Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran Tradisi Islam, tapi Tidak untuk Mudik

2 Mei 2022   16:12 Diperbarui: 2 Mei 2022   17:06 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu caption pilihan idul fitri 1443 H atau tahun 2022. Foto: aboutmalang.com

Lebaran dapat dipastikan adalah sebuah tradisi Islam yang sangat kuat. Lain halnya dengan mudik atau pulang kampung. Itu adalah sebuah istilah bagi pekerja migran kembali ke kampung halaman atau desa mereka selama atau sebelum hari libur besar, terutama lebaran. Mudik adalah akronim dari "Mulih Dilik" atau pulang dulu. Istilah tersebut dari kosa kata Jawa.

Mudik jelas bukan tradisi Islam. Yang menjadi sorotan utama kita, perjalanan mudik di sebagian besar pusat kota di Indonesia di zaman modern sekarang, adalah  pada kegelisahan dan aglomerasi atau penumpukan para pemudik di perkotaan terbesar di negeri ini yi Jabodetabek, saat jutaan warga Jakarta keluar kota dengan berbagai sarana transportasi, membanjiri setasiun KA dan bandara, juga menyumpal jalan raya tol trans jawa dan jalan pantai utara Jawa.

 

Motivasi utama dari para pemudik ini adalah untuk mengunjungi keluarga, terutama ortu. Mereka berusaha dengan segala cara untuk pulang kampung beberapa saat sebelum dan sesudah lebaran untuk menghadiri kesempatan langka yi pertemuan keluarga besar, kunjungan kerabat yang jarang terlihat yang tersebar di kota lain, propinsi lain, bahkan di luar negeri.

Suasana di ruang tunggu daop 8 Surabaya H-3 lebaran. Foto: ayomalang.com
Suasana di ruang tunggu daop 8 Surabaya H-3 lebaran. Foto: ayomalang.com

Kebiasaan mudik diperkirakan mulai berkembang pada 1970-an ketika regime orba memusatkan pembangunan di pulau Jawa, khususnya Jakarta. Jakarta boleh dibilang adalah sentral Indonesia yang serba ada ketika itu. Jakarta bisa juga disebut Paris van Indonesia. Karenanya ibukota negara ini telah mengundang banyak migran dari seluruh nusantara untuk mengadu nasib. 

Banyak yang sukses dan banyak pula yang gagal. Ingat sineas Wim Umboh dalam The Big Village yang menggambarkan Jakarta sebagai kampung besar tempat orang "mandi dalam kolam  susu" sekaligus "mandi dalam lumpur". Tapi ini tak menyurutkan langkah pendatang baru. Mereka berdatangan gelombang demi gelombang tiada henti, bahkan hingga sekarang.

Apakah betul 1970-an itu starting point kebiasaan mudik. Ternyata tidak. Naskah jawa kuno mengungkapkan di era Majapahit para bangsawan sering mudik dari ibukota Trowulan ke rumah leluhur mereka untuk menghormati dan menenangkan roh leluhur. 

Dalam tradisi Bali, orang Hindu Bali mudik sebelum hari raya galungan. Itu adalah pertanda waktu arwah leluhur mengunjungi keturunan mereka di dunia. Orang Madura diketahui melakukan tradisi mudik menjelang Idul Adha. Umat Kristen terutama Orang Toba beralaskan spirit leluhur masih banyak yang melakukan mudik beberapa saat jelang Natal dan Tahun Baru.

Kalau dilihat sikon dan latarbelakang mereka mudik. Itu semua beralaskan spirit leluhur. Di kalangan Majapahit tempo doeloe dalam strata terbatas yi kaum bangsawan dan rohaniawan. Begitu juga Bali terbatas di kalangan rohaniawan. Jadi tidak massif. 

Lain halnya pada zaman modern sekarang, dimana Indonesia meski sejauh ini masih tetap dalam pusaran perubahan yang turbulentif, ditambah ada krisis pandemi Covid-19, menyusul krisis Ukraina dan krisis CPO dan minyak goreng di dalam negeri, tapi fenomena mudik ini justeru semakin menggetarkan. Dua tahun tak pulang kampung gegara pandemi, tahun 2022 ini para pemudik seakan balas dendam. Maka menumpuklah antrian yang melelahkan dan menjengkelkan di semua akses ntah itu tol, pelabuhan, bandara dst.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun