Mohon tunggu...
parida tunnur
parida tunnur Mohon Tunggu... Lainnya - Cahaya Lembut

putri dari bapak H. Nurdin dan Ibu Zahirah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan dan Pengerakan Nasional

11 April 2020   23:33 Diperbarui: 11 April 2020   23:52 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Robert van Niel dan Frances Gouda tidak dapat memungkiri peran kaum intelektual bumiputra dalam proses kebangkitan nasional Indonesia. Van Niel (2009: 55-56) menyadari bahwa praktek Politik Etis di bidang pendidikan mengalami tarik ulur kepentingan antara kelompok Sosialis yang mendominasi di parlemen Belanda dengan Menteri Urusan Jajahan selaku implementor kebijakan. Menurut Gouda dalam bukunya, Dutch Culture Overseas  (1995: 52), kebijakan tersebut hanya melahirkan ironi yang menyedihkan karena merupakan strategi kolonialisme baru di Hindia-Belanda. Sekalipun kebijakan ini telah melahirkan semangat nasionalisme kaum bumiputra lewat peningkatan penyelenggaraan pendidikan, tetapi agenda-agenda di balik kebijakan ini tidak pantas dijalankan oleh bangsa yang telah berabad-abad mengeksploitasi kekayaan alam Hindia-Belanda.

Pendekatan Hurgronje membuahkan hasil ketika Achmad Djajadiningrat, seorang putra bangsawan di Banten, berhasil dibimbing untuk menyelesaikan Sekolah Menengah di Batavia. Adiknya, yakni Hoessein Djajadiningrat, malah berhasil melanjutkan studi ke Leiden berkat bimbingan Hurgronje. Abendanon melakukan reformasi institusi pendidikan dengan mengubah Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan Hoofdenscholen di Bandung, Magelang, dan Probolinggo diubah menjadi Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) (Riklefs, 2005: 330).

STOVIA merupakan salah satu institusi pendidikan yang menjadi pilot project kebijakan Politik Etis di bidang pendidikan. Kampus ini telah melahirkan banyak intelektual bumiputra, seperti: Soetomo, Soelaeman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, M. Soewarno, Muhammad Saleh, Soeradji, Goembreg, Radjiman Wedyodiningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, Tirtoadisoerjo, Wahidin Soedirohoesodo, dan lain-lain. Tokoh yang disebutkan terakhir tergolong senior.

Bermula ketika Wahidin Soedirohoesodo, lulusan sekolah Dokter Jawa, yang merasa prihatin atas kemunduran orang-orang Jawa. Pada tahun 1901, menurut sumber Riklefs (2005: 343), dia menerbitkan surat kabar Retnadoemilah di Yogyakarta. Dia menghimpun dana beasiswa (studiefond) untuk menyekolahkan anak-anak priyayi Jawa agar dapat mengenyam pendidikan Barat. Pada tahun 1907, Wahidin berkunjung ke almamaternya, STOVIA, dalam rangka penggalangan dana. Pertemuan Wahidin dengan para mahasiswa di STOVIA berhasil mencapai kesepakatan untuk membentuk sebuah perkumpulan (organisasi) yang akan memajukan kaum priyayi di tanah Jawa. Soetomo dan kawan-kawan sangat antusias mendengar gagasan Wahidin sehingga mereka sepakat membentuk sebuah organisasi untuk memajukan kaum bumiputra, khususnya kaum priyayi Jawa. Rasa nasionalisme mereka mulai tergugah setelah mengenyam pendidikan modern di STOVIA. Pada hari Rabu pagi tanggal 20 Mei 1908 di aula kampus STOVIA, mereka mendeklarasikan sebuah perkumpulan bernama Boedi Oetomo (BO) (Gamal Kamandoko, 2008: 8).

Selain Soetomo dan kawan-kawan, di antara tokoh-tokoh nasional lulusan STOVIA adalah Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah aktivis Insulinde dan Indische Partij. Pemikirannya yang revolusioner sulit diterima di kalangan aktivis BO yang cenderung elitis. Dia akhirnya hengkang dari BO lalu membentuk Insulinde dan Indische Partij bersama Douwes Dekker. Sedangkan Ki Hajar Dewantara, selain aktif di BO dan bergabung dalam Insulinde dan Indische Partij, dia mendirikan Perguruan Taman Siswa.

Kampus OSVIA di Bandung, Magelang, dan Probolinggo juga banyak melahirkan kaum intelektual bumiputra. Khusus untuk OSVIA di Magelang, misalnya, institusi pendidikan kolonial produk Politik Etis ini telah melahirkan sosok H.O.S. Tjokroaminoto, president Centraal Sarekat Islam (CSI). Salah seorang guru bumiputra yang mengajar pelajaran budi pekerti di OSVIA Magelang adalah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun