PP : Wah menarik ternyata daun kesambi lokal yang dipakai. Juga kalian cukup inovatif dengan pengasapan memakai tong modifikatif itu.
R : Iya. Tong atau Drum itu kami bawa ke bengkel, bagian atas selaku tutup  dilubangi.
ML : Di dalamnya dikasi ram-ram-an yang disusun beberapa saf untuk mengasapi daging yang sudah kami tutupi dengan daun kesambi. Ram berpengait itu dicantolkan ke pinggiran tong. Irisan daging yang akan diasapi itu diletakkan satu per satu dari atas setelah ditutupi daun kesambi. Setelah irisan daging masuk semua, lalu ditutup dengan penutup yang telah dimodifikasi berlubang-lubang sebagai buangan asap. Dibawah ada kayu bakar untuk pengasapannya. Kita sejauh ini memproduksi sei babi cukup dengan 1 tong pengasapan saja. 5 Kg sei bisa diproduksi sekali pengasapan.
PP : Berapa banyak daging yang diasapi seharinya.
R : Kita hanya mengasapi 15 Kg daging babi per hari. Itu untuk kebutuhan 3 lapak per hari. Dengan teknik pengasapan dalam tong seperti itu, kita hanya butuh waktu 3 jam. Tapi proses perendaman daging dalam bumbu, itu berlangsung semalaman agar bumbu meresap. Sore ini misalnya dagingnya kita bumbui, besok dikeluarin untuk diasap. Begitu seterusnya.
PP : Bagaimana perputaran usaha ini sejak sei sapi diganti menjadi sei babi.
R : Peminatnya ya lumayan. Bisa diterimalah. Kita kan pasarnya anak-anak muda dari NTT, Ambon, Papua, Menado, Batak, Chinese, termasuk native Malang meski tak banyak dll. Mereka yang non-NTT awalnya belum paham sei dan setelah coba-coba, ternyata suka.
ML : Selama ini mereka kan hanya tahu babi kecap, babi rica-rica, sate babi dst, sekarang ada tambahan menu ya sei ini. Khusus anak-anak NTT yang banyak studi disini. Ada saatnya mereka rindu dengan kuliner daerahnya sendiri.
R : Ya. Pangsa pasarnya sudah ada sejak awal, terutama para mahasiswa asal NTT itu. Terutama itu tuh sayur bunga pepaya dengan daun singkong. Mereka kan susah cari itu kalau bukan dari rumah makan sei. Jadi kami yakin bahwa usaha ini pasti hidup.
PP : Bagaimana soal penerimaan masyarakat terhadap kuliner ini. Meski menurut setara kota Malang belum disebut sebagai kota yang toleran, tapi Malang kan daerah wisata untuk semua orang.
ML : Saya pernah coba buka lapak keempat. Pemilik sudah ok tapi cukup banyak warga yang keberatan. Jadi soal tempat ya harus selektif. Kita lihat dulu warga seperti apa di sekitar itu.