Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Tersinggung, Batak Tak Mengenal Tradisi Cium Tangan

5 Mei 2019   14:46 Diperbarui: 5 Mei 2019   14:52 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang puasa, izinkan saya mengucapkan selamat berpuasa kepada seluruh rekan-rekan yang merayakannya. Semoga puasanya lancar tanpa halangan apapun. Saya turut senang meski bukan pemeluk Islam, tetapi bulan puasa selalu saya nantikan. Banyak acara bukber, soalnya. Hehehe.

Nanti, setelah sebulan lamanya berpuasa, tibalah saatnya merayakan Hari Idul Fitri. Lebaran, kalau kata gaulnya. Nah, pada saat momen Lebaran itu, selain menjadi waktu yang tepat untuk saling memaafkan, sajian khas seperti ketupat, tentu tak pernah ketinggalan. Kali ini, saya tidak ingin membahas soal ketupat maupun makanan lain yang cenderung meningkatkan kadar kolestrol darah.

Tetapi soal tradisi cium tangan. Ya, ini penting diluruskan guna menghindari adanya kesalahpahaman di antara sesama anak bangsa. Sebetulnya, tradisi cium tangan tidak hanya berlaku saat Lebaran saja, tetapi hampir di setiap kesempatan di mana orang yang lebih tua bertemu dengan orang yang lebih muda.

Cium tangan merupakan tradisi orang muda ke orang tua sebagai bentuk penghormatan, baik pada saat bertemu maupun pada saat pamit. Jika tidak cium tangan, rasanya ada yang kurang. Misalnya, kurang menghormati orang yang lebih tua.

Nah, celakanya, masyarakat Batak (Toba-Kristen) terutama seperti saya yang masih lahir dan besar di kampung halaman, bisa dipastikan tidak mengenal tradisi cium tangan. Tetapi cukup berjabat-tangan saja. Jabatan tangan sembari mengucapkan kata "Horas" merupakan salam yang sudah sempurna. Termasuk saat berjumpa dengan pemuka agama sekalipun seperti pendeta maupun pastor.

Maka bisa dibayangkan ketika saya, misalnya, saat bertemu orang yang lebih tua di tanah rantau akan dianggap kurang sopan bila hanya berjabat-tangan saja. Tanpa cium tangan. Peristiwa seperti ini cukup sering saya alami, ketika menghadiri acara-acara tetangga maupun para kolega. Sama sekali saya bukan bermaksud tidak sopan, tetapi memang begitulah adanya. Sebab sejak kecil, kami tidak pernah diajarkan untuk cium tangan.

Apa sih susahnya cium tangan? Mungkin terlihat mudah dilakukan tetapi sangat canggung ketika dipraktekkan. Itu tadi, karena memang tidak pernah diajarkan sejak kecil. Tetapi dalam upaya menyesuaikan budaya, para orang tua Batak di tanah rantau seperti Jakarta, perlahan telah mengajarkan tradisi cium tangan kepada anak-anaknya.

Sehingga bila Anda menemui orang Batak yang tanpa sungkan mencium tangan orang yang lebih tua darinya, hampir bisa dipastikan ia adalah kelahiran tanah rantau. Bukan di kampung halaman alias Batak Tembak Langsung (BTL). Lalu jika Anda melihat seorang Batak yang bersalaman dan hanya sedikit membungkukkan badannya, bisa dipastikan ia adalah seorang BTL.

Membungkukkan badan, merupakan cara lain yang sering digunakan BTL sebagai pengganti cium tangan. Walaupun sesungguhnya, tradisi membungkukkan badan di tanah Batak hanya dilakukan pada acara dan momen tertentu.

Yakni ketika bersalaman dengan hula-hula (keluarga dari pihak istri), atau ketika bersalaman dengan seseorang yang dituakan dalam sebuah kumpulan marga. Selebihnya, cukup berjabat-tangan saja, menatap mata, dan mengucapkan salam "Horas".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun