Mohon tunggu...
Pandawa
Pandawa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Paradoks Tax Amnesty, Reksadana dan Pungutan OJK

2 November 2016   22:32 Diperbarui: 2 November 2016   22:55 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kebijakan Tax Amnesty yang dijalankan Presiden Joko Widodo boleh dibilang cukup berhasil. Menyimak  laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sampai akhir September 2016, nilai pernyataan harta deklarasi dan repatriasi mencapai Rp 3.540 triliun dan uang tebusan Rp 97,1 triliun. Ini merupakan salah satu program tax amnesty paling sukses di dunia, mengalahkan Italia, Chili, Jerman dan India, begitu Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi berseloroh.

Mudiknya trilunan rupiah dana warga negara ke dalam negeri ternyata cukup menguntungkan pengelola dana di Indonesia. Sejumlah perusahaan pengelola dana alias aset manajemen kebanjiran dana.  Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per 30 September 2016 mencatat, total dana kelolaan reksadana mencapai Rp 350,55 triliun. Sementara di bulan Juli 2016, dana kelolaan reksadana baru Rp 305,69 triliun.

Namun, lonjakan dana repatriasi tersebut tak dinikmati sepenuhnya oleh seluruh pengelola dana. Justru mayoritas aset manajemen tetap sulit bersaing untuk menaikkan nilai aktiva bersih (NAB) -nya. Puluhan perusahaan pengelola dana kini malah megap-megap lantaran beban biaya yang semakin mahal.

Seorang manajer investasi bercerita, persaingan di industri pengelola dana sangat-sangat ketat. Masing-masing perusahaan berlomba untuk memberikan servis dan biaya terbaiknya.

Nah, terkait dengan soal biaya itulah yang kini membuat pusing puluhan manajer investasi. Dengan dana kelolaan yang semakin menipis, pelaku usaha mesti mengeluarkan biaya yang semakin mahal kepada OJK sebagai regulator. Pungutan oleh OJK ini didasarkan pada Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK yang dikeluarkan pada 12 Februari 2014.

Sesuai Peraturan OJK (POJK) Nomor 3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK serta Surat Edaran yang dikeluarkan Nomor 4/SEOJK.02/2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan OJK, mulai tahun 2015, besaran fee yang mesti dibayarkan perusahaan aset manajemen semakin mahal. Berdasarkan aturan itu, manajer Investasi dikenakan minimal 0,045% dari dana kelolaan atau Rp 10 juta pada 2015, meningkat dibandingkan 0,03% dari dana kelolaan atau Rp 6,6 juta pada 2014.


Seorang Teman di salah satu aset manajemen berkisah, dengan pengenaan management fee kepada investor untuk pengelolaan reksadana terproteksi sebesar 0,1%, hampir separuh dari fee tersebut digunakan untuk membayar pungutan ke OJK.

Tak pelak dengan beban seperti ini sulit bagi pengelola dana di level menengah dan bawah untuk bersaing. Yang terjadi, banyak perusahaan aset manajemen hanya berusaha untuk bertahan. Apalagi dengan membayar pungutan yang demikian mahal ke OJK, imbal balik yang dinikmati oleh pengelola dana juga tak seberapa. Fee yang harus dibayarkan ke OJK tersebut bahkan jauh lebih besar daripada nominal pajak perusahaan yang harus dibayarkan kepada negara.

“Teman-teman juga banyak yang mengeluh. Kita sudah bayar mahal pungutan, tapi  peran OJK untuk memperluas basis investor dan memperkuat industri ini hanya sekadar janji dan basa-basi. Justru gaya hidup di OJK yang semakin mewah dan wah, setelah biaya pungutan naik,” kata si Teman.

Tidak hanya gemar mengadakan kegiatan seremonial yang menghabiskan duit banyak, para pejabat di OJK saat ini juga keranjingan dengan gaya hidup yang hedon. Meeting-meeting yang diadakan oleh OJK selalu mempergunakan fasilitas hotel bintang lima, bahkan terkadang sampai menginap demi mendapatkan uang saku dan uang rapat.

Selain itu pemborosan dana dari industri ini juga dilakukan oleh para pejabat OJK, salah satu buktinya, meski masa jabatan para komisioner seyogyanya adalah lima tahun, namun di awal tahun keempat mereka telah berganti banyak fasilitas. Salah satu contohnya adalah kendaraan dinas yang kini berganti menjadi Mercedes Benz E400 baru, walaupun pada saat mereka baru menjabat, para komisioner itu telah diberikan kendaraan baru BMW 530i di tahun 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun