Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kendali Diri dan Kebahagiaan

1 Februari 2023   14:11 Diperbarui: 1 Februari 2023   14:15 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya anda yang dapat mengendalikan kebahagiaan anda. Foto: alamy.com

Kendali Diri dan Kebahagiaan

Dalam keseharian kita, terlebih di usia produktif, sebagian besar dari kehidupan kita ditentukan oleh emosi yang dihasilkan oleh pengalaman.

Di kala muda pasti semua dicoba, bahkan yang nyrempet bahaya sekalipun sampai hal yang religius. Lha kita koq berteman dan lalu bersahabat begini ya, lo aku koq jadi bermusuhan dengan anak itu ya atau dalam perenunganku iya memang Tuhan itu ada, tapi keqnya nggak berpihak kepada keyakinan apapun kecuali kasualitas yang ada di dunia ini.

Itu adalah reaksi kita terhadap emosi tsb.

Believe it or not kita menghabiskan hidup kita dengan mengemas dan membongkar bagasi emosional kita. Pengemasan ini tentu sesuai dengan pengalaman kita dan ajaran dari lingkungan keluarga inti, komunitas asal dan komunitas kebangsaan, termasuk religi atau keyakinan yang melatarbelakanginya.

Pembongkaran bagasi emosional itu kita lakukan pasca bergulat dengan pengalaman sendiri yang sudah atau baru saja kita lalui. Kita harus membongkarnya, karena ada yang tak sesuai dengan kaidah yang berlaku dan prinsip pegangan yang sudah mempribadi dalam diri kita.

Beban yang kita tanggung bergeser dan berubah sesuai dengan keadaan yang kita hadapi. Keadaan dimaksud adalah situasi pasang-surut kehidupan. Tak ada yang pasti di dunia ini kecuali ketidakpastian itu sendiri. Dari situlah wawasan dan kedewasaan kita peroleh.

Ada kalanya beban itu berlebihan ntah di kala kita masih bujangan maupun setelah berkeluarga dan anak-anak membesar, membesar dan berumahtangga.

Setelah berkeluarga dan hidup dari masa ke masa, banyak terjadi pergeseran dan perubahan yang tak sepenuhnya kita sadari. Misalnya adat-istiadat dari komunitas asal kita koq bisa jadi menjepit begini dalam arti ekonomi, khususnya mereka yang merasakannya langsung di Jabodetabek dan pulau Jawa pada umumnya. Arisan keluarga koq membesar di lingkar kedua, bahkan lingkar ketiga pohon keluarga, dengan tambahan iuran ini dan itu dan ono, juga terlalu banyak unsur-unsur aneh yang ditambahkan yang sesungguhnya tak sejiwa dengan legacy leluhur kita, sedangkan di keluarga inti kita malah sudah saling elu elu gue gue.

Kita harus berpikir out of the box disini, karena berpikir konvensional tak akan dapat menjawabnya, kecuali ngeles dengan alasan moral dan tanggungjawablah, dengan alasan sudah dari sononya begitu mau apa lagi, tanpa mempersoalkan betapa belanja untuk kemaslahatan keluarga inti jadi banyak tersisih sia-sia untuk adat-istiadat yang tak pernah bisa terjabarkan secara bijak dalam evolusi budaya now.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun