Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salam 10 November 2021

9 November 2021   16:40 Diperbarui: 9 November 2021   17:23 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi transisi pra milenial  numpang lewat/Dokpri

Salam 10 November 2021

10 November 2021 dalam kalender nasional kita adalah Hari Pahlawan. Apakah ini sudah menjadi ritual tahunan sejak tanggal tsb ditetapkan sebagai Hari Pahlawan oleh Ir. Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959? 

Kalau ditelusuri dekade demi dekade selama 62 tahun hari pahlawan, bahkan 76 tahun hari proklamasi, kita boleh jadi akan tahu pergeseran apa saja yang terjadi disitu. Tapi sayang sepertinya tak ada peneliti yang berminat menelusurinya.

Bagaimanapun, 10 Nopember tetaplah hari pahlawan. Dan kalaupun itu ritual katakanlah seperti acara pembaptisan di gereja Baptist, dimana nggak balita nggak ortu langsung diceburin ke kolam mini seukuran badan yang sudah tersedia didekat podium pendeta - itu persis di tengah pandemi Covid-19. Kita tak perlu lagi lebay soal kerumunan. 

Pandemi sudah semakin landai dan sudah ada semacam penghiburan dari pemerintah bahwa pada Desember ini kl 10 juta suntikan terakhir Sinovac-AstraZeneca-Moderna akan menuntaskan vaksinasi bangsa yi +70% lebih anak bangsa sudah divaksinasi. Itu semua demi dan untuk kekebalan bangsa yang kini total kl 275 juta jiwa menuju tahun baru 2022 dst.

Definisi

Ritual adalah urutan kegiatan yang melibatkan gerak tubuh, kata-kata, tindakan, atau benda, dilakukan sesuai dengan urutan, sesuai aturan standar. Ritual dapat ditentukan oleh tradisi suatu komunitas, termasuk komunitas agama. Ritual dicirikan, tetapi tidak didefinisikan, oleh formalisme, tradisionalisme, invarian, tata aturan, simbolisme sakral, dan kinerja.

Untuk mudahnya ritual 10 Nopember sebut saja sebagai ritual penanggalan dan peringatan. Ritus penanggalan dan peringatan adalah peristiwa ritual yang menandai waktu tertentu dalam setahun, atau periode tetap sejak peristiwa penting itu ditahbiskan. Ritual penanggalan memberi makna sosial pada perjalanan waktu, menciptakan siklus tahunan yang berulang.

Pahlawan, asal tau, berasal dari bahasa Sansekerta "phala" yang berarti hasil atau buah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan dimaknai sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani.

Starting point

Dari sudut negara, gelar pahlawan diberikan kepada para pejuang yang berjasa kepada Negara Republik Indonesia, berjuang dalam Negara Indonesia, dan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Mengutip Kementerian Sosial RI, hingga Nopember 2020 terdapat 191 tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional, belum lagi dengan tambahan baru sekarang ini yi pahlawan yang biasa dimunculkan dalam ritual Istana tahunan.

Bung Karno melengkapi kalender nasional ini dari inspirasi medan laga Surabaya. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (Komandan Tentara Inggeris untuk Jawa Timur) pada 30 Oktober 1945 adalah gegara utama pecahnya konflik bersenjata 10 Nopember 1945. Pengganti Mallaby yi Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 Nopember 1945 agar milisi bersenjata dengan para pimpinannya beserta warga Surabaya segera menyerahkan senjata kepada pihak Inggeris. 

Karena tak digubris, Inggeris dengan pembonceng NICA (tentara Bolanda yang ditugaskan di Indonesia pasca jatuhnya Jerman dan Axis) menggempur Surabaya dari darat laut dan udara. Konflik 10 Nopember 1945 tersebut mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1.600 orang prajurit Inggeris tewas, hilang dan luka-luka.

14 tahun setelah proklamasi, Bung Karno sang proklamator dan pengobar solidaritas nasional itu terinspirasi penuh kisah heroik rakyat Surabaya. Tak heran dari kekuasaannya pada 1959  lahir Hari Pahlawan 10 Nopember.

Itulah starting point hari pahlawan 10 Nopember yang ritualnya akan dilaksanakan beberapa saat lagi. Pihak Istana tak mungkin melewatkannya, ntahlah di 34 propinsi (34 gubernur), 416 kabupaten (416 bupati) dan 98 kota (98 walikota). Wilayah bawahan itu total meliputi 7.094 Kecamatan (7.094 Camat), 74.957 desa (74.957 Kepala Desa) dan 8.490 kelurahan (8.490 Lurah). Semuanya seharusnya simultan melaksanakan ritus hari pahlawan 10 Nopember secara digital atau tepat waktu sesuai time table yang telah ditetapkan secara nasional.

Menuju cakrawala baru

Kalau dilihat pengertian pahlawan yang dikukuhkan KBBI yi orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Juga diwanti-wanti sebagai pejuang yang gagah berani. 

Definisi itu pas-pas saja di masa Bung Karno dan Soeharto. Masa 1960-an misalnya, setiap anak sekolah di level apapun sejak dini sudah mempersiapkan ritual 10 Nopember dengan semangat yang wah. 

Apapun yang dipidatokan Bung Karno dan ditulis sejarawan Depdikbud akan diumbar semaksimalnya, ntah itu Pattimura digantung; korban kekejian Raymond Westerling; bahkan lebih mundur ke belakang seperti Sisingamangaraja XII yang setelah 30 tahun bergerilya melawan Bolanda, akhirnya tewas di tangan Marsose Bolanda di bawah Kapten Christoffel; perang Diponegoro 1825-1830 yang sudah disineaskan oleh Slamet Rahardjo dalam Nopember 1825 dst. Di masa Soeharto heroisme seperti itu pengobarannya dilanjutkan dengan tambahan 11 pahlawan baru korban peristiwa G 30 S PKI. 

Tapi tambahan ini agak aneh karena moment itu direkayasa dengan menjadikan PKI semacam hantu gentayangan sepanjang masa yang disineaskan via Depdikbud dalam durasi 3,5 jam. Alamak! Pokoknya hantu PKI harus hadir dalam teater nasional, lengkap dengan pembacaan mantera dalam ritus Shamanisme. 

Inilah pertamakalinya faktor penggentar digunakan untuk memaksahidupkan bulu kuduk bangsa dengan mengeksploitir kekejaman PKI dan para desertir ABRI (nama TNI ketika itu) yang mendarderdorkan peluru tajamnya pada masa akhir Bung Karno. 

Orasi apapun di masa Soeharto selaku regime pengganti selalu dikaitkan dengan letusan senjata, dentuman bom dan tatapan kejam algojo-algojo desertiran ABRI serta rentetan tembakan mematikan yang ditegaskan milyaran kali sebagai dipayungi PKI. Sampai-sampai Novelis Cintaku di Kampus Biru Ashadi Siregar setengah meratap menulis di Kompas mau dibawa kemana bangsa ini dengan segala gegap gempita kekejaman konflik seperti itu. 

Apakah kita akan terus dininabobokan Heroisme yang semakin menyimpang pemaknaannya dengan suasana dar der dor yang terus digenjot ke tulang sumsum bangsa atau bagaimana? Ini mencapai klimaksnya ketika pengkultusan Soeharto dari para penjilat kekuasaan yang ironisnya diiyakan sang Presiden. Maka lahirlah sineas baru yi "Serangan Fajar" yi serangan balik Soeharto ke Yogya dan Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan".

Transisi

Habis gelap terbitlah terang, demikian kata Kartini. Tapi gelap ya gelap, terang ya terang. Itu kan keinginan mimetik para pemimpi. Harapan sesaat itu sempat nongol ketika Soeharto tercampak dari sejarah. 

Perjalanan bangsa selanjutnya selama 3 dekade terakhir ini yang dijargoni sebagai era reformasi tak hanya diwarnai faktor internal Indonesia, tetapi juga banyak dipengaruhi faktor eksternal, ntah itu pergeseran geostrategik dunia di mandala middle-east, AsPac serta mandala barat di bawah AS dan mandala timur di bawah Russia dan China.

 Bahkan terorisme internasional yang mencekam sejak peristiwa 9/11 di New York, US, yang berimplikasi terorisme dunia yang merangsek hingga Indonesia dari Bom Bunuhdiri Bali, Poso, hingga Bom Bunuhdiri Jakarta; 20 Tahun AS menduduki Afghanistan dan munculnya China sebagai adidaya terbaru. Itu semua cukup banyak mempengaruhi geostrategik dunia, termasuk mempengaruhi Indonesia.

Indonesia setelah Krismon di penghujung 1990-an benar-benar menggiriskan. Betapa Indonesia hampir mencapai titik sebagai "negara gagal", betapa pergantian kekuasaan dari presiden pertama reformasi yi BJ. Habibie ke Gus Dur, lalu ke Megawati, lalu ke Esbeye hingga ke Jokowi sekarang. Itu semua tak lepas dari upaya pelepasan diri bangsa ini dari negara hampir gagal ke negara yang diwanti-wanti harus bangkit dan dapat berdiri lagi di atas kakinya sendiri.

Peralihan kekuasan demi peralihan kekuasaan telah kita lalui. Dalam transisi besar itu, kalangan fundamentalis tak bertanggungjawab hampir saja mendorong negara gagal ini ke jurang super tolol yi Indonesia Hatred berantakan. 

Yang patut disyukuri era gelap serba hatred karena penyalahgunaan identitas sudah dilempengin kaum berakalsehat. Semoga langkah estafet ke depan ini pelurusannya semakin bagus tanpa pilih bulu.

Biarlah Sipadan dan Ligitan serta Timor Timur lepas dari tangan kita sebagai buah kebodohan kita, tapi ada semacam tekad yang telah tertanam kuat dalam tubuh pemerintahan sekarang bahwa Indonesia nggak bakalan mau kecolongan lagi dengan kasus memalukan seperti itu, meski politik identitas masih juga dikedepankan dalam "exercise of power". 

Tapi karena itu datang dari politisi-politisi sontoloyo Indonesia sekarang, maka kita maklumi saja bahwa merekalah yang nanti harus disaring oleh generasi milenial sebagai bukan calon pemimpin bangsa, melainkan calon pemimpin komunitas pemimpi cepat kaya dan cepat jadi penguasa. 

Nah, sebaiknya gunakan saja jurus Homang Toba memberondong mangga hutan Batangtoru, agar metoda mereka berbalik menjadi pembusukan diri sendiri dan pembusukan partai yang ditungganginya agar tak lolos dalam threshold pemilu berikutnya.

Pemaknaan baru

Sebagai closing esai ini, pahlawan dan kepahlawanan per definisi sudah nggak match lagi dengan perkembangan zaman. Dengan Ritualisme penanggalan dan siklus waktu pun juga demikian. 

Dua dekade terakhir ini jelas bagi kita, kalau mau jelas-jelasan, betapa ritus kepahlawanan dua zaman sebelumnya, bahkan awal reformasi, sudah tak lagi dihadiri dengan khusuk sebagaimana halnya sebuah ritual yang sudah permanen pakem-pakemnya. 

Generasi milenial sekarang mencemoohnya sebagai ritual kosong yang tak lagi bermakna, apalagi pengkhotbah 10 Nopember-an seperti Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa dan Pak Lurah, bahkan RI 1 ngeyel dalam berkhotbah, meski baru saja bagi-bagi uang hohoi di depan rakyat. Bahkan ada cukup banyak politisi sontoloyo yang baru saja berorasi dengan berbagai asesori bermerk di sekujur tubuhnya. 

Meski dibombardir kamera, ia tak sadar bahwa tampilan sok-sok keren made in Paris itu ntar menggelontor di aneka medsos Indonesia. Cobalah, cukup banyak dan beragam evaluator anda disana.

Generasi transisi pra milenial kini sebangsa Budiman Sujatmiko dan Adian Napitupulu, dan generasi milenial pertama yang lahir tahun 1980-an sebangsa Benny Hardi keponakanku dan generasi milenial kedua yang lahir pada 1990-an sebangsa anakku Kenia dan yang se-fase dengannya, mereka sudah tidak tahu atau lebih tepatnya tidak mau tahu lagi dengan gelombang kelam atau gelombang sibolis (istilah Batak) yang datang silihberganti sepanjang 1950-an hingga 1990-an. 

Mereka hanya mau tahu bagaimana kita ke depan ini dengan era big-tech yang serba digital sekarang. Bagaimana kita menjadi manusia Indonesia yang Inovatif. 

Bagaimana kita meluruskan "induk hoax" sebangsa sejarah G 30 S. Bagaimana kita mengembalikan uang kemplangan dari bandit-bandit BLBI sebangsa Tommy dkk. Bagaimana kita menghukum para koruptor uang rakyat dengan seadil-adilnya, jangan sampai terulang lagi aksioma siapa kuat bayar mahal maka hukumannya akan diperingan hakim korup dengan seringan-ringannya. Bagaimana kita bermanuver cerdas di pentas internasional. Bagaimana kita berorganisasi yang bagus di wadah-wadah profesi kita. 

Bagaimana kita menata keluarga besar dan sahabat-sahabat kita dengan cara-cara baru yang sudah menjauh dari ritual kosong. Cara-cara baru generasi milenial baik sudut pandang, berinteraksi dan bekerja, meski fungsional sejalan dengan fase-fase kebudayaan -- mengutip van Peursen, tapi bagaimana agar sikap fungsional itu tetap konsisten dengan ajaran kasih sayang dan persaudaraan dalam keluarga inti maupun keluarga super besar Indonesia.

Bagi kalangan milenial, sosok pahlawan di mata mereka bukan lagi orang yang berjuang mengangkat senjata mengusir penjajah dengan segala macam dar der dor disitu, tetapi dalam konteks kini pahlawan sejati itu bagi mereka adalah mereka yang berprestasi di berbagai bidang, mereka yang membawa kebaikan bagi keluarga, sahabat-sahabat dan masyarakat luas, mereka yang berhasil mengharumkan nama bangsa di mata Internasional, ntah itu olahraga, inovasi teknik, kejujuran dst. 

Itulah pahlawan zaman now. Itulah seharusnya yang ada dalam ritual 10 Nopember-an sekarang. Itulah kesempatan bagi kita untuk membacakan mantera ampuh dalam rangka mengenang, mengingat, mengobarkan kembali jiwa dan semangat para pahlawan masa kini dan masa lalu kepada warga Indonesia di berbagai strata dan usia, kecuali balita.

Mantera ampuh itu bukan lagi asal cuap dan khotbah. Oh no! Tapi harus dengan keteladanan dan sensitifitas kita dalam memahami perubahan zaman tanpa seincipun meninggalkan makna persaudaraan, persahabatan dan kebangsaan Indonesia.

Salam 10 Nopember! Mari kita kobarkan semangat dan jiwa baru menuju Indonesia modern dan berwibawa 2045.

Depok Bolanda, Tue', Nov' 09, 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun