Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tiga Jenis Nikah Siri

29 Oktober 2014   11:29 Diperbarui: 4 April 2017   17:23 55005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414531680913949229

[caption id="attachment_370189" align="aligncenter" width="461" caption="ilustrasi : www.konsultasisyariah.com"][/caption]

Dalam kehidupan masyarakat kita, ada praktek nikah siri, namun sekaligus ada banyak polemik tentang pernikahan seperti itu.

Secara sederhana, pengertian nikah siri adalah nikah yang disembunyikan atau dirahasiakan. Dalam prakteknya, pernikahan siri memiliki tiga bentuk. Pertama, disebut siri karena pernikahan tersebut dilaksanakan tanpa persetujuan wali (ayah) dari pihak perempuan. Pernikahan dilakukan secara rahasia (siri) karena pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena meyakini bahwa pernikahan tanpa wali sudah sah secara hukum fikih, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan syariat agama tentang wali.

Kedua, disebut siri karena pernikahan tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan resmi Negara, dalam hal ini KUA. Ada berbagai alasan yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di KUA. Sebagian karena faktor biaya, ini misalnya pada kelompok masyarakat yang memang teramat sangat miskin. Sebagian karena takut ketahuan melanggar aturan di instansi tertentu yang melarang seseorang menikah pada masa pendidikan atau masa prajabatan.

Sebagian karena kemendesakan waktu dan keadaan, dimana kedua belah pihak ingin segera menghalalkan hubungan, namun belum memungkinkan mengurus administrasi pernikahan secara legal formal. Sebagian karena pertimbangan kepraktisan, mengingat prosedur yang tidak sederhana untuk mengurus legal formal poligami, dan lain sebagainya.

Ketiga, disebut siri karena pernikahannya dirahasiakan dari publik disebabkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya karena menghindari stigma negatif dari masyarakat yang menganggap tabu menikah dengan mantan ‘perempuan nakal’, padahal ia sudah bertaubat, atau karena menghindari gosip yang tidak perlu karena pernikahan poligami, atau karena pertimbangan rumit lainnya yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Kerugian Nikah Tanpa Wali

Ketiga kondisi ini, dalam tinjauan syariat agama hukumnya bisa berbeda. Untuk pengertian pernikahan siri yang pertama, yaitu pernikahan yang tanpa wali dari pihak perempuan,para ulama telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Kendati ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang menikah tanpa wali ini, namun jika menilik dari kesakralan pernikahan, lebih layak bagi kita untuk memilih pendapat yang mewajibkan adanya wali.

Dengan adanya wali, maka pernikahan menjadi lebih bertanggung jawab. Nabi saw telah bersabda:

"Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali"  (riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad).

Nabi saw juga telah bersabda:

"Barangsiapa di antara perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya dinyatakan batal … Hal ini diucapkan Nabi hingga tiga kali" (riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Sedemikian penting keberadaan wali dari pihak perempuan ini, sehingga para ulama telah sangat panjang lebar membahasnya dalam berbagai kita fikih. Jika seorang wali telah memberikan restu pada perempuan untuk mengawinkan diri sendiri, namun dalam akad nikah wali tidak sempat hadir dalam majelis tersebut,  menurut sebagian fuqaha nikahnya tetap dinyatakan sah. Sedangkan, jumhur ulama mensyaratkan wali harus hadir dalam majelis akad nikah, sehingga apabila wali tidak hadir, akad nikah itu dianggap batal.

Namun demikian, wali juga tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan terjadinya pernikahan tanpa sepersetujuan anak perempuannya.

Dr. Musthafa As Siba'i memberikan penjelasan mengenai hal ini, “Imam Abu Hanifah –dan yang sependapat— mengatakan bahwa  ayah dan wali lain tidak mempunyai hak untuk meng-ijbar (memaksa) anak gadis yang sudah dewasa untuk menikah, dan wajib bagi ayah atau wali untuk mengajak musyawarah dengan anak gadis dalam pernikahannya. Jika si anak setuju, maka sah lah pernikahannya, jika tidak setuju maka pernikahan juga tidak sah. Ayah atau wali tidak mempunyai jalan untuk menekan dan memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dikehendaki si anak gadis".

Sebaiknyalah dan selayaknya perkawinan itu dilaksanakan setelah mendapat restu dari kedua belah pihak, yaitu restu ayah, ibu dan anak puteri itu sendiri. Dengan demikian perkawinan itu kelak tidak akan menimbulkan ekses negatif di kalangan keluarga dan masyarakat. Apalagi pernikahan itu disyari'atkan Allah untuk mendatangkan cinta  dan kasih sayang. Adanya wali dari pihak perempuan menjadi tuntutan syar’i untuk menjadikan pernikahan menjadi lebih bertanggung jawab.

Jika menikah tanpa meminta persetujuan wali, hal ini konteksnya bukan semata-mata hukum fikih tentang boleh dan tidak boleh. Namun lebih luas lagi karena menyangkut kebahagiaan dalam kehidupan keluarga. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi sakinahmawadah wa rahmah bisa didapatkan dari pernikahan tersembunyi seperti ini. Apalagi jika pernikahan dilakukan tanpa mempedulikan keberatan orang tua selaku wali yang resmi dan sah.

Kalaupun menggunakan pendapat fikih yang membolehkan menikah tanpa wali, ini pun hanya sekedar mendapat legalitas keabsahan pernikahan, namun tidak bisa menjamin kebaikan dan kebahagiaan hidup berumah tangga nantinya. Menikah bukan saja harus dilihat dari segi fikih, namun menikah juga peristiwa sosial dan budaya yang melibatkan dua keluarga besar, dan bahkan dua kebudayaan yang dibawa oleh kedua calon pengantin.

Kebahagiaan dalam kehidupan keluarga lebih bisa didapatkan dari pernikahan yang dilakukan dengan restu dan persetujuan semua pihak. Sulit dibayangkan sebuah keluarga yang hidup dengan jalan bersembunyi karena khawatir ketahuan oleh orang tua atau keluarga besar kedua belah pihak. Sampai kapan ketersembunyian itu bisa terjaga? Dalam dunia cyber saat ini, rasanya sangat sulit untuk bersembunyi. Semua mudah tampak dan kelihatan.

Nikah Secara Agama

Adapun pengertian pernikahan siri kedua, yakni pernikahan tidak dicatatkan pada KUA, sepanjang pernikahan tersebut memenuhi syarat dan rukun yang telah diatur syari’at, maka secara hukum agama pernikahan tersebut bisa dinyatakan sah. Misalnya saja, pernikahan disetujui dan dihadiri oleh ayah dari calon pengantin perempuan, dihadiri oleh dua orang saksi, ada ucapan ijab dan qabul, serta ada mahar. Pernikahan seperti ini sudah sah menurut hukum agama.

Namun pernikahan seperti ini berpotensi menimbulkan banyak komplikasi persoalan hukum terkait hak istri dan anak menurut aturan negara. Bila suami menelantarkan keluarga, misalnya tidak memberi nafkah kepada anak atau istri, maka tidak ada payung hukum untuk menuntut. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, menyatakan bahwa nikah siri mempunyai dampak tersendiri, khususnya bagi anak dan perempuan."Memang tidak berdampak secara langsung. Tapi, berbahaya bagi anak dan perempuan," ungkap Amidhan.

MUI pernah mendiskusikan hal tersebut beberapa tahun silam. "Waktu itu diputuskan agar kawin siri diputihkan atau dilaporkan," lanjutnya. Amidhan menjelaskan, nikah siri sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang ada, namun akan diatur secara lebih tegas lagi.

Meskipun pernikahan seperti ini sah secara agama, namun selayaknya dihindari karena bisa menimbulkan persoalan-persoalan rumit terkait hak yang tidak terlindungi oleh hukum negara. Misalnya ketika terjadi perceraian, maka tidak ada surat cerai karena mereka tidak memiliki surat nikah. Menurut hukum negara, mereka bukanlah suami istri karena tidak ada dokumen catatan pernikahan mereka, sehingga ketika bercerai, tidak bisa pula mengurus secara legal. Perhatikan, bagaimana nasib istri dan anak tatkala terjadi perceraian seperti itu?

Pada pengertian yang ketiga, bahwa pernikahannya dirahasiakan dari publik karena pertimbangan khusus, selama rukun dan syarat nikah secara agama terpenuhi, inipun sudah dianggap sah menurut agama. Apalagi jika sudah melibatkan KUA, maka bertambah kuat lagi keabsahannya menurut negara. Pada konteks ketiga ini, pernikahan dirahasiakan bukan karena tidak disetujui wali, atau bukan karena tidak mau mengurus legal formal ke KUA, namun lebih kepada pertimbangan publik. Mereka tidak ingin pernikahannya ketahuan oleh masyarakat luas dengan pertimbangan tertentu.

Hanya saja pernikahan siri seperti ini bisa memunculkan persoalan sosial, karena masyarakat tidak mengetahui pernikahan mereka. Ketika tetangga dan warga sekitar menyaksikan mereka selalu berduaan, akan memunculkan kecurigaan dan dugaan negatif. Maka sudah sepatutnya mereka melaksanakan prosesi walimatul ‘ursy atau pesta pernikahan, untuk memberitahukan kepada masyarakat luas tentang pernikahan tersebut.

Menikahlah Secara Agama dan Negara

Menilik tujuan pernikahan yang sangat sakral dan mulia, sudah semestinya pernikahan dilakukan dengan “resmi”, baik resmi secara syariat agama, dan resmi secara negara. Kecuali jika memang ada pertimbangan yang sangat mendesak sehingga pernikahan dilakukan secara siri dengan tetap memenuhi ketentuan agama dan negara. Seperti pada pengertian ketiga yang telah saya jelaskan di depan.

Menikah dengan bersembunyi, menandakan ada sisi kekhawatiran tertentu yang menyebabkannya harus disembunyikan. Padahal semua manusia memerlukan kebutuhan sosial. Ada status sosial yang diperlukan dalam kehidupan setiap orang. Misalnya seorang mahasiswi yang dinikahi secara siri oleh seseorang lelaki. Karena nikahnya siri, maka ia menyembunyikan identitas dirinya bahwa ia sudah menikah. Padahal dalam pergaulan di kampus, ia akan banyak berinteraksi dengan teman-teman uliah.

Mungkin saja ada lelaki yang menyukainya, lalu ia menggoda, dan bertanya, “Apakah kamu sudah punya pacar?” Ketika ia menjawab belum, maka lelaki ini bisa semakin semangat mendekatinya. Jika ia menjawab sudah, akan bisa ditanya, siapa pacarnya? Kondisi ini membuat situasi sulit yang harus dihadapi mahasiswi tersebut. Padahal ia juga memiliki kebutuhan untuk berbagi, sebagaimana anak-anak muda pada umumnya yang suka narsis. Namun ia terhalang untuk berbagi kebahagiaan, karena pernikahannya disembunyikan.

Menikah akan mencapai tujuan-tujuan mulia yang terkandung di dalamnya, apabila dilakukan secara baik dan benar. Dengan menggunakan tuntunan agama, dan memenuhi aturan negara, pernikahan akan lebih mudah mencapai suasana sakinah, mawadah wa rahmah, serta mendapatkan kebahagiaan yang melimpah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun