Dilema Prabowo : Misi Kemanusiaan dan Tantangan Ekonomi Nasional
Presiden Prabowo Subianto memulai lawatan penting ke Timur Tengah pada Rabu, 9 April ybl, yang mencakup kunjungan ke Qatar, Turki, Mesir, Yordania, dan otoritas Palestina di bawah Fatah. Lawatan ini menuai sorotan luas, tidak hanya karena Presiden Prabowo sempat berpidato di depan parlemen Turki, tetapi juga karena tujuan utamanya yang mulia, yi melakukan koordinasi dan kerjasama dalam upaya mengevakuasi sekitar 1000 warga Gaza ke Indonesia. Namun, di tengah gemuruh diplomatik ini, muncul reaksi beragam dari dalam negeri yang mencerminkan betapa peliknya posisi Indonesia di panggung global saat ini.
Misi kemanusiaan tersebut, meskipun selaras dengan amanat konstitusi Indonesia untuk turut serta menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, tidak sepenuhnya disambut hangat oleh semua pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kerap menyuarakan sikap keagamaan mayoritas, termasuk di antara pihak yang secara terbuka mempertanyakan urgensi serta dampak domestik dari kebijakan tersebut. Sementara sebagian kalangan mendukung dengan argumen bahwa langkah ini merupakan bentuk konkret solidaritas umat dan pencerminan nilai-nilai Pancasila, tidak sedikit pula yang menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak sosial-politik dan keamanan dari pengungsi yang akan datang.
Namun di luar polemik itu, suara paling menggema justru datang dari akar rumput - lapisan masyarakat bawah yang sehari-hari bergumul dengan realitas ekonomi yang semakin pelik. Bagi mereka, masalah utama Indonesia bukanlah bagaimana menampung 1000 warga Gaza, melainkan bagaimana menyelamatkan 280 juta rakyat Indonesia dari ancaman resesi ekonomi dan inflasi yang kian tak terkendali.
Sejak pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menerapkan tarif reciprocal sebesar 32% terhadap barang-barang dari Indonesia, dampaknya mulai dirasakan secara sistemik. Produk ekspor nasional melemah, iklim investasi terganggu, dan daya saing produk Indonesia di pasar global mengalami tekanan berat. Situasi ini semakin diperparah oleh kebijakan AS terhadap China yang mengenakan tarif hingga 145%. Sebagai mitra dagang utama Indonesia, China kini menghadapi tekanan luar biasa yang membuat jalur perdagangan mereka dialihkan dan akhirnya berdampak pada Indonesia.
Kapal-kapal cargo China yang biasa merapat di pelabuhan-pelabuhan Amerika, baik di Samudra Pasifik maupun Atlantik, kini terpaksa memutar arah. Tak mampu menembus pasar AS, produk-produk China akan membanjiri pasar-pasar Asia, termasuk Indonesia. Dan celakanya, Indonesia, yang tengah mengalami pelemahan ekonomi dan tekanan fiskal, bisa menjadi sasaran empuk barang-barang overstock tersebut. Produk-produk seperti pakaian, sepatu, jam tangan, hingga peralatan elektronik diperkirakan akan dijual dengan harga super murah. Sebuah ironi di tengah menurunnya daya beli masyarakat akibat lonjakan harga kebutuhan pokok.
Jika skenario itu terjadi, maka pasar lokal akan terganggu secara signifikan. Industri UMKM akan terpukul. Produk lokal yang kalah murah dari produk China akan ditinggalkan. Pasar akan dikuasai oleh barang-barang asing yang kualitasnya belum tentu terjamin. Lebih dari itu, ketimpangan antara harga barang konsumsi non-pangan yang murah dan harga pangan yang semakin melambung akan menciptakan anomali ekonomi yang berbahaya.
Prediksi harga pangan pun menjadi sorotan. Dengan ketergantungan terhadap impor bahan pangan dan tingginya biaya distribusi di dalam negeri, harga makanan seperti mie ayam bisa mencapai Rp 35.000 per porsi dan nasi campur menyentuh angka Rp 50.000. Ketidakseimbangan harga ini akan memukul masyarakat kelas bawah yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam konteks ini, banyak pihak mempertanyakan fokus pemerintah saat ini. Mengapa masalah tarif reciprocal yang sangat merugikan ekspor Indonesia tidak dijadikan prioritas utama? Mengapa isu ekonomi nasional yang sangat krusial justru tersisih oleh agenda diplomatik dan kemanusiaan luar negeri? Apakah pemerintah tidak memiliki strategi negosiasi dagang yang tangguh untuk melawan ketidakadilan perdagangan global?
Presiden Prabowo dikenal luas sebagai sosok dengan visi strategis dan pemahaman geopolitik yang tajam. Namun dalam dunia yang sangat saling terhubung ini, kebijakan luar negeri harus diimbangi dengan kepedulian terhadap kondisi dalam negeri. Tidak bisa dipungkiri Indonesia memiliki tradisi panjang dalam membantu negara-negara tertindas. Namun perlu juga dicermati, bagaimana agar kebijakan luar negeri tidak merugikan stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional.