Pertama, anak-anak dapat terbangun sikap empatinya. Mereka mau tidak mau akhirnya mengontrol diri ketika berada dalam situasi melayat. Kalau biasanya di kelas mereka bersenda gurau, saat dalam suasana melayat tentu tenang, merasa sedih, dan merenung. Bersikap santun terhadap orang-orang yang dijumpainya.
Kedua, Â bukan mustahil dalam suasana melayat dan melihat temannya sedih, akhirnya muncul sikap memberikan semangat kepada temannya itu. Dalam konteks demikian, mendidik mereka menjadi lebih dewasa bukan? Hukum memberi dan menuai lahir dalam keadaan tersebut. Mereka memberi motivasi (untuk temannya), sekaligus mendapatkan kedewasaan (bagi dirinya).
Hal yang amat fundamental bagi dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, aktivitas melayat tersebut dapat mendidik mereka menjadi pribadi yang semakin menyadari bahwa kehidupan diakhiri dengan kematian. Maka, sudah seharusnya dalam keberlangsungan hidupnya diisi dengan kebaikan dan semangat.
Untuk bisa sampai ke kesadaran yang seperti itu, tentu guru memiliki peran pokok. Maka, penting kiranya selesai aktivitas melayat bersama diisi dengan kegiatan refleksi di sekolah, yang dipimpin oleh guru. Dengan begitu, aktivitas melayat bersama memiliki dampak moral dalam diri siswa.
Saya menulis ini bukan berarti saya sudah melakukannya terhadap anak didik saya. Bukan. Akan tetapi, tiba-tiba saat menulis artikel ini muncul ide mengembang ke arah ini. Oleh karena itu, saya patut mengajak diri saya sendiri untuk merealisasikan ide ini ketika, entah kapan dan di mana, saya menghadapinya bersama anak didik di sekolah. Anda bagaimana?