Menghidupkan Gen Tua untuk Melawan Asam Urat
Penyakit asam urat sejak lama dikenal sebagai salah satu gangguan metabolik yang menyiksa manusia. Sendi yang bengkak, rasa sakit menusuk, dan keterbatasan gerak menjadi bagian dari penderitaan yang tidak asing lagi. Bahkan dalam sejarah, penyakit ini mendapat julukan the disease of kings karena sering dikaitkan dengan pola makan berlebih, terutama daging merah dan alkohol. Namun, penelitian terbaru yang dikutip David Nield di Sciencealert edisi 5 September 2025 membuka harapan baru : para ilmuwan berhasil membangkitkan kembali gen purba berusia lebih dari 20 juta tahun yang mungkin menjadi kunci untuk mengatasi penyakit ini.
Asal Usul Masalah : Hilangnya Gen Uricase
Pada dasarnya, asam urat terbentuk dari pemecahan purin - zat yang banyak ditemukan dalam makanan seperti jeroan, daging merah, dan makanan laut. Dalam kondisi normal, tubuh mampu menjaga kadar asam urat agar tetap seimbang. Namun pada manusia dan beberapa primata, keseimbangan ini terganggu karena satu alasan penting: hilangnya gen uricase jutaan tahun lalu.
Gen uricase menghasilkan enzim yang berfungsi menguraikan asam urat menjadi zat yang lebih mudah dibuang tubuh. Tanpa enzim ini, manusia menjadi rentan mengalami penumpukan asam urat, yang pada gilirannya membentuk kristal tajam di sendi maupun ginjal. Akibatnya, muncul kondisi hiperurisemia, yang tidak hanya menimbulkan nyeri sendi, tetapi juga berhubungan dengan penyakit ginjal, kerusakan hati, dan gangguan kardiovaskular.
Ilmuwan evolusi memperkirakan hilangnya gen uricase terjadi sekitar 20--29 juta tahun lalu. Pada masa itu, peningkatan kadar asam urat justru dianggap menguntungkan. Asam urat berlebih membantu nenek moyang primata mengubah gula buah menjadi lemak, sehingga mereka lebih mudah bertahan hidup saat makanan langka. Namun, keunggulan evolusioner di masa lalu ternyata berubah menjadi bumerang di era modern ketika kelaparan bukan lagi ancaman utama, sementara makanan melimpah justru memicu penyakit metabolik.
Eksperimen Kebangkitan Gen Purba
Di sinilah peran riset mutakhir dari Lais Balico dan Eric Gaucher di Georgia State University menjadi penting. Menggunakan teknologi penyuntingan gen CRISPR, mereka merekonstruksi kembali gen uricase yang hilang dengan mengacu pada versi aktif dari mamalia lain. Model komputer pun membantu memperkirakan bentuk gen seperti apa yang pernah dimiliki nenek moyang manusia.
Hasilnya cukup mengejutkan. Ketika gen uricase purba ini dimasukkan ke sel hati manusia yang direkayasa di laboratorium, sel tersebut mulai menghasilkan enzim uricase. Lebih dari itu, enzim ini bekerja efektif: kadar asam urat turun, dan konversi fruktosa menjadi trigliserida - lemak yang menumpuk di hati - berhenti. Pada uji yang lebih kompleks menggunakan sferoid hati 3D, hasil serupa kembali terulang.
Satu hal yang membuat para peneliti semakin optimistis adalah cara enzim ini menemukan jalannya ke dalam peroksisom, yakni organel kecil di dalam sel tempat uricase seharusnya bekerja. Artinya, enzim yang diaktifkan kembali ini bukan sekadar aktif, tetapi juga tahu "rumahnya" di dalam sel.
Implikasi Medis yang Luas
Jika penelitian ini terbukti aman pada hewan dan kemudian manusia, manfaatnya akan jauh melampaui sekadar mengatasi asam urat. Kadar asam urat tinggi sudah lama dikaitkan dengan berbagai penyakit serius : hipertensi, batu ginjal, penyakit jantung, bahkan sindrom metabolik. Dengan kata lain, terapi berbasis kebangkitan gen purba ini berpotensi menjadi pintu masuk pencegahan penyakit kronis yang selama ini menjadi beban sistem kesehatan global.
Eric Gaucher menegaskan, "Dengan menurunkan asam urat, kita berpotensi mencegah beberapa penyakit sekaligus." Pandangan ini tidak berlebihan, mengingat hiperurisemia diperkirakan dialami 1 dari 5 orang dewasa di Amerika Serikat. Di Indonesia, meski data statistik nasional tidak sejelas itu, tren konsumsi makanan berpurin tinggi, minuman manis, serta gaya hidup sedentari membuat penyakit ini semakin lazim ditemui di rumah sakit.
Asam Urat di Indonesia : Antara Gaya Hidup dan Akses Pengobatan
Di negeri ini, asam urat kerap dipandang sebagai "penyakit orang tua". Padahal, kini banyak pasien berusia muda mulai mengalaminya, terutama mereka yang terbiasa dengan pola makan cepat saji dan minuman manis kemasan. Budaya nongkrong dengan daging bakar, sate kambing, ditambah alkohol atau minuman bersoda semakin memperbesar risiko.
Obat-obatan modern seperti allopurinol memang tersedia, tetapi tidak selalu efektif bagi semua orang. Efek samping seperti reaksi alergi, gangguan hati, atau bahkan gagal ginjal pada kasus tertentu membuat sebagian pasien kesulitan bertahan dengan terapi jangka panjang. Belum lagi biaya pengobatan yang tidak selalu murah bagi masyarakat kecil.
Dalam konteks ini, temuan tentang gen uricase purba membawa secercah harapan. Jika teknologi terapi gen ini dapat dikembangkan lebih lanjut dan tersedia secara luas, pasien tidak hanya akan terbebas dari nyeri sendi yang melemahkan, tetapi juga terlindung dari komplikasi kronis seperti gagal ginjal atau penyakit jantung.
Pertanyaan Etika dan Keamanan
Namun, optimisme ini harus diimbangi dengan kewaspadaan. Intervensi pada tingkat genetik bukanlah hal sepele. Pertama, masih perlu dipastikan mengaktifkan kembali gen purba tidak akan mengganggu proses biologis lain yang penting. Alam tentu punya alasan ketika "memilih" untuk menonaktifkan uricase jutaan tahun lalu, meskipun kini alasannya sudah tidak relevan.
Kedua, penerapan terapi gen pada manusia menimbulkan pertanyaan etis : apakah manusia berhak "memodifikasi" tubuhnya dengan kode genetika yang sudah lama hilang? Bagaimana memastikan teknologi ini tidak hanya dinikmati kelompok kaya, sementara masyarakat miskin tetap terjebak dengan pengobatan konvensional yang penuh keterbatasan?
Ketiga, persoalan distribusi dan edukasi kesehatan juga tak kalah penting. Terapi gen adalah produk teknologi tinggi yang memerlukan biaya besar. Tanpa regulasi dan komitmen negara, besar kemungkinan kesenjangan akses akan semakin melebar.
Membayangkan Masa Depan Bebas Asam Urat
Bayangkan jika dalam 20 tahun ke depan, terapi gen uricase menjadi standar pengobatan. Pasien tidak lagi harus menahan sakit berhari-hari akibat serangan asam urat. Rumah sakit tidak lagi dipenuhi pasien dengan komplikasi batu ginjal atau gagal ginjal akibat hiperurisemia. Sistem kesehatan pun lebih ringan bebannya, karena pencegahan lebih murah dibanding penanganan penyakit kronis.
Namun, membayangkan saja tidak cukup. Indonesia perlu menyiapkan diri sejak dini. Pertama, melalui penelitian lokal yang ikut menguji efektivitas dan keamanan teknologi ini pada populasi Asia Tenggara. Kedua, dengan memperkuat sistem regulasi bioteknologi agar siap menghadapi era terapi gen. Ketiga, yang tak kalah penting, melalui edukasi publik bahwa sains bukan sekadar "ilmu jauh di laboratorium", melainkan solusi nyata untuk penyakit yang sehari-hari mereka derita.
Menghubungkan Tradisi dan Sains
Menariknya, di Indonesia penyakit asam urat sering dihubungkan dengan tradisi makanan tertentu. Misalnya, konsumsi jeroan atau seafood dalam hajatan sering dianggap penyebab kambuhnya penyakit. Banyak pula pengobatan alternatif yang beredar, mulai dari jamu herbal hingga terapi rendaman kaki. Walaupun beberapa metode tradisional mungkin memberikan efek placebo atau manfaat terbatas, tidak ada yang benar-benar menyentuh akar persoalan: tubuh manusia memang kehilangan kemampuan genetis untuk mengurai asam urat.
Dengan demikian, kebangkitan kembali gen uricase menjadi bentuk "rekonsiliasi" antara masa lalu evolusi dan masa depan kesehatan manusia. Seolah-olah sains modern memberi kesempatan kedua bagi tubuh manusia untuk memperbaiki "kesalahan evolusi" jutaan tahun silam.
Kisah tentang kebangkitan gen uricase purba bukan sekadar berita sains yang menarik, tetapi juga simbol harapan bagi jutaan penderita asam urat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ia menunjukkan betapa pengetahuan tentang sejarah evolusi dapat diterjemahkan menjadi solusi medis yang konkret.
Tentu perjalanan masih Panjang : uji hewan, uji klinis manusia, hingga perdebatan etika akan mewarnai langkah ke depan. Namun, jika berhasil, terapi gen ini akan menjadi revolusi dalam dunia kesehatan, menggeser paradigma pengobatan dari sekadar meredakan gejala menuju memperbaiki akar biologis penyakit.
Di negeri dengan angka penderita asam urat yang terus meningkat, wacana ini perlu segera disosialisasikan. Bukan hanya agar masyarakat tahu ada harapan baru, tetapi juga agar kita sebagai bangsa siap menyambut era baru pengobatan yang melibatkan rekayasa genetik. Dari gen berusia 20 juta tahun, lahirlah kemungkinan masa depan bebas asam urat.
Lihat :
https://www.sciencealert.com/scientists-revive-20-million-year-old-gene-to-help-fight-gout
Joyogrand, Malang, Fri', Sept' 05, 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI