Namun kemampuan mereka dalam dua hal itu tidak sekompleks homo sapiens yang memungkinkannya untuk membangun kota dan masyarakat. Hanya Homo Sapiens yang berhasil membangun hubungan sosial yang rumit yang dinamakan peradaban di kala seekor simpanse dan bahkan homo neaderthal gagal melakukannya.
Para pendiri psikologi seperti filsuf psikoanalisis Sigmund Freud (1856 -1939) melukiskan bahwa manusia adalah makhluk yang berjuang untuk melawan kecenderungan hewaninya, yang diberinama sebagai Id, namun selalu memiliki referensi adihewani yakni hati nurani yang disebutnya Superego. Jiwanya sendiri yakni Ego terkurung di tengah-tengah kedua kenyataan tersebut. Karakter manusia adalah dinamika antara kekuatan tiga hal tersebut.
Substansi yang berkesadaran
Para filsuf memandang manusia sebagai makhluk yang unik karena keberadaan kesadarannya (conscious). Umumnya para filsuf klasik memandang manusia sebagai makhluk yang eksistensinya terbentuk oleh adanya interaksi antara kenyataan material (tubuh) dan kenyataan formal (Jiwa). Â
Plato (427 SM - 347 SM Â ) menilai bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri atas dua substansi: tubuh dan jiwa. Walaupun demikian, Pato lebih menekankan jiwa sebagai inti pribadi manusia itu sendiri, terutama karena kesadarannya. Tubuh hanyalah alat bantu bagi jiwa untuk mengenali alam selama ia berada di dunia. Plato percaya akan pre-eksistensi jiwa, yaitu keberadaan jiwa sebelum kelahirannya ke dunia. Bahwa sebelumnya jiwa berada di dunia ideal yakni alam ide, sebelum jatuh ke dalam dunia dan terpenjara ke dalam tubuh. Kembali ke dunia ide adalah perjuangan manusia selama hidupnya di dunia. Untuk itu ia harus mengalahkan kecenderungan nafsu badani.
Aristoteles (384 SM -322 SM) juga sependapat dengan Plato, bahwa manusia adalah subyek berkesadaran yang dibentuk oleh interkasi jiwa dan tubuh. Namun tidak seperti Plato, Aristotles memandang status tubuh dan jiwa adalah setara. Tubuh memberikan sensasi empirik lewat indera-indera sebagai sumber pengetahuan bagi jiwa. Aristotles memandang manusia sebagai hewan berkesadaran yang dapat berpikir (Aminal rationale) dan juga dapat bersosialisasi dengan sesamanya (zoon politikon). Tujuan manusia untuk hidup adalah untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia) dengan cara menghidupi kebajikan.
Â
Â
Sementara itu Boethius (480-524) memandang manusia sebagai  "rationalis naturae individua substantia" atau substansi individu yang bersifat rasional. Dengan demikian, Boethius menegaskan kembali pendapat para filsuf sebelumnya mengenai manusia bahwa pribadi manusia dikenal lewat kemampuan rasionalnya.
Makhluk Rohani