Beberapa kali saya melihat ada orangtua yang mengendarai motor mendorong anaknya yang menaiki sepeda atau pit saat bersekolah. Anak tak perlu mengayuh. Tapi, pit sudah meluncur cepat di atas jalan.
Sementara itu, saya juga dapat melihat ada anak yang menaiki pit saat bersekolah dengan mengayuh sendiri. Saya sering beriringan dengan anak ini. Ada juga anak lain yang sama, yaitu mengayuh pitnya ketika bersekolah.
Beberapa di antara mereka ada yang berstatus murid di sekolah tempat saya mengajar. Baik anak yang bersepeda didorong oleh orangtuanya yang mengendarai motor maupun anak yang bersepeda dengan mengayuh sendiri.
Perihal ini, khususnya tentang anak yang bersepeda didorong oleh orangtuanya yang mengendarai motor, memang belum pernah dijelaskan kepada murid. Sebab, yang menjadi fokus penting bagi sekolah adalah murid pergi-pulang sekolah menaiki pit.
Kalau murid sudah menaiki pit berarti tak ada yang perlu dijelaskan kepada murid. Toh, mereka sudah memenuhi aturan sekolah, yaitu pergi-pulang sekolah menaiki pit. Jadi, sudah beres.
Perihal ada murid yang bersepeda didorong oleh orangtuanya yang mengendarai motor sehingga murid tak perlu mengayuh, tapi pit sudah meluncur cepat, belum menjadi topik penting yang dibicarakan oleh pihak sekolah.
Tapi, saya, secara pribadi, tertarik mempergumulkannya. Akhirnya, jatuh pada sebuah kesimpulan bahwa sebaiknya anak mengayuh sendiri pitnya saat bersekolah atau saat dalam aktivitas yang lain. Tak perlu orangtua intervensi dengan cara mendorongnya.
Sebab, saat orangtua yang mengendarai motor mendorong anaknya yang menaiki pit, jelas dalam posisi berjajar. Sehingga, dalam posisi seperti ini akan memenuhi sebagian ruas jalan. Padahal, ada pengendara lain yang membutuhkan ruas jalan yang sama.
Tentu saja keadaan demikian akan mengganggu pengendara lain. Yang, seharusnya perjalanan mereka lancar, menjadi terhambat karena sebagian ruas jalan terhalang.
Dalam kondisi terhambat, sebagian besar orang yang menempuh perjalanan, umumnya, kurang nyaman. Sebab, durasi waktu dalam menempuh perjalanan sudah ditentukan. Karenanya, sangat mungkin mereka akhirnya memacu kendaraan lebih cepat dan ini sangat berbahaya.
Pun berbahaya saat anak menaiki pit didorong oleh orangtua yang mengendarai motor. Sebab, pit melaju lebih cepat, tak seperti melajunya saat anak mengayuh sendiri.
Berbahayanya adalah kalau ada bagian pit yang aus, misalnya, tetiba rantai putus. Anak dapat mengalami kecelakaan. Ngeri, bukan?
Selain itu, hal yang justru sangat prinsip yang terkait langsung dengan kepentingan mengedukasi anak telah diabaikan oleh orangtua. Sebab, anak yang seharusnya dipahamkan secara benar sebagai pemakai jalan umum, tak dilakukan oleh orangtua.
Justru sebaliknya orangtua bersama anak melakukan perilaku yang kurang benar sebagai pemakai jalan umum. Peraturan yang seharusnya ditaati, malah dilanggar bersama dengan mengabaikan pemakai jalan yang lain.
Dalam hal ini tak ada edukasi agar anak menjadi pengguna jalan umum yang tertib. Padahal, edukasi ini sangat penting dan mendesak. Sebab, kini, pengendara di jalan umum semakin banyak dari hari ke hari.
Edukasi yang diterapkan sejak dini, katakanlah, misalnya, mengenai menggunakan jalan umum secara benar, akan memberi kontribusi positif terhadap kenyamanan dan keamanan di jalan. Tentu efeknya akan dirasakan oleh banyak orang.
Dan, edukasi yang diterapkan sejak dini, oleh sebagian besar orang, diyakini lebih menindas dalam diri anak. Sehingga, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan, bahkan menjadi budaya dalam keberlangsungan hidup mereka selamanya.
Dalam upaya ini akan tampak peran orangtua sebagai pendidik life skill bagi anaknya. Orangtua berhasil membentuk karakter anak terkait dengan kecerdasan emosi dan sosial, sekalipun dalam hal menjadi pribadi yang cerdas menggunakan jalan umum.
Siapa yang menolak melihat kenyataan seperti ini? Rasanya semua orang tak ada yang menolak alias mau melihatnya. Toh, seperti sudah disebut di atas, kenyamanan dan keamanan di jalan umum akan dirasakan bersama.
Tambahan lagi, edukasi bagi anak mengenai spirit berjuang, yang saat ini masih menggema karena aroma peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), telah dilupakan oleh orangtua.
Orangtua mungkin kurang menyadari bahwa ketika anak yang menaiki pit didorong, tanpa mereka mengayuh sendiri, membentuk anak menjadi pribadi yang bergantung.
Padahal, cara hidup bergantung ini yang seharusnya diubah menjadi cara hidup mau berusaha sendiri atau mandiri. Sebab, tak mungkin anak hidup dalam kebergantungan terhadap orang lain.
Semakin besar, anak harus mulai dapat mandiri. Meskipun dalam proses yang soft, yaitu sedikit demi sedikit.
Kemandirian ini harus dibentuk sejak dini karena tak dapat tetiba muncul dengan sendirinya saat dewasa. Caranya, dapat dilakukan dari aktivitas anak sehari-hari.
Termasuk, misalnya, aktivitas anak bersepeda saat bersekolah. Dari sini anak dapat diedukasi mengenai kemandirian, yang diawali dengan semangat berusaha atau berjuang.
Karenanya, memotivasi anak agar bersemangat mengayuh sendiri pit yang dinaiki merupakan cara yang cerdas, yang semestinya ditempuh oleh orangtua. Hal ini mungkin dianggap sepele. Tapi, orangtua dapat memanfaatkannya untuk mengedukasi anak bahwa hidup itu memang perlu berjuang supaya mencapai kemandirian.
Mengayuh sendiri pit yang dinaiki membutuhkan energi. Dan, anak harus melakukannya sendiri. Sebab, jika dihayati, setiap energi untuk mengayuh pit adalah spirit anak dalam meraih cita-citanya.
Kalau spirit itu kemudian diabaikan oleh orangtua, anak merugi. Orangtua juga merugi. Bahkan, lebih luas lagi, bangsa dan negara juga merugi sebab generasi penerus yang dimiliki adalah generasi yang bergantung.
Memang ada rasa khawatir orangtua kala anak baru kali pertama menaiki pit saat bersekolah. Apalagi, misalnya, jalan menuju ke sekolah ramai, banyak orang berkendara, baik mengendarai motor maupun mobil.
Hanya, mendorong anak yang menaiki pit dalam kecepatan yang menyamai kecepatan motor yang dikendarai oleh orangtua lebih berbahaya ketimbang anak mengayuh sendiri pit yang dinaiki.
Toh, dalam cara ini orangtua tetap dapat mengikuti anak dari belakang sembari mengawasi dan kalau diperlukan juga mengarahkan. Sehingga, anak tetap dalam pantauan dan perlindungan.
Namun, anak masih memiliki spirit dalam mengayuh pit. Saat memandangnya, orangtua tak perlu merasa kasihan. Sebab, memang seperti ini anak perlu dididik. Ada kalanya anak berlelah-lelah. Tapi, ada kalanya bersuka-suka.
Bukankah keberlangsungan hidup yang riil juga seperti ini? Kadang perlu berusaha keras. Kadang juga sedikit berleha-leha.
Kondisi yang demikian anak sudah harus mengalaminya sejak dini, yang tentu dalam konteks untuk kebutuhan tumbuh kembang anak.
Cara ini tak akan merugikan, baik bagi anak maupun orangtua, juga bangsa dan negara. Sebab, orangtua menyiapkan anak untuk memasuki hidup yang riil. Yang, pasti dihadapi anak, kini dan kelak.
Sehingga, ada tantangan seberat apa pun yang menghadangnya, anak akan menghadapinya dengan gagah berani. Sekalipun, dalam kondisi ia sendirian.
Sebab, sekali lagi, ia sudah mendapat "pelatihan" melalui aktivitas sehari-hari. Di antaranya melalui aktivitas bersepeda (ke sekolah) dengan mengayuh sendiri, tanpa intervensi orangtua yang mengendarai motor sembari mendorongnya.
Sekalipun, seperti sudah disebut di atas, orangtua masih dapat mengikuti dari belakang, mengawasi, dan kalau dibutuhkan mengarahkan, khususnya bagi anak yang baru kali pertama menaiki pit saat bersekolah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI