Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Proyek Ecoprint bagi Siswa, Wadah Menggagas Lingkungan Sustainable

4 Februari 2024   12:10 Diperbarui: 5 Februari 2024   00:35 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1: Siswa sedang menata atau memola daun di kain saat membatik dengan teknik ecoprint. (Dokumentasi pribadi)

Siswa adalah generasi penerus yang akan melanjutkan estafet pembangunan di semua bidang kehidupan, termasuk bidang lingkungan. Apalagi pangan, sandang, dan papan, yang menjadi kebutuhan pokok manusia, bersumber dari lingkungan.

Maka, sangat penting bagi sekolah mengajak siswa mencintai lingkungan. Cara yang dapat ditempuh dalam keterlibatan jumlah banyak siswa salah satunya adalah melalui pembuatan batik ecoprint.

Pembuatan batik ecoprint dipilih oleh sekolah, tempat saya mengajar, untuk menguatkan pembelajaran proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), yang (memang) diamanatkan di dalam Kurikulum Merdeka.

Ecoprint adalah teknik cetak yang memanfaatkan bahan alami atau bahan ramah lingkungan dengan media tertentu, misalnya, kain dan kertas. Kini, pembuatan batik ecoprint banyak dipraktikkan di banyak sekolah terkait dengan pembelajaran P5.

Di sekolah kami, proyek pembuatan batik ecoprint, sesuai dengan program sekolah, dilakukan oleh siswa Kelas 8. Saat catatan ini mulai ditulis, P5 topik pembuatan batik ecoprint oleh siswa Kelas 8 masih berlangsung. Siswa antusias dalam mengikuti aktivitas ini.


Mulai dari pengenalan teknik ecoprint, alat dan bahan yang digunakan, sampai cara kerja yang harus dilakukan, siswa mengikutinya dengan sukacita dan terlihat tanpa bosan.

Hal tersebut boleh jadi karena sekolah mendatangkan narasumber, yang notabene pelaku usaha industri batik ecoprint. Sosok baru bagi siswa. Kebetulan tempat usahanya pun dekat dengan lokasi sekolah kami sehingga tak sulit menghadirkannya di sekolah.

Kecuali memang, topik pembuatan batik ecoprint ternyata tak terlalu sulit diikuti oleh siswa. Juga menarik karena hal baru. Sehingga, sekalipun membutuhkan banyak energi, baik fisik maupun pikiran, siswa tetap antusias.

Yang menarik adalah ketika kami dapat melihat siswa terlibat langsung dalam pembuatan batik ecoprint. Siswa menyiapkan berbagai daun beserta tangkainya, yang diambil dari lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.

Karena penjelasan, mereka pun mengetahui bahwa tak setiap daun memiliki potensi baik untuk batik ecoprint. Daun yang menghasilkan warna yang kuat, tak terlalu tipis, dan pun tak terlalu tebal, baik untuk bahan batik ecoprint. Misalnya, daun jati, daun kersen, daun belimbing, dan daun jambu biji.

Proses memola daun dan meletakkan daun di kain bahan ecoprint, siswa melakukannya dengan dipandu oleh narasumber. Begitu pun proses-proses berikutnya, hingga jadi batik ecoprint, siswa mengikutinya.

Ini termasuk daya tarik bagi siswa. Sebab, siswa tak hanya tahu tiba-tiba ada batik ecoprint di hadapannya. Tapi, proses dari awal, mereka juga mengikutinya dan mempraktikkannya langsung.

Ilustrasi 2: Siswa mengikat gulungan kain yang di dalamnya sudah ada daun yang ditata berpola. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Siswa mengikat gulungan kain yang di dalamnya sudah ada daun yang ditata berpola. (Dokumentasi pribadi)

Hal yang sangat menggembirakan tentu saja karena topik pembuatan batik ecoprint, tak hanya membersamai siswa agar mereka memiliki keterampilan cetak.

Tapi, lebih daripada itu, mendidik siswa untuk mengenali lingkungan yang ternyata memiliki banyak manfaat bagi kebutuhan hidup (manusia).

Melalui proyek ecoprint, misalnya, siswa akhirnya mengetahui tentang bahan alami, khususnya banyak jenis daun --ini yang dilakukan di sekolah kami-- yang ternyata dapat digunakan untuk membatik dengan teknik ecoprint.

Dan enaknya, banyak jenis daun tersebut dapat ditemukan di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka berani kotor, (akhirnya) juga mengenal getah tanaman, mungkin juga menjumpai ulat dan cara menghindarinya agar tak membikin gatal di tubuh.

Ini poin penting, yang akhirnya dimiliki oleh siswa. Yaitu, pengalaman belajar yang dapat langsung bersentuhan dengan alam dan lingkungannya. Bahkan, memanfaatkan alam yang berada di sekitar mereka untuk aktivitas yang produktif.

Sekalipun harus diakui bahwa sebelum terlibat dalam proses pembuatan batik ecoprint pun, mereka sudah mengerti kemanfaatan alam.

Tapi, melalui proses membatik dengan teknik ecoprint, siswa memiliki keterampilan yang dapat membuka ruang kreatif dan inovatifnya terkait dengan pemanfaatan bahan alami.

Memang kami tak berharap (terlalu) banyak bahwa semua siswa yang ambil peran di proyek pembuatan batik ecoprint, sejumlah lebih kurang 266 anak, akan memiliki ketertarikan terhadap teknik ecoprint.

Ini jelas tak mungkin. Sebab, setiap siswa memiliki kekhasan, yang harus dihargai. Ada yang mungkin mau memperdalam membatik dengan teknik ecoprint. Tapi, mungkin ada yang memilih yang lain.

Tapi, sekurang-kurangnya, kami sudah mengajak lebih kurang 266 siswa mengenal alam dan lingkungannya yang harus dihargai karena memiliki fungsi penting untuk kelangsungan hidup yang berkelanjutan, baik bagi tumbuhan, hewan, maupun bagi dirinya sendiri.

Proses pendidikan memang tak selalu memberikan hasil seperti yang diharapkan, yaitu hasil maksimal. Tapi, sebuah keyakinan perlu dibangun bahwa dari, katakanlah, lebih kurang 266 siswa yang berproses dalam ecoprint, pasti ada yang tertarik.

Ada satu (saja) dari sejumlah besar siswa yang disebutkan di atas yang mau melanjutkan keterampilan membatik teknik ecoprint, sekolah sudah dapat dikatakan berhasil.

Berhasil mengajak siswanya menghargai lingkungan alam. Berhasil juga memberi masa depan siswanya menjadi pelaku usaha industri kreatif, yang bukan mustahil (dapat) membawa banyak orang bergerak di bidang lingkungan alam yang (benar-benar) sustainable.

Sebab, pembuatan batik ecoprint --kita mengetahuinya-- membutuhkan bahan alami, yang memang harus terus diperbarui dari waktu ke waktu oleh pengelola alam, misalnya, pengelola di bidang pertanian, industri pertanian, dan kehutanan.

Tapi, setiap orang pun memiliki tanggung jawab ini, dari rumah tangga, komunitas, sekolah, pondok pesantren, lembaga-lembaga agama, hingga lembaga pemerintah dan swasta.

Dengan begitu, selain alam terus terjaga, alam juga termanfaatkan secara terukur. Sehingga, terjadi siklus yang terus bergerak, yang tanpa ada perusakan alam meskipun ada pemanfaatan (alam) demi merawat kelangsungan hidup.

Fesyen ecoprint

Batik ecoprint hasil pembelajaran P5 langsung dimanfaatkan untuk pertunjukan fesyen, yang dibawakan oleh siswa. Beberapa siswa dari perwakilan tiap kelas sebagai modelnya.

Ilustrasi 3: Siswa menjadi model dalam pertunjukan fesyen ecoprint. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 3: Siswa menjadi model dalam pertunjukan fesyen ecoprint. (Dokumentasi pribadi)

Mereka memiliki kebebasan mengenakan kain batik ecoprint tersebut. Sebab, batik ecoprint termaksud masih berupa lembaran kain alias belum dijahitkan.

Sekalipun begitu, siswa yang mewakili kelasnya menjadi model fesyen batik ecoprint terlihat menikmatinya. Berlenggak-lenggok dengan merentangkan kain batik. Atau, membebatkan kain batik tersebut di tubuhnya dan mengombinasikannya dengan pakaian yang sudah dikenakan.

Pertunjukan fesyen berlangsung di lapangan, yang areanya sangat luas. Para model dapat dengan leluasa memperlihatkan kain batik ecoprint yang dikenakannya kepada siswa lain yang menjadi penonton.

Pertunjukan fesyen tersebut menjadi momen pameran hasil kerja siswa. Sekaligus wujud apresiasi dan bersama merayakan keberhasilan.

Tambahan, guru-guru, khususnya yang ibu-ibu, juga turut pertunjukan fesyen. Mereka melakukannya di lapangan, sama persis seperti siswa, berlagak model beneran. Bersama siswa mengekspresikan keberhasilan.

Ilustrasi 4: Guru juga menjadi model dalam fesyen ecoprint. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 4: Guru juga menjadi model dalam fesyen ecoprint. (Dokumentasi pribadi)

Di dalam semua itu, sekecil apa pun, kami, atau sekolah tepatnya, sudah ikut mengampanyekan sikap menghargai --dalam arti menjaga, merawat, dan memanfaatkan-- alam bagi siswa, sebagai generasi penerus kehidupan, melalui proyek pembuatan batik ecoprint.

Dan, siswa kami (sangat mungkin) akhirnya memahami bahwa alam dan lingkungannya, ternyata menyediakan banyak materi. Bahkan, hanya melalui daun pun, tak hanya dapat melahirkan makanan dan minuman, tapi juga fesyen, ecoprint, yang digandrungi oleh siapa pun dari kalangan bawah hingga atas. Menghidupkan ecoprint (sekalipun di kalangan siswa), menghidupkan lingkungan sustainable!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun