Mohon tunggu...
joesoef balle
joesoef balle Mohon Tunggu... -

belajar untuk berarti

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kami Ingin Hidup Tanpa Stigma

18 Juni 2012   17:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata AIDS, yang terlintas dalam benak adalah seseorang dengan tubuh yang kurus kering dan tidak berdaya. Terbaring lemah di atas tempat tidur dan selalu meminta belas kasihan orang lain. Bahkan orang takut mendekat. Yang lebih tragis, orang yang mengindap HIV/AIDS ada yang dikurung dalam kandang seperti binatang. Padahal, dia adalah saudara, keluarga dan teman. Dia adalah manusia ciptaan Tuhan yang punya hak dan kewajiban yang sama. Kenapa ada stigma dan penghakiman sosial yang seakan berat dirasakan orang dengan HIV ataupun AIDS? Mungkinkah label buruk terhadap sesama manusia itu kita lepaskan? Lalu bagaimana?

Saya sempat bertemu dengan Maxymus Mitan. Laki-laki lajang ini tinggal di sekitar Kelurahan Oebufu, Kota Kupang. Tampangnya cukup keren. Tampilannya sederhana dan ramah. Laki-laki yang memiliki Ayah dari Maumere dan ibu Jawa menuturkan seputar pengalamannya sebagai salah seorang yang hidup dengan HIV. Brur Maxy begitu dia disapa, merupakan salah satu orang yang tergabung dalam Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (Jothi). Bahkan Brur Maxy pernah menjabat sebagai Koordinator JOTHI  Provinsi NTT. "Ada 36 orang yang tersebar di tujuh kabupaten/kota yang ada di NTT yang bergabung dengan Jothi," tutur Brur Maxy membuka percakapan kami.

Di rumah yang dipakai sebagai sekretariat Jothi dan juga tempat tinggal serta berfungsi sebagai rumah singgah, berdiam Brur Maxy dan salah seorang perempuan anggota Jothi dan anaknya. Kesan saya, sangat sederhana dan hidup apa adanya.  Namun di balik kesederhanaan, ada perjuangan keras yang dilakoni. Salah satunya, terus disiplin mengikuti terapi kesehatan. Namun yang paling sukar dan sulit adalah melawan stigma dan label yang telah dilekatkan kepada diri mereka. "Beruntung, saya dari keluarga yang mengerti. Sehingga ketika saya test HIV dan ternyata positif, saya tidak dipasung dalam kendang seperti binatang, seperti yang terjadi di Manggarai," tandas Brur Maxy yang mengakui dirinya terinveksi HIV karena memakai narkoba melalui jarum suntik.

Dengan mengakui dan berani menghadapi resiko, Brur Maxy kemudian mulai bergeliat. Beruntung bisa ada dan terlibat dalam organisasi Jothi yang merupakan kumpulan orang-orang di seluruh Indonesia yang di dalam tubuhnya ada virus HIV. Dengan bergaul akhirnya wawasanya terus terbuka. Dan ternyata saat ini Brur Maxy tekun mengikuti pengobatan dan terapi sebagaimana saran dunia kedokteran. "ARV adalah singkatan dari Antiretroviral, sebuah pengobatan yang dapat menghentikan reproduksi HIV didalam tubuh. Bila pengobatan tersebut bekerja secara efektif, maka kerusakan kekebalan tubuh dapat ditunda bertahun–tahun dan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah AIDS," jelas Brur Maxy ketika ditanya mengenai pengobatan yang saat ini sedang dijalaninya.

Sayangnya kata Brur Maxy, yang menjadi persoalan sekarang adalah ketersediaan ARV di NTT dan akses orang dengan HIV untuk mendapatkannya. "Karena masih adanya stigma yang salah akhirnya orang dengan HIV yang tinggal di Bajawa atau Soe atau Atambua tidfak berani mengambil ARV di rumah sakit yang telah ditunjuk. Padahal, proses pengobatan ini harus disiplin dan terus menerus," jelas Brur Maxy.

Brur Maxy menambahkan meskipun ARV belum mampu menyembuhkan penyakit secara total, namun secara dramatis ARV mampu menurunkan angka kematian dan kesakitan yang berdampak peningkatan kualitas hidup orang terinfeksi HIV sekaligus meningkatkan harapan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan seperti diabetes, asma atau darah tinggi dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit pembunuh yang menakutkan.

Nah kalau dari sisi medis HIV/Aids bukan lagi kategori penyakit pembunuh yang menakutkan, kenapa kita masih memberi stigma negatif dan memperlakukan sesama yang mengindap HIV/Aids seperti binatang? Dimanakah peri kemanusiaan kita. Stop diskriminasi terhadap pengindap HIV dan Aids. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun