Mohon tunggu...
Djho Izmail
Djho Izmail Mohon Tunggu... Pejalan kaki yang lambat

Bercerita dari Kampung Bermukim Maya di: https://pangeranrajawawo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Ikan dan Singkong, Mutiara Lokal Ende Untuk Menu Berbasis Gizi

2 Oktober 2025   12:01 Diperbarui: 2 Oktober 2025   17:05 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada suatu hal yang senantiasa melekat dalam ingatan saya ketika menyebut Ende: aroma ikan bakar di tepi pantai yang berpadu dengan hembusan angin asin Laut Sawu, serta kepulan uap singkong rebus dari periuk tanah liat di dapur ibu yang hangat menyertai masa kecil. Kedua bahan pangan tersebut tampak sederhana, lahir dari tanah dan laut yang sama, namun menyimpan potensi yang sering diabaikan, yakni potensi gizi yang menjaga ketahanan tubuh, potensi budaya yang menyatukan keluarga dalam satu meja makan, dan potensi identitas yang menguatkan jati diri masyarakat Ende.

Saat ini, ketika wacana global banyak menyoroti Makan Bergizi Gratis (MBG), seolah terdapat dorongan untuk kembali meninjau sumber pangan di lingkungan sendiri. Bukankah ikan dan singkong sejak lama telah menjadi denyut kehidupan masyarakat Ende? Pada setiap perahu nelayan yang kembali dengan hasil tangkapan, dan setiap lahan pekarangan yang menumbuhkan umbi putih di bawah tanah, sesungguhnya tersimpan solusi atas tantangan pangan masa kini. Tidak diperlukan pasokan pangan impor yang mahal, karena laut dan tanah telah menyediakan apa yang dibutuhkan. MBG, dalam esensi yang paling murni, sejatinya telah lama terwujud dalam tradisi konsumsi masyarakat: sederhana, lengkap, serta berakar pada kearifan lokal.

Singkong: Dari Pangan Rakyat ke Basis Gizi

Singkong merupakan tanaman yang dapat tumbuh optimal pada kondisi tanah kering di Flores. Tanaman ini tidak memerlukan banyak perawatan, cukup dengan curah hujan musiman, tanah yang relatif tandus, maka singkong tetap mampu tumbuh subur. Singkong, atau yang dalam bahasa Ende disebut ubi kayu, selama berabad-abad berfungsi sebagai pengganti nasi. Dahulu, masyarakat mengolahnya secara sederhana, seperti direbus, dicincang, atau ditumbuk lalu dikukus menjadi uwi ai ndota atau uwi ai punga. Namun, kini singkong dapat ditransformasikan lebih jauh, salah satunya menjadi nasi singkong, yaitu butiran kecil mirip beras yang dimasak seperti nasi pada umumnya.

Meskipun demikian, singkong kerap mendapatkan stigma sebagai "pangan kampung", dianggap tidak seprestisius nasi putih yang masuk bersama sejarah kolonialisme. Padahal, secara komposisi gizi, singkong memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, kaya akan serat, serta lebih ramah terhadap sistem pencernaan. Dalam 100 gram singkong rebus, terkandung air sebanyak 61,4 gram, karbohidrat 36,8 gram, energi 154 kkal, protein 1,0 gram, serat 0,9 gram, lemak 0,3 gram, kalium 394 miligram, kalsium 77 miligram, vitamin C 31 miligram, serta fosfor 24 miligram.

Dalam perspektif MBG, singkong berpotensi menjadi salah satu penopang ketahanan pangan. Di tengah kondisi perubahan iklim, ketika produksi beras kian sulit dipertahankan akibat ketidakstabilan curah hujan dan keterbatasan lahan sawah, singkong dapat menjadi solusi. Umbi ini tahan terhadap kekeringan, mudah ditanam di pekarangan rumah, serta tidak membutuhkan biaya produksi yang tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa singkong tidak hanya berperan sebagai pangan alternatif, melainkan juga sebagai strategi adaptasi pangan. Melalui pengolahan menjadi nasi singkong, tepung singkong, maupun produk modern seperti mie dan roti singkong, masyarakat tidak perlu bergantung sepenuhnya pada beras. Inilah wujud diversifikasi pangan yang sesuai dengan semangat MBG: terjangkau, bergizi, beragam, dan berimbang.

Ikan Segar, Potensi dari Laut Sawu

Jika singkong tumbuh dari tanah, maka ikan merupakan hasil dari laut. Laut Sawu di selatan Ende bukan hanya hamparan perairan, melainkan sumber kehidupan yang sejak lama menopang keberlangsungan generasi. Pada wilayah ini, jala sederhana yang digunakan nelayan tidak hanya menghasilkan tangkapan ikan, melainkan juga menyimpan harapan bagi masa depan anak-anak yang sehat dan cerdas. Tongkol, kembung, tuna, cakalang, hingga ikan-ikan karang kecil merupakan kekayaan laut yang melimpah, namun sering kali belum dimanfaatkan secara optimal.

Ikan menyimpan kandungan gizi yang sangat signifikan. Daging ikan memiliki protein berkualitas tinggi yang mudah diserap tubuh, menjadikannya sumber pangan ideal bagi pertumbuhan anak. Lebih dari itu, ikan kaya akan asam lemak omega-3 yang berperan penting bagi perkembangan otak, pemeliharaan fungsi penglihatan, serta peningkatan konsentrasi belajar. Tidak mengherankan apabila berbagai penelitian gizi modern menempatkan ikan sebagai salah satu komponen utama dalam membangun generasi cerdas dan sehat.

Selain itu, ikan juga mengandung vitamin D yang penting bagi kesehatan tulang, kalsium untuk pertumbuhan, serta fosfor yang menjaga stabilitas energi tubuh. Manfaat tersebut menjadikan ikan memperoleh predikat "superfood" dalam literatur gizi modern. Berbagai kajian internasional bahkan menunjukkan konsumsi ikan secara rutin mampu menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, memperkuat sistem imunitas, serta meningkatkan ketahanan tubuh dalam menghadapi dinamika lingkungan.

Namun, realitas di rumah tangga masyarakat sering kali berbeda. Ketersediaan ikan melimpah di Laut Sawu tidak serta merta menjadikan anak-anak gemar mengonsumsinya. Ikan dianggap amis, berduri, serta kurang menarik dibandingkan dengan produk pangan olahan pabrikan seperti sosis dan ayam goreng cepat saji. Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk menghadirkan produk olahan ikan yang lebih ramah bagi anak-anak tanpa mengurangi kandungan gizinya.

Kombinasi yang Saling Menguatkan

Ketika dihadirkan bersamaan di meja makan, ikan dan singkong ibarat pasangan yang saling melengkapi. Singkong menyediakan energi, ikan menyediakan protein; singkong memberikan rasa kenyang, ikan memberikan kesehatan. Keduanya membentuk kombinasi yang harmonis, seakan tanah dan laut bersepakat menjaga manusia agar tetap mampu bertahan.

Ilustrasi sederhana dapat dilihat pada meja makan rumah tangga di Ende: sepiring nasi singkong hangat, semangkuk kuah bening berisi bakso ikan, ditambah tumis daun kelor dari halaman rumah, dan buah pepaya manis dari kebun. Menu sederhana ini sesungguhnya merupakan bentuk nyata pola konsumsi bergizi dan berimbang, meski lahir dari sumber pangan lokal yang sederhana.

Itulah inti dari MBG: Makanan Bergizi, Beragam, dan Berimbang. Prinsip ini tidak menuntut kemewahan ataupun ketergantungan pada pangan impor. MBG menunjukkan bahwa kesehatan dapat terwujud melalui kearifan lokal, melalui kemampuan masyarakat mengelola sumber daya yang tersedia. Laut dengan hasil ikannya, tanah dengan umbinya, kebun dengan pepayanya, serta halaman rumah dengan tanaman kelornya, semua merupakan ekosistem pangan yang berkesinambungan.

Di tengah meningkatnya ketergantungan masyarakat pada makanan instan, pola konsumsi MBG berbasis pangan lokal menjadi pengingat bahwa kesehatan tidak harus datang dari luar. Solusi sesungguhnya telah tersedia di tanah sendiri, tinggal bagaimana kita mengolah dan menghadirkannya secara tepat di meja makan keluarga.

Tantangan dan Inovasi Pangan Lokal: Menjawab Kebutuhan Generasi Muda

Walaupun kaya manfaat, singkong dan ikan menghadapi tantangan dalam penerimaan generasi modern. Anak-anak sering menolak singkong rebus karena dianggap sebagai pangan tradisional yang kuno, identik dengan kampung dan keterbatasan. Demikian pula ikan segar, meski kaya nutrisi, kurang diminati karena dianggap amis, berduri, atau kalah menarik dibandingkan produk olahan pabrikan yang lebih praktis. Persoalan ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana cara menghadirkan pangan lokal dalam bentuk yang bergizi sekaligus menarik bagi generasi muda.

Solusinya terletak pada inovasi. Singkong dan ikan merupakan bahan pangan yang fleksibel untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk. Singkong, misalnya, dapat diolah menjadi nasi singkong, berupa butiran menyerupai beras yang dimasak menggunakan rice cooker, sehingga mudah diterima dalam pola konsumsi modern. Dengan demikian, singkong tidak lagi dipandang sebagai pangan darurat, melainkan sebagai bagian dari menu harian keluarga.

Selain itu, singkong dapat dikembangkan menjadi mie singkong, yang lebih sehat karena rendah gluten dan dapat menjadi alternatif mie instan. Dengan inovasi pengemasan yang menarik dan bumbu variatif, mie singkong berpotensi masuk ke pasar sekolah maupun rumah tangga perkotaan. Tepung singkong juga dapat diolah menjadi roti, kue, atau camilan yang sesuai dengan selera anak-anak.

Demikian pula dengan ikan. Potensi laut dapat dikembangkan menjadi bakso ikan dengan tekstur lembut dan rasa gurih, sosis ikan yang praktis untuk bekal sekolah, nugget ikan berbentuk menarik seperti bintang atau hewan laut, serta abon ikan yang dapat dijadikan lauk kering serbaguna. Semua olahan ini lebih ramah terhadap anak-anak, sekaligus tetap mempertahankan kandungan gizi tinggi dari ikan.

Dengan adanya inovasi semacam ini, singkong dan ikan tidak lagi terbatas pada label "pangan kampung". Sebaliknya, keduanya dapat naik kelas menjadi pangan modern yang diterima pasar perkotaan, bahkan mampu bersaing dalam industri kuliner nasional. Hal ini menjadi bukti bahwa pangan lokal, jika dikelola dengan baik, tidak kalah bersaing dengan produk impor, sekaligus menjadi identitas kuliner dan solusi gizi bagi generasi muda.

Penutup: Kembali ke Dapur Tradisional dengan Pendekatan Modern

Pada akhirnya, pangan bukan hanya persoalan pemenuhan kebutuhan energi, tetapi juga menyangkut identitas budaya. Singkong rebus dan ikan bakar selalu mengingatkan pada dapur ibu: sederhana, hangat, dan sarat makna. Tantangannya kini adalah bagaimana menghadirkan cita rasa tradisi tersebut dalam bentuk yang lebih modern agar tetap relevan bagi generasi muda.

Apabila MBG adalah jalan menuju masyarakat sehat, maka singkong dan ikan merupakan modal utama untuk mencapainya. Keduanya dapat tetap hadir dalam bentuk tradisional, seperti rebusan dan bakaran, atau bertransformasi menjadi nasi singkong, nugget ikan, hingga brownies singkong yang lebih modern.

Pesan yang tersirat jelas: gizi terbaik tidak selalu berasal dari luar negeri, tetapi justru dari tanah yang kita pijak dan laut yang kita pandang setiap hari. Ende memiliki keduanya, tinggal bagaimana masyarakat mengolah dan memanfaatkannya secara cerdas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun