Memang berjalan kaki kala itu sangat mendukung terbangunnya sikap ramah antarorang. Baik saat orang ke ladang, ke sungai mau mandi atau mencuci, ke pasar, anak-anak ke sekolah, maupun orang mau ke mana.
Tak hanya orang berpapasan atau bertemu di jalan, bertemu dengan orang yang berada di rumah, misalnya, di halaman rumah sedang menyapu, mencuci di sumur, atau beraktivitas lain, tegur sapa selalu ada.
Tentu dalam semua itu tak hanya tegur sapa bersifat verbal yang keluar dari mulut. Tapi, tutur yang sopan dan perilaku yang santun menyatu. Sehingga, yang terwujud adalah relasi yang saling menghormati dan menghargai. Inilah sikap ramah antarsesama yang tampak kala itu.
Efeknya, sekalipun seseorang masih usia anak sudah berani bertanya, memberi tahu, bertemu dengan orang lain, atau saat di sekolah berani menjumpai guru di kantor saat istirahat karena ada keperluan.
Hal seperti ini menjadi tanda bahwa anak termaksud sebagai pribadi yang komunikatif. Sebab, ia tak hanya dapat mengomunikasikan maksudnya kepada orang lain. Tapi, juga memiliki kepercayaan diri dan keberanian membangun relasi.
Dalam semua ini menjelaskan bahwa kultur hidup ramah yang sudah ada dalam keluarga dan masyarakat membentuk anak menjadi pribadi yang komunikatif. Hanya, sekali lagi, itu dulu.
Kini, pada abad ke-21, yang di antaranya membutuhkan kemampuan komunikatif, masyarakat --yang di dalamnya ada orangtua, anak, dan banyak orang-- sudah seharusnya tetap menjaga kultur ramah dalam membangun relasi dalam masyarakat.
Kalau realitanya kini kultur semacam ini sudah menipis --untuk tak menyebut dengan kata "menghilang"-- sekurang-kurangnya di dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan sekolah kultur ramah digiatkan. Kini tak sedikit antartetangga saja tak saling mengenal. Baik ini dialami oleh orang dewasa maupun anak.
Apalagi rerata gawai sudah merenggut mereka dari pergaulan. Kenyataan ini sangat tampak di kalangan anak. Yang, pada masa kecil, saya bermain bersama teman sepergaulan pada sore hari seperti kewajiban, kini anak beralih bergaul dengan gawai masing-masing.
Saking bergaul begitu kuat dengan gawai, saat orangtua mengundang untuk meminta bantuan karena aktivitas yang dilakukan membutuhkan pertolongan, tak mudah terwujud. Sebab, konsentrasi anak sudah tumpah ruah ke gawai.
Hal yang seperti ini diakui oleh banyak orangtua. Pengakuan yang sering saya temukan adalah saat di sekolah ada pertemuan dengan orangtua/wali murid. Rerata mereka mengatakan bahwa anaknya di rumah lebih banyak menggunakan waktu untuk memegang gawai.