Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Riak-riak Terakhir Jelang Keputusan Mahkamah Konstitusi

17 April 2024   17:08 Diperbarui: 17 April 2024   17:14 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi artis tentang Amicus Curiae. Foto : economictimes.indiatimes.com

Riak-Riak Terakhir Jelang Keputusan Mahkamah Konstitusi

Jagad politik kita memang belum setenang yang kita harapkan. Ibarat gelombang besar yang menampar pantai, Setelah sekian lama gelombang besar itu masih menyisakan riak.

Yang patut disyukuri akhir Pilpres 2024 bukanlah tergolong Tsunami Politik, tetapi politik "uyel-uyelan" yang mencoba memotivasi publik luas untuk mengiyakan bahwa terjadi pelanggaran konstitusional yang cukup berat karena faktor Presiden yang berkuasa dan anak kandungnya yang bernama Gibran Rakabuming Raka yang diCawapreskan mendampingi Prabowo Soebianto.

Sayangnya dalam soal Presiden Jokowi yang digelorakan sebagai bercawe-cawe politik. Ini sebetulnya sudah dikupas sejumlah akhli yang berpendekatan behaviour, sebuah pendekatan termutakhir dalam ilmu politik, dimana pergerakan perilaku masyarakat dapat dipantau secara statistikal.

Dalam survey bulanan sebelum ada pencapresan resmi, nama-nama yang diunggulkan seperti  Prabowo Soebianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Awalnya yang terlihat unggul adalah Ganjar, sedangkan Anies dan Prabowo mengikut bisa unggulan kedua maupun ketiga. Pokoknya keduanya silih berganti.


Hanya ketika resmi dicalonkan, Ganjar tiba-tiba terseok. Mengapa? Dalam survey modern jelas ada tolok ukur kuantitatif yang tak dapat diabaikan begitu saja. Ada moving averages disini. Publik luas atau elektoral dalam konteks Pilpres adalah manusia yang dinamis dan bukan manusia statis seperti katakanlah batu.

Dalam metodologi survei terkait elektabilitas seseorang yang dinominasikan dalam pemilihan presiden, istilah "Moving Averages" merujuk pada teknik statistik yang digunakan untuk menghaluskan fluktuasi data survei seiring waktu. Ini dilakukan dengan menghitung rata-rata dari sejumlah periode terakhir dari hasil survei.

Misalnya, dalam survei elektabilitas calon presiden, data survei biasanya dikumpulkan secara berkala, misalnya setiap bulan atau setiap beberapa minggu. Kemudian, untuk mengurangi efek fluktuasi yang mungkin disebabkan oleh perubahan situasi atau peristiwa politik, digunakanlah Moving Averages.

Prosesnya adalah data survei dari beberapa periode waktu terakhir dikumpulkan, rata-rata dari data tersebut dihitung, hasil rata-rata ini kemudian dianggap sebagai perkiraan elektabilitas yang lebih stabil dari waktu ke waktu.

Dengan menggunakan Moving Averages, peneliti atau lembaga survei dapat melacak tren jangka panjang dalam elektabilitas seorang kandidat tanpa terlalu terpengaruh oleh fluktuasi harian atau mingguan dalam hasil survei. Ini membantu memberikan gambaran yang lebih akurat tentang seberapa kuat atau lemah dukungan publik terhadap kandidat tertentu.

Periode waktu yang digunakan untuk menghitung Moving Averages dapat bervariasi tergantung pada kebijakan dan praktik lembaga survei tertentu. Beberapa mungkin menggunakan Moving Averages dengan jangka waktu yang lebih pendek, sementara yang lain mungkin menggunakan jangka waktu yang lebih panjang, tergantung pada tujuan analisis mereka. Survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey pada saat pencapresan secara resmi Prabowo, Ganjar dan Anies adalah survey bulanan.

Yang sengaja dilupakan para politisi yang tiba-tiba jadi pemberang dalam masa pencapresan tak lain tak bukan adalah sampai menit ini kita nggak tahu apa yang terjadi dengan Jokowi yang mendadak sontak tak lagi sowanan ke PDIP. Tahu-tahu muncul putusan 90 dari MK. Tahu-tahu Anwar Usman Ketua MK dicopot jabatannya oleh MKMK. Tahu-tahu ada demo kalangan akademisi dimana-mana yang mempersoalkan Gibran jadi Cawapres Prabowo. Tahu-tahu PDIP meronta-ronta seperti Banteng yang hendak disembelih. Tahu-tahu akhirnya memang tetaplah tahu yang bukan tempe, apalagi tempe mendoan.

Saya pikir persoalan ini sesungguhnya di luar ranah MK dan hukum formal kita ntah apapun itu. Karena pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo bukanlah sebuah kesalahan. Jokowi tak mencalonkan anak kandungnya. Yang meminta Gibran jadi Cawapres Prabowo adalah Golkar dan Gerindra dan koalisinya. Mereka mengerti bahwa hanya dengan pencalonan Gibran yang Bocil inilah elektabilitas Prabowo akan meningkat pesat dari minggu ke minggu dan bulan ke bulan. Mereka tahu persis yang terpopuler di mata rakyat adalah figur utama Jokowi, sekalipun ybs akan lengser keprabon tak lama lagi.

Figur utama Jokowi ternyata sangat penting di mata rakyat. Hanya rakyat yang tahu mengapa mereka sangat puas dengan kepemimpinan Jokowi. Tanya saja misalnya komunitas Batak di lingkar Toba. Betapa tanah yang lama tak dilirik pembangunan itu tiba-tiba mengglowing atas sentuhan tangan sang Presiden.

Setelah figur utama barulah ada figur sekunder ntah siapapun itu, bisa  Prabowo, bisa Hartarto, bisa siapa saja, dan berketepatan pada Pilpres ini Jokowi tak lagi bergandengan tangan dengan PDIP, juga  tak bergandengan tangan dengan siapapun. Rakyat hanya melihat Ganjar dan PDIP sudah ditinggalkan Jokowi, maka meliriklah rakyat kepada Bocil Gibran anak kandung Jokowi ketika dikukuhkan sebagai Cawapres Paslon 02 Prabowo Soebianto.

Apakah itu salah Jokowi dan salah MK, atau pura-pura nggak tahu lantaran kelabakan karena nggak ada lagi yang menyinari dirinya. Inilah sesungguhnya yang merusak tatanan politik negeri ini. Tetapi seperti yang saya katakan di muka, ini bukanlah Tsunami Politik, melainkan riak politik karena mau berkuasa, tapi tak punya branding khusus di hati rakyat.

Lain halnya dengan Paslon 02 Prabowo-Gibran. Sifat feodal kita sekarang bergeser kepada seorang eksekutor yang berasal dari orang biasa yang telah membuktikan hasil kerjanya kepada publik luas. Tak heran kemana pergerakan Presiden maka kesitu pula ayunan langkah rakyat yang tak lagi mengenal  Anies dan Ganjar. Maka tak heran Paslon 02 Prabowo-Gibran unggul sampai 58%.

Kemenangan sah dan bersih ini masih diganggu-gugat, sehingga ada sidang MK-lah, ada Amicus Curiae-lah, bahkan seorang Rocky Gerung menawarkan kegilaannya agar MK seyogyanya berfilsafat dalam memutus sengketa Pilpres ini.

Beralih ke Denny Indrayana yang tak lagi sebrutal dulu kalau mengritik Jokowi. Ia mengatakan berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan MK terkait sengketa Pilpres 2024, termasuk keterangan saksi, ahli dan para menteri, juga memperhatikan komposisi dan rekam jejak delapan hakim konstitusi yang menyidangkan, maka Denny menduga putusan MK adalah di antara 4 opsi berikut : 1) Opsi satu. MK menolak seluruh permohonan, lalu hanya memberikan catatan dan usulan perbaikan Pilpres; 2) MK mengabulkan seluruh permohonan; 3) MK mengabulkan sebagian permohonan yang mendiskualifikasi Cawapres Gibran Rakabuming Raka; 4) MK mengabulkan sebagian permohonan yi membatalkan kemenangan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, dan melantik hanya Prabowo Soebianto, lalu memerintahkan dilaksanakan Pasal 8 ayat ayat (2) UUD 1945.

Opsi ke empat kata Denny membutuhkan penjelasan lebih panjang, terutama karena tidak ada dalam permohonan Paslon 01 maupun 03, sehingga menjadi ultra petita.

Seberapa kuat dan berani Hakim MK, tetapi juga partai-partai politik untuk bersepakat menggolkan opsi putusan keempat. Sejauh ini, belum ada kekuatan politik yang berani melawan pelanggaran bahkan kejahatan konstitusional yang terang-benderang dilakukan oleh Presiden Jokowi

Sewajibnya, demikian Denny, Hakim-Hakim Konstitusi selaku Negarawan mampu melepaskan diri dari penjajahan, penghambaan, dan ketakutan atas kuasa otoritarian Presiden Jokowi, yang sebenarnya sudah akan berakhir masa jabatannya. Namun, hakim konstitusi juga manusia, kecuali ada kejutan luarbiasa, dimana Hakim Konstitusi mau berkorban dan menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional Republik Indonesia.

Opsi mana yang akan diputuskan oleh MK. Akankah ada kejutan? Denny hanya memprediksi, MK belum punya dukungan bukti dan keberanian untuk memutus di luar opsi putusan yang pertama, yaitu "menolak seluruh permohonan, dan hanya memberikan catatan perbaikan atas pelaksanaan Pilpres 2024".

Menyusul dalam rangka mengakselerasi apa maunya Paslon 01 dan 03, Megawati belum lama ini mengajukan Amicus Curiae. Makhluk apa pula ini.

Amicus curiae adalah istilah hukum Latin yang berarti "teman pengadilan". Ini merujuk pada seseorang atau kelompok yang tidak terlibat secara langsung dalam kasus hukum tertentu, tetapi memiliki kepentingan atau pandangan yang relevan terhadap isu hukum yang sedang diperdebatkan di pengadilan. Tujuan dari amicus curiae adalah untuk memberikan informasi atau argumen yang dapat membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang lebih baik.

Dalam konteks sengketa Pilpres yang diajukan ke MK, pengajuan amicus curiae mungkin menjadi masalah yang rumit. Ini karena MK harus memastikan bahwa pendapat yang diajukan oleh amicus curiae tidak mempengaruhi kemandirian dan keputusan yang adil dari Mahkamah. Dalam kasus-kasus di mana pihak yang mengajukan amicus curiae memiliki keterkaitan yang erat dengan salah satu pihak yang bersengketa, ini dapat menimbulkan keraguan tentang independensi amicus curiae tsb.

MK biasanya berhati-hati dalam menerima amicus curiae dalam kasus-kasus yang sangat kontroversial atau politis seperti sengketa Pilpres. Namun, keputusan akhir untuk menerima atau menolak amicus curiae dalam kasus tertentu sepenuhnya tergantung pada kebijakan dan keputusan MK. Mereka akan menilai apakah informasi atau argumen yang diajukan oleh amicus curiae akan membantu proses pengambilan keputusan atau malah mengganggu proses hukum yang adil dan independen.

Langkah Megawati justeru blunder besar bagi PDIP. Kita pun bertanya-tanya apakah Mega sudah ketemuan sama Jokowi. Kalau belum, kita pun bertanya lagi apakah Amicus Curiae ala Mega ini adalah sebuah kemarahan luarbiasa di hari tuanya.

The Answer is Blowin' in The Wind, kata Dylan.

Joyogrand, Malang, Wed', Apr' 17, 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun