam goreng crispy dari 7 Chicken, mitra bisnis KopiStudio24. Suasana riuh kecil terasa akrab.

Kedai ini memang menawarkan lebih dari sekadar kopi. Ada kudapan ringan, termasuk kue pancong kekinian yang jelas mengambil inspirasi dari jajanan Betawi. Bedanya, di sini pancong hadir dengan variasi modern : topping keju, meses, bahkan varian rasa lain yang cocok dengan lidah anak muda. Harganya pun ramah, sekitar Rp 6.500 per potong. Tak heran jika kedai ini ramai sejak pagi, apalagi bagi pelajar dan mahasiswa yang mencari camilan murah meriah.

Petugas yang sibuk di ruang kerja KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.
Petugas yang sibuk di ruang kerja KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.

Kehadiran 7 Chicken di bawah atap yang sama juga menambah daya tarik. Kombinasi kopi dan ayam goreng renyah menjadi penawar lapar yang praktis. Pola bisnis semacam ini memang sedang tren : satu lokasi menampung beberapa brand sekaligus, sehingga pengunjung punya banyak pilihan tanpa harus berpindah tempat.

Rasa yang Tertinggal

Ketika panggilan datang, segelas Americano dingin akhirnya tiba di meja saya. Warnanya pekat, aromanya khas arabika dengan sentuhan lembut rasa citrus, seakan ada jejak orange di dalamnya. Saya menyesap perlahan. Rasanya cukup halus, meski bagi pecinta kopi panas seperti saya, ada rasa yang hilang. Kopi seharusnya hangat, mendampingi dinginnya pagi di kota Malang. Tetapi di KopiStudio24, hampir semua menu berorientasi pada tren minuman dingin kekinian. Mereka lebih banyak menawarkan varian kopi susu, matcha, hingga minuman campuran lain yang populer di kalangan milenial.

Petugas yang sibuk di ruang kerja KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.
Petugas yang sibuk di ruang kerja KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.

Namun, saya mencoba memakluminya. Pasar yang mereka bidik jelas berbeda dengan generasi peminum kopi tradisional. Ini soal gaya hidup : nongkrong, memotret, mengunggah ke media sosial, sambil menikmati rasa manis yang bersahabat di lidah. Di titik ini, KopiStudio24 berhasil membaca kebutuhan zaman.

Dari Jalan Bromo ke Pusat Kota

Lokasi kedai ini strategis. Jalan Bromo hanya sepelemparan batu dari Jalan Ijen yang ikonik dengan boulevard hijaunya. Dari sini, kita bisa dengan mudah berjalan kaki menuju kawasan Kajoetangan Heritage, pusat kota yang sedang dikembangkan sebagai destinasi wisata. Jika ingin melanjutkan ke kawasan Pecinan, hanya perlu bergeser sedikit.

Seorang mahasiswa tengah melakukan pembayaran di kasir KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.
Seorang mahasiswa tengah melakukan pembayaran di kasir KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.

Sekilas Sejarah Jalan Bromo dan Ijen

Jalan Bromo sendiri termasuk bagian penting dari kawasan hunian elite yang dirancang Belanda pada awal abad ke-20. Ketika Pemerintah Kolonial mengembangkan Boulevard Ijen sebagai kawasan pemukiman kelas atas, beberapa jalan kecil di sekitarnya - termasuk Jalan Bromo - dibangun untuk menampung rumah-rumah bergaya Indische dan art deco. Hingga kini, nuansa itu masih terasa lewat bangunan bercat putih dengan pilar besar, halaman luas, dan fasad klasik yang kokoh.

Dibandingkan Jalan Ijen yang lebih megah, Jalan Bromo terasa lebih intim. Namun keduanya saling melengkapi : Ijen menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat kolonial, sementara Bromo lebih banyak dihuni keluarga Eropa dan pejabat tinggi. Kehadiran GKI Bromo, misalnya, menunjukkan bahwa jalan ini sejak dulu menjadi ruang pertemuan lintas budaya dan keyakinan. Maka, wajar bila kini Jalan Bromo tetap terjaga auranya, sekaligus menjadi rumah bagi usaha modern seperti KopiStudio24.

Seorang mahasiswi tengah melakukan pembayaran di Kasir KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.
Seorang mahasiswi tengah melakukan pembayaran di Kasir KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.

Catatan tentang Layanan

Meski suasananya menyenangkan, saya mencatat satu hal : sistem pelayanannya masih kalah efisien dibandingkan kedai-kedai populer lain seperti Mie Gacoan. Di Gacoan, pelanggan diberi alat kecil yang otomatis bergetar dan menyala saat pesanan siap. Sistem ini mengurangi kebisingan panggilan manual dan membuat antrian lebih tertib. Sementara di KopiStudio24, pesanan masih dipanggil dengan suara, yang kadang menimbulkan keributan kecil.

Bukan masalah besar, memang, tetapi hal-hal semacam ini menentukan kenyamanan. Jika ingin benar-benar menjadi tempat nongkrong 24 jam yang diminati banyak orang, perbaikan sistem pelayanan akan sangat membantu.

Tempat Nongkrong Milenial

Bagian belakang KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.
Bagian belakang KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.

Secara keseluruhan, KopiStudio24 sudah memenuhi kriteria tempat nongkrong yang dicari anak muda : buka 24 jam, harga terjangkau, suasana nyaman, meja lebar, colokan listrik tersedia di mana-mana, dan tentu saja akses wifi. Semua itu menjadikannya ruang yang inklusif, bisa dipakai mahasiswa mengerjakan tugas, pekerja lepas menyelesaikan proyek, atau sekadar orang tua milenial mencari suasana santai.

Namun, nongkrong tentu ada etikanya. Tidak elok duduk berlama-lama hanya dengan satu gelas minuman murah. Ada baiknya sesekali memesan menu lain - misalnya ayam crispy dari 7 Chicken atau kue pancong khas Studio24. Dengan begitu, interaksi ekonomi tetap hidup, dan kedai bisa terus bertahan memberi ruang bagi banyak orang.

Pagi, Kopi dan Kota

Anak-anak muda Malang customer KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.
Anak-anak muda Malang customer KopiStudio24. Foto : Parlin Pakpahan.

Pagi di Jalan Bromo itu akhirnya berakhir ketika saya harus menjemput istri. Tetapi pengalaman singkat di KopiStudio24 memberi saya catatan kecil tentang bagaimana Malang terus bergerak. Kota ini mampu merayakan tradisi religiusnya dengan khidmat, lalu dalam waktu bersamaan menghadirkan ruang-ruang modern yang ramah generasi muda.

KopiStudio24 hanyalah satu contoh kecil dari dinamika itu. Ia berdiri di bangunan tua kolonial, tetapi memasarkan kopi kekinian. Ia menjadi ruang pertemuan mahasiswa, pekerja, bahkan orangtua yang hanya ingin melepas penat sejenak. Dari segelas Americano dingin yang saya teguk pagi itu, saya belajar bahwa kota memang dibangun bukan hanya oleh gedung-gedung atau jalan raya, melainkan juga oleh momen sederhana : menyeruput kopi, bercakap ringan, dan merasakan denyut hidup yang mengalir tanpa henti.

Dan mungkin, itulah yang membuat Malang selalu istimewa.

Joyogrand, Malang, Wed', Sept' 10, 2025.

Tampilan depan KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.
Tampilan depan KopiStudio24 Jln Bromo Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun