Salah satu poin dari enam poin penting dalam profil pelajar Pancasila adalah toleransi. Itu artinya, toleransi sangat penting bagi pendidikan anak-anak. Secara luas, bertoleransi tak boleh diabaikan dalam hidup bermasyarakat Indonesia.
Sikap saling menghormati dan menghargai di Indonesia justru begitu penting. Mengingat, Indonesia terdiri atas beragam suku, ras, agama, keyakinan, budaya, dan golongan.
Kalau tak ada toleransi yang kental dalam diri masyarakat Indonesia, sudah pasti sering terjadi perselisihan karena banyak perbedaan. Padahal, perselisihan selalu menyisakan korban, baik harta maupun jiwa.
Tentu tak ada satu pun orang yang merasa bahagia ketika ada korban. Karena, korban selalu menyedihkan, menyengsarakan, dan menyakitkan. Termasuk korban karena lemahnya toleransi.
Kalau begitu, sudah seharusnya dalam diri kita tertanam nilai-nilai bertoleransi. Tak ada yang dikecualikan, baik anak-anak maupun dewasa. Semuanya memiliki sikap toleran  yang dalam. Sehingga, nilai-nilai bertoleransi menjiwai hidup bermasyarakat.
Menanamkan bertoleransi sejak kanak-kanak, menurut saya, lebih efektif. Sebab, keadaan masa kanak-kanak masih "bersih", belum banyak pengaruh. Dan, umumnya "keinginan" Â kanak-kanak sangat besar.
Saya masih ingat betapa bersemangatnya si bungsu yang ketika itu masih kanak-kanak ingin melihat barongsai dan leang-leong (naga) saat Imlek. Di daerah kami, saat Imlek selalu ada pertunjukan barongsai dan leang-leong. Sayang, saat ini tak ada pertunjukan itu.
Penyebabnya, saya kira karena pandemi Covid-19 belum rampung. Dulu, sebelum pandemi, setidaknya dua pekan sebelum Imlek, di depan klenteng di daerah kami, sudah ramai orang berjualan pernik-pernik Imlek, terutama baju anak-anak.
Sangat menarik, termasuk menarik hati si bungsu, yang ketika itu merengek ingin dibelikan baju. Dan, kami membelikannya, baju Imlek, warna merah menyala. Si bungsu memakainya, seperti putri Cina. Hehehe!
Ini ingatan saya sebelum pandemi Covid-19, pertunjukan barongsai dan leang-leong di daerah kami tak selalu berhenti di satu tempat. Tapi, bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain. Kebetulan Klenteng yang ada di daerah kami, satu dengan yang lain tak terlalu jauh. Sehingga, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Oleh karena itu, sering pertunjukan barongsai dan leang-leong berangkat dari klenteng satu menuju ke klenteng satunya. Misalnya, dari Klenteng Hok Hien Bio, Jalan Ahmad Yani, Kudus, Jawa Tengah sampai ke Klenteng Hok Tik Bio, Tanjung, Jati, Kudus, Jawa Tengah.
Penonton yang berbaris di pinggir sepanjang jalan yang dilewati pertunjukan barongsai dan leang-leong begitu banyak. Saya tak pernah menghitungnya karena tak mungkin saya mampu menghitungnya. Dan, untuk apa sih menghitungnya. Hehehe.
Yang jelas, sangat banyak. Di antaranya ada anak-anak, yang jumlahnya boleh dibilang lebih banyak daripada orang dewasa. Anak-anak sangat tertarik karena pertunjukan barongsai dan leang-leong begitu gemerlap.
Lazimnya, anak-anak yang menyaksikan barongsai dan leang-leong tak sendiri. Mereka didampingi. Kecuali, mereka yang berumah  dekat dengan lokasi pertunjukan. Itu pun kadang masih bersama orang yang lebih dewasa, mungkin orangtuanya.
Keadaan tersebut, menurut saya, sangat efektif untuk menanamkan bertoleransi bagi anak-anak. Pada titik ini peran orang yang lebih dewasa (terutama orangtua) sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, mereka yang lebih dewasa (baca: orangtua) harus memiliki sikap toleran terlebih dahulu.
Rasanya tak mungkin ada "pendidikan toleransi" dari orangtua kepada anak kalau orangtua (sendiri) jauh dari sikap itu. Tapi, saya percaya kok, orangtua-orangtua Indonesia sangat kental dengan sikap toleran. Bukankah begitu?
Kalau masih ada intoleransi, yuk kita akhiri! Kita sudahi saja. Kita mesti lebih fokus terhadap anak-anak yang masih penuh semangat, ceria, dan cinta-mencintai. Kita mesti ingat masa depan mereka.
Kita pupuk jiwa dan mental mereka dengan pemandangan-pemandangan hidup bersama yang indah, damai, saling mengasihi, menghormati, menghargai, aman, dan tenteram. Agar, dalam kelangsungan hidup mereka ada semangat bersama dan cinta.
Hanya kita, orangtua, orang dewasa, yang bisa membuat anak-anak itu baik atau buruk. Mereka tergantung orangtua-orangtua dan orang-orang dewasa di sekitar mereka.
Kalau orangtua-orangtua dan semua orang dewasa di sekitar mereka, hidup berdampingan dan menjunjung tinggi nilai bertoleransi, sudah pasti jiwa dan mental anak-anak kaya toleransi.
Biarlah ketika kita sudah tak ada di antara mereka, mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain meskipun mereka berbeda suku, agama, ras, dan golongan. Betapa kita bahagia di alam baka (sana) ketika kita sudah meninggalkan bagi mereka hidup bergandengan tangan dengan sesama.
Maka, selama kita masih dianugerahi hidup bersama mereka, kita memberi yang terbaik bagi mereka. Melalui hal-hal sederhana yang menarik perhatian mereka, kita mendidiknya.
Ya, misalnya, ketika anak-anak mengajak orangtuanya menonton barongsai dan leang-leong, seperti si bungsu tatkala masih kanak-kanak mengajak saya. Orangtua dapat memanfaatkan pertunjukan tersebut untuk menanamkan nilai-nilai bertoleransi.
Karena, pada saat seperti itu, anak-anak bersemangat. Dalam suasana hati yang penuh semangat, harapan orangtua untuk menanamkan nilai-nilai, termasuk sikap toleran, lebih mudah.
Taruhlah misalnya, si anak selama ini hanya mengetahui dan mengenal takbiran karena ia sekeluarga pemeluk agama Islam. Lalu, ia ingin menyaksikan pertunjukan barongsai dan leang-leong. Bukankah saat itu, orangtua dapat bercerita banyak tentang barongsai dan leang-leong?
Dan, melewati itu, orangtua dapat mengajak anak untuk mengagumi pertunjukan barongsai dan leang-leong, menghargainya, dan bersikap baik serta hormat kepada pemeran dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Meskipun upaya itu terkesan sederhana, tapi sejatinya sudah menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak. Kalau cara-cara seperti itu terus dilakukan oleh orangtua terhadap anak secara konsisten, nilai-nilai toleransi terinternalisasi dalam hidupnya.
Kalau setiap orangtua di Indonesia memiliki kepedulian seperti itu terhadap anak-anaknya, tentu akan lahir generasi yang menghargai pluralitas. Toh, seperti sudah disebut di bagian lain cacatan ini, Indonesia memang majemuk.
Majemuk agamanya, budayanya, adat istiadatnya, sukunya, bahasa daerahnya, dan lain-lain. Oleh karena itu, Â menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak selain lewat menyaksikan pertunjukan barongsai dan leang-leong seperti telah dicontohkan, juga bisa lewat yang lain.
Misalnya, orangtua pemeluk Kristen menceritakan takbir, barongsai, leang-leong, Â sembahyang di pura, dan wihara. Sementara itu, orangtua keturunan Cina menceritakan kepada anaknya tentang tradisi ruwatan, syawalan, Â tradisi bakar batu, dan tradisi daerah lain.
Bahkan, mengajak anak menyaksikan secara dekat budaya, tradisi, dan adat istiadat komunitas lain dan memperbincangkannya, akan semakin menguatkan sikap anak dalam hal menghargai dan menghormati perbedaan, yang akan selalu ada di bumi nusantara ini. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI