UE tanpa AS Terjepit dalam Krisis Ukraina
Ada kesan kuat sejak PM Inggeris Keir Starmer dan Presiden Perancis Emmanuel Macron berkunjung ke AS dan menemui Presiden Trump, menyusul Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga melakukan hal serupa. Sayang Zelensky yang tak tahu atau lupa tatakrama internasional sempat adu mulut dengan Trump karena masalah gencatan senjata dan perdamaian yang dimediasi Trump tanpa melibatkan UE dan Zelensky. Intinya ketika itu tak ada gencatan senjata dan damai dalam agenda Zelensky. Ia merangsek secara kurang ajar di depan pers AS dan dunia bahwa AS-lah yang harus menjamin keamanan Ukraina dengan kembali mengirim persenjataan canggihnya ke Ukraina. Putin si agresor dan si pembunuh itu tak dapat dipercaya, katanya.
Trump dan JD Vance naik pitam beberapa saat setelah itu dan gedung putih pun mengusir Zelensky seraya mengatakan kembalilah apabila anda siap dengan perdamaian. Dalam jeda yang cukup panjang pasca Zelensky diusir dari gedung putih, UE yang merasa diabaikan AS langsung bereaksi dengan mengadakan pertemuan di London.
Kita lihat sekarang Starmer dan Macron bermain api dengan mempersenjatai kembali Ukraina. Sementara dunia tahu persis tanpa AS, UE tak ada apa-apanya dalam menghadapi Rusia. Yang dikhawatirkan sekarang katakanlah menara Eiffel diroket Russia dan Big Ben London juga diroket sebagai pesan agar kedua negara itu jangan main-main dengan Rusia.
Bagaimana membaca situasi sekarang terkait gambaran di atas, apakah rapat konsolidasi UE akan semakin menjauhkan AS dari Nato dan memperumit masalah Ukraina sekarang atau masih wait and see bagaimana sikap Trump berikutnya.
Situasi tsb jelas menunjukkan eskalasi ketegangan antara kekuatan-kekuatan utama dunia dalam konflik Ukraina, dengan AS, Uni Eropa (UE), dan Rusia yang memainkan peran kunci.
Hubungan AS dengan UE semakin renggang
Diusirnya Zelensky dari Gedung Putih karena pendekatannya yang dianggap terlalu menuntut tanpa ada agenda perdamaian, maka ini mengindikasikan AS di bawah kepemimpinan Trump lebih condong pada strategi negosiasi langsung dengan Rusia ketimbang terus-menerus mendukung Ukraina tanpa batas.
Reaksi UE yang mengadakan pertemuan di London untuk memperkuat dukungan militer terhadap Ukraina justru dapat semakin menjauhkan AS dari NATO, terutama jika Trump kembali dengan sikap skeptisnya terhadap aliansi tersebut.
Macron dan Starmer 'Bermain Api' dengan Rusia
Keputusan Perancis dan Inggeris untuk kembali mempersenjatai Ukraina tanpa dukungan penuh dari AS bisa berisiko besar. Rusia telah berulang kali memperingatkan campur tangan Barat dalam konflik ini akan membawa konsekuensi serius. Jika UE nekat melawan Rusia tanpa AS, maka Eropa berada dalam posisi rentan, karena kekuatan militer kolektif mereka masih bergantung pada dukungan logistik dan teknologi AS.
Potensi eskalasi serangan langsung ke wilayah Eropa
Jika Rusia merasa semakin terancam oleh keterlibatan langsung UE dalam konflik, skenario serangan terhadap simbol-simbol utama seperti Menara Eiffel atau Big Ben bukanlah hal yang mustahil. Ini bisa menjadi langkah simbolik atau bahkan serangan lebih luas terhadap infrastruktur militer dan strategis Eropa. Namun, Rusia mungkin lebih memilih strategi hibrida - cyber warfare, sabotase ekonomi, atau operasi militer terbatas - sebelum melakukan serangan konvensional langsung ke jantung Eropa.
Dampak terhadap NATO dan Ukraina
Dengan AS yang tampaknya lebih fokus pada negosiasi damai dan UE yang berusaha menggantikan peran AS dalam mendukung Ukraina, NATO bisa mengalami perpecahan serius. Negara-negara Eropa Timur yang lebih dekat dengan ancaman Rusia mungkin merasa perlu memperkuat pertahanan mereka sendiri, sementara negara-negara besar seperti Jerman dan Perancis harus menanggung beban besar tanpa jaminan dari AS. Sementara itu, Ukraina semakin berada dalam posisi sulit karena tidak lagi bisa sepenuhnya mengandalkan AS, dan Rusia bisa mengambil keuntungan dari situasi ini.
Situasi ini mengarah pada semakin terisolasinya Eropa dalam konflik Ukraina, sementara Rusia kemungkinan besar akan meningkatkan tekanan, baik terhadap Ukraina maupun negara-negara UE yang terlalu agresif. Jika AS benar-benar menarik diri dari NATO atau setidaknya mengurangi perannya, UE akan menghadapi ujian besar dalam mempertahankan posisinya di tengah ancaman Rusia.
Apakah dalam moment seperti terurai di atas, Rusia dan AS keukeuh akan melakukan negosiasi gencatan senjata dan damai untuk Ukraina. Atau jangan-jangan Zelensky disingkirkan terlebih dahulu sebelum perundingan damai dimulai lagi dengan membuat gencatan senjata sementara sambil tunggu pemilihan pemimpin baru di Ukraina atau bagaimana?
Bisa jadi, ada kemungkinan besar negosiasi gencatan senjata dan perdamaian untuk Ukraina akan lebih mudah terjadi jika Zelensky tidak lagi berkuasa.
Rusia dan AS tetap keukeuh dengan negosiasi gencatan senjata
Dengan semakin populernya pendekatan America First di tangan Trump terhadap international affairs, dia kemungkinan akan memprioritaskan negosiasi langsung dengan Rusia dan menekan Ukraina untuk menerima persyaratan yang lebih realistis. Trump dan JD Vance sudah menunjukkan mereka ingin menghindari perang berkepanjangan dan lebih memilih penyelesaian diplomatik.
Namun, Zelensky tampaknya masih menolak gagasan gencatan senjata tanpa kepastian keamanan jangka panjang bagi Ukraina, terutama tanpa keterlibatan penuh UE. Ini membuatnya menjadi penghalang utama dalam proses negosiasi. Jika dia tetap bersikeras, maka Rusia dan AS boleh jadi akan mencari cara lain untuk melanjutkan upaya perdamaian tanpa melibatkannya secara langsung.
Kemungkinan Zelensky disingkirkan dari kekuasaan
Jika negosiasi tetap terhambat karena sikap keras kepala Zelensky, maka ada dua kemungkinan besar yang bisa terjadi.
Kudeta politik atau pergantian pemimpin secara demokratis
Jika Zelensky kehilangan dukungan dari Barat, terutama AS, tekanan internal bisa meningkat, baik dari oposisi maupun dari kelompok militer di Ukraina sendiri. AS dan Rusia bisa mendukung figur yang lebih terbuka terhadap negosiasi, misalnya tokoh dari kalangan elite politik atau militer Ukraina yang lebih pragmatis dalam menyikapi perang ini. Pemilu di Ukraina yang dijadwalkan pada 2024 bisa saja digelar 2025 dan itu menjadi momen bagi perubahan, jika tidak terjadi skenario darurat lebih cepat.
Kecelakaan politik atau kejadian tak terduga
Dalam sejarah geopolitik, pergantian pemimpin terkadang terjadi dengan cara-cara tak terduga - bisa melalui tekanan eksternal, pengunduran diri akibat situasi dalam negeri yang tidak terkendali, atau bahkan skenario ekstrem seperti 'penghilangan paksa' (baik oleh faksi internal maupun kekuatan luar). Jika AS, Rusia, dan UE melihat Zelensky adalah penghalang utama menuju perdamaian, mereka bisa membiarkan proses alami menggantikannya, baik dengan mendukung kandidat baru atau melalui tekanan politik lainnya.
Gencatan senjata sementara sambil menunggu pemimpin baru di Ukraina
Skenario ini cukup masuk akal, karena Rusia bisa mengambil keuntungan dari kondisi politik di Ukraina yang tidak stabil.
AS bisa menunda keputusan besar hingga pemerintahan baru Ukraina lebih siap menerima kompromi.
UE yang kini lebih agresif mendukung Ukraina akan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan tanpa AS, mereka tidak bisa berbuat banyak.
Jika ini terjadi, kita bisa melihat kesepakatan gencatan senjata dalam bentuk sementara (misalnya pembekuan garis pertempuran) hingga ada pemimpin baru di Ukraina yang lebih bersedia untuk bernegosiasi dengan Rusia.
Zelensky kemungkinan besar akan menjadi faktor yang menentukan apakah perang akan terus berlanjut atau ada peluang gencatan senjata dan perdamaian. Jika dia tetap menolak semua opsi negosiasi, bisa jadi dia akan disingkirkan, baik melalui proses politik, tekanan Barat, atau cara lain yang lebih ekstrem. Sementara itu, Rusia dan AS bisa saja mencapai kesepakatan sementara sambil menunggu perubahan kepemimpinan di Ukraina.
Joyogrand, Malang, Thu', March 06, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI