Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Merangsang Anak Belajar Bahasa

24 Oktober 2019   13:13 Diperbarui: 25 Oktober 2019   19:42 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: familyfriendlyhq.ie

Itulah produk tulisan anak-anak zaman now, yang banyak inspirasi, yang kita beri kebebasan dalam menuangkan ide-idenya secara spontan. Mereka menggoreskan ide-idenya tanpa mengekor guru. Tanpa melihat contoh yang disediakan oleh guru. Tanpa juga meniru contoh yang sudah ada di buku.  

Membiarkannya "liar" menuliskan ide berdasarkan pengalaman-pengalaman sendiri akan merangsang kreativitas berbahasa mereka. Merangsang keberanian mereka mengungkapkan gagasan. Dan, ini titik penting yang mestinya ditumbuhkan oleh guru.

Kekhawatiran guru kalau anak-anak didiknya kebablasan dalam mengungkapkan gagasan, tidak perlu terjadi. Sebab, kekhawatiran itu umumnya diikuti pembatasan-pembatasan yang dapat membatasi kreativitas anak.

"Seliar" apa pun gagasan anak, tetap memiliki keterbatasan. Jadi, rasanya tidak mungkin gagasan anak-anak melewati batas keadaban masyarakat. Yang dimaksud gagasan dalam konteks ini adalah isi tulisan. Terkait dengan bahasa, justru sekreatif mungkin kita merangsangnya.

Akan tetapi, selama menjadi guru, saya belum dapat mewujudkan "keliaran" anak-anak berbahasa seperti yang saya gambarkan di atas. Sebab, selama menjadi guru Bahasa Indonesia, pikiran saya sudah dipenuhi kaidah-kaidah berbahasa. Bahkan, sejak kuliah rasanya.

Dan, saat menulis catatan ini, saya baru menyadari bahwa keberadaan kaidah-kaidah itu dapat membelenggu kreativitas berbahasa anak-anak. Sebab, pada dasarnya anak-anak lebih suka diberi kebebasan. Kaidah-kaidah berbahasa yang dikenalkan kepada mereka akan membatasi kreativitas berbahasanya.

Berikut ini ada contoh yang realistis. Saat jam Mapel Bahasa Indonesia, anak-anak diminta menulis satu kalimat oleh guru. Saat guru menemukan ada ejaan yang salah dalam kalimat yang ditulis seorang anak, yang biasa dilakukan oleh guru adalah menunjukkan kesalahan itu dan  memberi tahu seperti apa yang betul. 

Selanjutnya, anak tersebut dan anak-anak yang lain umumnya diimbau tidak lagi mengalami kesalahan serupa pada kesempatan yang lain.

Dalam contoh di atas,  guru (termasuk saya) sering kurang menyadari kalau tindakan itu dapat "mengganggu" emosi anak. Sangat mungkin pada kesempatan yang lain, anak tidak "seliar" yang dulu saat diminta untuk menulis lagi. 

Karena ada perasaan khawatir kalau mengalami kesalahan. Mereka akan sangat  berhati-hati saat menulis. Mulai mempertimbangkan salah atau benar. Dan, umumnya dalam kondisi seperti itu, gagasan tidak dapat keluar secara cepat alias tersendat-sendat.

Ada yang dapat kita gunakan sebagai analogi. Barangkali kita pernah melihat atau memergoki anak yang sedang berbicara begitu lancar, entah ketika ia disuruh atau berbicara atas kemauannya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun