Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RUU PKS, Kewajiban Negara dan Perlindungan dari Kekerasan Seksual

7 April 2021   00:05 Diperbarui: 7 April 2021   00:22 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sesuai Pasal 1 angka 1 RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. 

Defenisi kekerasan seksual yang termaktub dalam RUU ini lebih luas ruang lingkupnya ketimbang ketentuan kesusilaan, khususnya perkosaan dan pencabulan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 285.

Selain itu, terdapat perbedaan delik (peristiwa pidana) antara Pasal 285 KUHP, yaitu perkosaan, dengan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS. Pasal 285 KUHP merupakan delik biasa, sedangkan kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU PKS merupakan delik aduan (klachtdelict) (Pasal 12 ayat (2)).

Delik biasa artinya perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban) walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada pihak kepolisian, penyidik tertap berkewajiban untuk melanjurkan proses perkara. 

Sementara, delik aduan adalah delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana atau tergantung pada persetujuan dari pihak yang dirugikan (korban). Pada delik ini, korban dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila diantara pelaku dan korban telah terjadi suatu perdamaian.

Aspek Yuridis

Dari aspek yuridis, ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yakni aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. 

Dalam aspek substansi, walaupun terdapat penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, misalnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun berbagai kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia.

Dari aspek struktur, meskipun lembaga penegak hukum telah membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, namun unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas maupun perspektif penanganan korban yang memadai. 

Dan dari aspek kultur atau budaya hukum, masih terdapat aparatur penegak hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Hal ini berakibat pada penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban. Dan justru ikut menyalahkan korban.

RUU PKS sebagai Jaminan Perlindungan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun