Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Literasi yang Menyesuaikan Zaman, Menghindarkan Salah Kaprah

14 Agustus 2017   22:34 Diperbarui: 16 Agustus 2017   22:12 4016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Y. B. Mangunwijaya, Puspa Pena Anak Muda merupakan salah satu buku karya anak-anak (pelajar) yang digagas oleh PWCY. (Foto: dok. pribadi)

Dua era berbeda niscaya menghadirkan dua pertanyaan berbeda. Artinya, jawaban yang diberikan (seharusnya) berbeda sesuai pertanyaannya. Era ketika teknologi digital belum berkembang, memberi situasi dan pertanyaan berbeda dibanding era ketika teknologi digital berkembang sangat pesat. Penyikapan yang bijaksana apabila kita melakukan pendekatan (baca: menjawab pertanyaan zaman) yang pas.

Kemajuan teknologi digital sudah mengubah dinamika wajah literasi dan mempengaruhi pola pendekatan yang digunakan. Realitanya sebagian besar masyarakat masih memberikan jawaban yang sama. Menghadirkan pendekatan dan runtutan kegiatan yang persis sama dengan 10 atau lima belas tahun lalu. 

Sumber buku tetap klasik: membeli buku baru atau buku bekas yang masih layak, mendapat hibah, tukar-menukar dengan perpustakaan lainnya, atau mendapat titipan buku dari donatur pribadi. Prinsipnya adalah menyediakan buku dan anak-anak diajak untuk suka membacanya. Lupa bahwa yang diperlukan sebenarnya bukan cuma suka tetapi bagaimana mengoptimalkan proses meraih rasa suka membaca itu, melipatgandakan keefektipan dan menghebatkan dampak yang diraih.

Sudah seharusnya kita mengapresiasi hasil karya para penemu teknologi canggih,  khususnya teknologi cetak digital.

Pendekatan Berbeda

Menghadirkan buku dan bentuk bacaan lainnya tetap menjadi urat nadi kegiatan memasyarakatkan minat membaca. Tetapi bukan berarti mengisi lemari dan rak buku di perpustakaan atau Taman Bacaan Masyarakat (TBM) stagnan hanya mengandalkan buku-buku produksi penerbit. Pada lima belas tahun yang lalu ini masih lumrah, bagus, cerdas, dan efektip. 

Selaras dengan situasi suasana realitas saat itu. Pada era sekarang, teknologi cetak digital seyogyanya 'memaksa' kita mengubah pakem ini. Kemajuan teknologi digital sudah menghadirkan katalisator yang memberi ruang asyik bagi anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan literasi dalam berbagai variasi kegiatan yang lebih sesuai dengan zaman. Artinya, sumber buku pun divariasikan.

Menulis buku melipatgandakan kecerdasan literasi daripada hanya memposisikan mereka sebagai konsumen buku. Mereka bisa dan mampu menjadi produsen yang menghasilkan buku yang bisa dibaca orang lain. Sudah tidak zamannya lagi siswa sekadar konsumen dan kita senang melihat mereka rakus mengonsumsi buku, lebih dari itu seyogyanya kita menemani mereka menjadi produsen menghasilkan buku. Artinya, buku buah karya mereka menjadi alternatif sumber buku untuk menambah koleksi perpustakaan. Cara menambah koleksi perpustakaan semakin bervariasi.

Jadi, tentang mengoptimalkan kegiatan literasi, saatnya merenung dan mengeja kembali dua pertanyaan yang dihadirkan oleh dua era yang berbeda. Dunia ketika masih belum hadir teknologi digital, ketika membuat buku masih susah, mahal, dan ribet. Komparasikan dengan ketika sekarang menerbitkan buku relatif mudah, murah, dan menyenangkan.

Menyesuaikan Sudut Pandang

Di era teknologi digital ini kegiatan menulis buku ada 2 tipe. Pertama, menulis buku sebagai proses menuju menjadi ORANG BESAR. Kedua, menulis buku karena sudah menjadi ORANG BESAR. Kedua-duanya memiliki persamaan, mereka menginspirasi dan memberi manfaat bagi banyak orang. 

Ketika pelajar SD, misalnya, sudah menulis buku itu adalah bagian proses menjadi ORANG BESAR. Menulis dengan riang gembira melatih kemampuan mengeluarkan gagasan dan mengembangkan wawasan. Dia melatih dirinya sendiri dan pada saat yang bersamaan dapat menginspirasi pembaca.

Dulu, Romo Mangun, Mohammad Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya menulis buku ketika sudah menjadi ORANG BESAR. Kini anak-anak SD atau SMP menulis buku sebagai proses menuju orang besar. Menerbitkan buku sebagai fasilitas dan katalisator mendorong anak-anak berlomba menjadi orang besar dan memberi manfaat kepada dunia semesta.

Pengalaman PWCY

Komunitas Persahabatan Wartawan Ciik Yogyakarta (PWCY) sejak beberapa tahun lalu sudah beradaptasi menyikapi cara cerdas berliterasi yang pas selaras perkembangan zaman. Bukan lagi sekadar membaca buku sebanyak-banyaknya, tetapi pada saat bersamaan anak-anak berproses kreatif menelurkan buku karya sendiri. 

Sejumlah buku sudah dihasilkan, dicetak terbatas, ada satu judul buku yang dicetak 10 eksemplar, ada yang seratus buah, ada juga yang sampai 500 buah. Buku itu baik merupakan antologi bersama maupun karya pribadi.  Menulis buku menjadi arena eksploratif kreatif seiring prinsip bahwa ketika si anak menulis (otomatis) dia harus membaca.

Beberapa di antara judul buku karya anak-anak muda itu sudah diserahkan kepada banyak pihak seperti Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemimpin redaksi suratkabar, dan kepada Menteri. Sejumlah buku yang dihasilkan mereka sudah menjadi koleksi di sejumlah perpustakaan daerah, perpustakaan sekolah, perpustakaan kampus, bahkan menjadi koleksi di perpustakaan Kemenko PMK.

Pengalaman PWCY menemani banyak anak-anak baik di desa dan di kota, membuktikan kegiatan menulis itu mudah dan riang, menghibur. Pada awalnya memang ada yang apriori menganggap sebuah kegiatan serius dan membosankan serta perlu berpikir keras. 

PWCY merenovasi kesan serius itu menampilkan kegiatan menulis buku sebagai arena bersenang-senang, arena bermain, namun menambah pengetahuan yang lebih optimal daripada sekadar membaca. Mereka menjadi tahu banyak informasi,  pengetahuan, memperluas wawasan secara lebih efektif, mendalam namun menyenangkan dibanding apabila membaca saja.

Jadi mengenai cara optimal menggugah minat membaca, kegiatan cerdas berliterasi, mari perlahan-lahan menyesuaikan pendekatan (tidak lagi) sekadar menghadirkan buku, melainkan mengajak anak-anak menghasilkan buku. Di zaman dulu, era teknologi cetak digital belum berkembang, kegiatan utama taman bacaan masyarakat sekadar membaca buku memang merupakan kelaziman, tidak salah kaprah. Tetapi kini, apabila kita memberi jawaban atau penyikapan yang sama padahal pertanyaan dan situasi zaman sudah berubah, maka disebutlah kita salah kaprah. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun