Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Abraham Accord dan Kemungkinan Hubungan Diplomatik RI-Israel

21 September 2022   17:36 Diperbarui: 21 September 2022   18:13 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar yang menyimbolkan hubungan RI-Israel yang masih menggantung. | Foto: StandWithUs, twitter.com

Kalau kita membaca berita tentang middle-east, khususnya Israel dan dunia Arab, maka istilah yang paling banyak digunakan oleh media pekabaran Indonesia adalah kalimat anti Israel. 

Ntah itu penyebutan Israel sebagai Zionis Israel, wilayah Arab yang diokupasi Israel, rezim apartheid Israel dan celakanya ada statement bahwa Indonesia sampai mampus tak bakal mengakui Israel dst dst. Itulah media kita yang nyonyor atas nama publik. 

Sedangkan pemerintah lebih banyak mengajukan pernyataan mendukung sepenuhnya hak Palestina (seharusnya Arab Palestina) untuk bernegara sendiri yang berdaulat dengan ibukota Jerusalem. Pokoknya belum mengakui kedaulatan Israel, kecuali kedaulatan Arab Palestina yang masih di awang-awang.

Sindo.news dan republika lebih esktrim lagi, keduanya super rajin memberondong Israel dengan berbagai stigma buruk yang apabila diterjemahkan menseolahkan Israel itu bukan sebuah bangsa dari sekumpulan manusia dan mereka tidak berhak eksis sebagai nation state di middle-east.

Begitu parahnya kita melihat Israel dan Arab Palestina sebagai fakta. Kita lebih memilih berpuluh tahun berstigma negatif tentang Israel, maka tak heran kacamata kita pun menjadi lamur, bahkan sudah menjadi kacamata kuda yang hanya bisa menatap lurus ke depan tanpa tahu ada apa di sebelah kanan dan kiri serta belakang kita.

Maka ketika terbetik kabar ada pejabat senior Indonesia melakukan kunjungan rahasia ke Israel belum lama ini dan pejabat yang diserbarahasiakan itu akan bertemu dengan Presiden Israel Isaac Herzog. 

Kacaulah Indonesia. Yang patut disyukuri gerombolan hatred anti Israel dan pecinta bahkan pemuja Arab Palestina yang selama ini akan berdemo dimana-mana kalau tersungging tetiba dan merasa super happy mengibarkan bendera Jordan eh Arab Palestina di jalanan utama ibukota, kini sudah tidak ada lagi alias bubar jalan. Yang biasa menggunakan ormas hatred ini juga sudah pada tiarap, ntahlah kalau pemilu 2024 sudah di ambang pintu nanti.

Dalam waktu yang bersamaan, delegasi Pakistan juga berkunjung ke Israel. Pakistan dan Indonesia sejauh ini diklaim sebagai dua negara yang berpopulasi Islam terbesar di dunia. 

Kunjungan delegasi Pakistan lumayan jernih pemberitaannya. Delegasi itu terdiri dari sembilan anggota, termasuk empat orang yang tinggal di Pakistan dan beberapa orang Amerika terkemuka lainnya yang berasal dari Pakistan, serta seorang imam Pakistan dari Inggeris. 

Lain halnya dengan pemerintah Indonesia yang melalui Deplu RI membantah laporan Jerusalem Post yang menyebut Indonesia mengirim delegasi ke Israel, dengan alasan menyebarkan hoaks adalah cara lama media Israel untuk mendapatkan keuntungan.

"Selama Palestina berada di bawah pendudukan Israel, Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel," demikian Direktur Timur Tengah Kemenlu RI Bagus Hendraning Kobarsyih kepada Tempo, Selasa, 20 September 2022.

Sementara itu jubir Kemenlu RI Teuku Faizasyah mengatakan dia tidak tahu siapa pejabat senior yang dimaksud artikel tsb. Senada dengan Bagus, Faizasyah menegaskan bahwa posisi Indonesia tidak berubah dan terus mengedepankan "solusi dua negara" sebagai cara untuk mengakhiri konflik Israel-Arab Palestina.

Jerusalem Post menjadi sumber utama pemberitaan tentang kunjungan delegasi kedua negara berpopulasi Muslim terbesar dan belum pernah punya hubungan diplomatik dengan Israel itu. 

Indonesia tak bergeming sekalipun sudah ada Abraham Accord jelang akhir pemerintahan Trump dan yang terbaru Turki selaku dedengkot negara muslim modern yang bersekutu dalam aliansi Nato telah membuka kembali kedutaan besarnya di Tel Aviv setelah belasan tahun putus gegara Israel menghentikan paksa sejumlah aktivis Turki yang merangsek unjuk rasa ke perairan Gaza.

Kunjungan delegasi Indonesia ke Israel saya kira bukan hanya sekali itu saja. Yang terkenal dan sempat menghebohkan adalah kunjungan Ibu Istibsyaroh - Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga MUI - dan tujuh rekannya ke Israel pada medio Januari 2017. Sekjen MUI Anwar Abbas mengisyaratkan pemecatan Istibsyaroh setelah Ketua MUI Muhyidin Junaidi meminta Istibsyaroh mundur dari jabatannya di MUI.

Ulama perempuan ini tidak jadi dipecat memang karena banyak dibemper para pembela yang tegas-tegas menyatakan bahwa tak ada aturan yang melarang orang berkunjung ke Israel. Juga dipertanyakan apakah dengan terus berstigma negatif terhadap Israel, termasuk WNI yang berusaha melakukan approach ke Israel, Indonesia dapat memediasi konflik Israel-Arab Palestina. Oh no!

Ibu Istibsyaroh dkk misalnya, dia berkunjung ke Israel dalam rangka menghormati memori dan warisan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Almarhum Gus Dur berada di Dewan Institut Elijah yang berbasis di Jerusalem dan Pusat Perdamaian Peres. 

Ibu Istibsyaroh dkk ke Israel dalam rangka menghormati ajaran damai Gus Dur. Mereka memperagakan kepada orang Israel dan Arab Palestina bahwa mereka ke Israel dengan perspektif Indonesia. Mereka bertemu orang Yahudi, Muslim dan Kristen di Israel dan di wilayah otoritas Arab Palestina.

Tidak ada larangan hukum bagi WNI untuk bepergian ke Israel. Setiap tahun, puluhan ribu orang Indonesia mengunjungi Israel. Pada tahun 2012, hampir selusin pemimpin Muslim Indonesia melakukan perjalanan lintas agama dalam rangka "Misi untuk Perdamaian dan Pemahaman Antar Agama".

Pada tahun 2008, Ikatan Ahli Bedah Indonesia mengirimkan delegasi resmi yang terdiri dari 23 dokter Indonesia ke Tel Aviv, untuk dilatih oleh Israel dalam "manajemen insiden multikorban". Sebagian besar pelatihan itu dipersiapkan untuk kemungkinan serangan teror, bencana alam dan krisis lainnya.

Sejumlah pejabat Indonesia, termasuk anggota DPR Tantowi Yahya, juga pernah secara terbuka mengunjungi Israel. Mantan Wapres Jusuf Kalla bahkan pernah menyatakan tidak ada alasan Indonesia tidak memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Israel. Kita tidak bisa menjadi mediator jika kita tidak mengenal Israel. Kita harus dekat dengan Israel dan Arab Palestina, demikian JK pada tahun 2014.

Para Negative Thinker, termasuk Abbas MUI selalu mengatasnamakan pengutukan terhadap Israel, karena Israel dilihat sebagai penjajah yang bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan oleh karena itu Indonesia menolak untuk membuka hubungan diplomatik dengannya.

Saya pikir ada sejumlah masalah dengan argumen ini. Terlepas dari kenyataan baik PBB, Liga Arab, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau organisasi multilateral lainnya tidak secara resmi menggambarkan Gaza dan Tepi Barat Israel sebagai koloni, hanya pembukaan UUD 1945 saja yang menyatakan hal itu, so tidak menghalangi Jakarta untuk melakukan hubungan diplomatik formal dengan negara lain yang dituduh melakukan penjajahan. 

Masalah kedua dengan argumen ini adalah bahwa kecaman MUI misalnya atau argumen kedua pejabat Deplu sebagaimana disinggung di muka mengabaikan fakta bahwa Istibsyaroh dkk tidak hanya bertemu dengan otoritas Arab Palestina dan para pemimpin Muslim dalam perjalanannya, tetapi mereka juga berusaha memperagakan langsung kepada Israel tentang negaranya selama pertemuan dengan Presiden Israel Reuben Rivlin.

Masalah lain yang dihadapi Indonesia dengan mengutuk dan menstigma setiap kunjungan ke Israel "atas nama apa pun" justeru semakin memperjelas banyak peluang untuk membangun perdamaian yang hilang. Dan itu akan terus terjadi jika Indonesia dan Israel tidak berinteraksi satu sama lain.

Reaksi negatif dari siapapun itu terhadap kunjungan delegasi Indonesia ke Israel belum lama ini menimbulkan pertanyaan yang relevan tentang apakah - dalam retrospeksi - kurangnya hubungan diplomatik Indonesia-Israel telah benar-benar membantu Arab Palestina. 

Kenyataan setelah beberapa dekade ini, meskipun Jakarta telah mendirikan kedutaan di tepi barat, rumah sakit, memberikan dukungan terhadap OKI dan meluncurkan sejumlah proyek atas nama bantuan kemanusiaan di Gaza, pendekatan Indonesia terhadap solusi dua negara ternyata tidak berhasil.

Solusi dua negara tidak dapat dinegosiasikan hanya dengan salah satu pihak. Sebaliknya, mungkin akan efektif jika Indonesia secara pragmatis membuka hubungan diplomatik dengan Israel. 

Pemerintahan Donald Trump yang pro-Israel dan kini pemerintahan Biden yang tetap harus melanjutkan Abraham Accord legacy Trump, pastinya menginginkan Jakarta mengubah cara pandangnya, terlebih pasca keluarnya AS dari Afghanistan dan di tengah kecamuk perang Russia Vs Ukraina yang terjadi di mandala Eropa sekarang.

Kebijakan Myopia Indonesia terhadap Israel seperti yang dianut dan diyakini selama ini bukanlah kebijakan luar negeri yang radikal. Turki, Yordania dan Mesir-lah yang radikal. 

Mereka telah cukup lama menjalin hubungan diplomatik dengan Israel yang memungkinkan ketiga negara tsb lebih berpengaruh dalam proses perdamaian Timur Tengah ketimbang negara-negara lain seperti Indonesia dan Pakistan. Mesir misalnya selalu efektif melakukan advokasi atas nama Arab Palestina. Juga, Mesir selalu berhasil memediasi konflik Gaza.

Dalam wadah internasional, tercatat 157 dari 192 negara anggota PBB menjalii hubungan bilateral normal dengan Israel, termasuk negara-negara mayoritas Muslim di Kazakhstan, Kirgistan, Maladewa, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan. 

Para Negative Thinker yang banyak mempengaruhi pola pikir Jakarta setidaknya menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia sesungguhnya membutuhkan dialog nasional yang jujur tentang peran dan efektivitas Indonesia di Timur Tengah.

Kunjungan delegasi Indonesia ke Israel sebaiknya tak perlu lagi hidden. Kunjungan itu dinyatakan saja sah, etis dan konstitusional dan patut diapresiasi baik oleh warga Indonesia maupun Arab Palestina. 

Jika Indonesia ingin berkontribusi pada perdamaian di Timur Tengah, kunjungan yang lebih sering dengan dialog, pembelajaran, doa, pendidikan, debat dan kerjasama dengan Israel harus dipupuk dan didorong.

Para penulis Arab sekarang ini mengatakan mereka salah besar selama ini bahwa Israel adalah agresor di wilayah tsb dan mereka sadar Iran dan Turki-lah yang bersalah atas ekspansionisme agresif di mandala middle-east. Para penulis Arab itu mengatakan bahwa perdamaian dan kerjasama dengan Israel akan memberi mereka keuntungan besar dalam hal modernitas dan pembangunan.

Seorang aktivis Bahrain menulis : Ada kesadaran yang bertumbuhkembang di antara banyak orang di dunia Arab bahwa orang-orang Yahudi bukanlah penjajah asing di Tanah Israel, mereka adalah bagian tak terpisahkan dari tanah itu dan bagian dari wilayah kita.

Itu terjadi perlahan-lahan setelah ditekennya Abraham Accord oleh Israel, UEA dan Bahrain 0ada 2020 lalu di Washington. Dan kini dengan masuknya Maroko dan Sudan. Sepertinya dunia Arab yang reformis mulai unjuk gigi untuk membangun perdamaian permanen Israel-Arab.

Ada signifikansi yang lebih besar, begitu mendalam, sehingga tampaknya seakan tidak mungkin, yaitu nama yang diberikan atas perjanjian ini yi "Abraham Accord" atau Perjanjian Abraham.

Ini bukan hanya sekadar pilihan nama yang jitu yang merujuk pada fakta bahwa orang Yahudi dan Muslim, bersama dengan orang Kristen, mengakui mereka adalah keturunan Abraham. Ini adalah sesuatu yang biasanya dicatat sebagai keingintahuan yang tidak memiliki signifikansi tertentu.

Padahal itulah signifikansi yang terbesar. Muslim dan Yahudi adalah keluarga. Mereka sering disebut sebagai "sepupu", tetapi ini tentu perlu diluruskan.

Muslim sebenarnya adalah saudara tiri orang Yahudi. Menurut tradisi Yahudi, mereka adalah keturunan dari Ismael, putera Hagar, selir Abraham di Mesir.

Hubungan keluarga tiri seringkali sangat rumit, tetapi hubungan yang satu ini sangatlah traumatis.

Literasi Ibrani menceritakan bahwa di bawah tekanan isterinya Sarah, Abraham membuang Hagar dan Ismael ke padang gurun. Bertentangan dengan harapan, mereka tidak mati. Kitab itu menyatakan bahwa mereka diselamatkan oleh Yang Mahakuasa, yang menyatakan bahwa Ismael akan menjadi Bapak dari sebuah bangsa yang besar.

Tiba pada waktunya nanti Muhammad - pendiri Islam yang awalnya tertarik pada Yudaisme dan meminjam banyak tradisinya - berbalik melawan keras orang Yahudi yang menolak menerimanya sebagai nabi mereka.

Jadi Abraham Accord bukan hanya sekadar perdamaian antara orang-orang yang bertikai. Perjanjian ini berpotensi menyembuhkan keluarga yang sangat retak.

Sering terjadi agresi dan kepahitan terburuk muncul di antara mereka yang sangat dekat. Ketika anggota keluarga bertengkar satu sama lain, permusuhan seringkali dipertajam secara paradoks oleh rasa frustasi dari kerinduan yang kuat untuk memperbaiki keretakan.

Dan itu membantu menjelaskan ketertarikan banyak orang Arab Teluk yang menyambut gembira pemulihan hubungan ini dengan orang Yahudi Israel.

Itulah mengapa ada perbedaan besar antara Perjanjian Abraham dan perjanjian damai yang ditandatangani Israel beberapa tahun lalu dengan Yordania dan Mesir. Itu adalah aliansi strategis antar pemerintah, karenanya tidak bisa menghentikan masyarakat Yordania dan Mesir untuk terus memuntahkan racun anti-Yahudi.

Sebaliknya, Perjanjian Abraham merepresentasikan pendekatan budaya antara Israel dan Emirat Arab dan Bahrain. Itulah mengapa buku teks yang berisi pujian atas perjanjian dengan Israel sudah dapat ditemukan di meja sekolah anak-anak Emirat Arab.

Mengajar anak-anak untuk menghormati orang lain daripada kebencian adalah bukti dari keinginan tulus untuk hidup berdampingan secara damai. Itulah mengapa buku teks Arab Palestina yang mengajarkan anak-anak untuk membenci Israel, dan bahkan menghapusnya dari peta wilayah tsb, adalah bukti paling pasti bahwa orang Arab Palestina selama ini telah memilih jalan perang permanen.

Kembali ke negeri wakanda ini yang selalu berpikir buruk tentang Israel dan pemerintahnya super rajin mengatasnamakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tapi celakanya keingintahuan tentang apa yang kini terjadi dengan legacy Trump, itu samasekali tak ada.

Boleh jadi kalau ditanya negara Arab mana saja yang sudah Acc dengan Abraham Accord setelah UEA dan Bahrain. Nggak tahu? Mengapa? Nggak tahu? Jadi tahu apa dong? Pokoknya Indonesia berpolitik luar negeri yang bebas dan aktif. Masa? EGP! Oalah dasar politisi sontoloyo aktif tapi pendusta sampeyan itu ..

Joyogrand, Malang, Wed' Sept' 21, 2022.

Ibu Istibsyaroh dkk diterima Presiden Israel Reuven Rivlin. | Foto: the jakartapost.com.
Ibu Istibsyaroh dkk diterima Presiden Israel Reuven Rivlin. | Foto: the jakartapost.com.

Lih pemberitaan selengkapnya di berbagai macam media lokal maupun luar negeri: 

Jerusalem Post, 19 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2jyac4ez  

en.tempo.co 20 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2kmsns4h 

news.detik.com 20 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2gd67xbp  

viva.co.id, 20 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2gym7mqg  

cnbcindonesia.com, 20 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2pn93bcr  

international.sindo.news.com, 20 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2lf7kgn8 

middleeasteye.net, 20 Sept' 2022, https://tinyurl.com/2p2m4jeo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun