Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kesulitan Hidup Tidak Menghalangi Kita Merasakan Bahagia

7 Agustus 2012   23:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13443820841798827412

[caption id="attachment_205402" align="aligncenter" width="512" caption="ilustrasi - http://gethukmagetan.blogspot.com"][/caption]

Kadang orang berpikir, bahwa mereka akan bahagia apabila terhindar dari berbagai macam kesulitan hidup. Anggapan ini tidak seluruhnya benar, karena bahagia justru bisa hadir dengan nyata setelah kita melewati berbagai kesulitan.

Perhatikan saat kita berkendara di jalan raya. Ketika berhasil melewati suatu “kemelut” yang muncul akibat kemacetan berat, perasaan lega dan bahagia segera kita rasakan. Kita bisa merasa jengkel, bahkan marah, karena adanya kemacetan yang menghambat perjalanan. Namun dengan berbagai usaha yang kita lakukan, akhirnya kemelut itu berhasil kita lalui. Senang sekali rasanya.

Demikianlah, setelah kesulitan selalu terasakan adanya kemudahan. Puasa Ramadhan yang kita lakukan selama sebulan adalah sebentuk “kesulitan” tersendiri yang harus kita lalui dengan penuh kedisiplinan. Usai melewati Ramadhan, kita merasa sangat bahagia pada saat melaksanakan shalat Iedul Fithri. Saya bahkan membayangkan, rasa bahagia kita mungkin tidak akan terlalu besar, apabila shalat Iedul Fithri itu tidak didahului oleh puasa sebulan.

Lihatlah anak-anak yang mendapatkan hadiah karena menang dalam perlombaan, betapa bahagia hati mereka menerima medali penghargaan. Saya yakin mereka tidak akan bahagia walau diberikan medali dan piagam, namun tidak pernah mengikuti lomba apapun dan tidak pernah menang dalam kejuaraan apapun. Berbagai lomba tersebut adalah sebentuk “kesulitan” yang harus mereka lalui, karena ada kontestasi dan pengerahan potensi diri agar bisa memenangkan perlombaan tersebut.

Terbukti, Masyarakat Indonesia Paling Bahagia

Sering kita dengar betapa banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kesulitan. Masih banyak warga miskin, masih banyak dhuafa yang memerlukan bantuan, masih banyak anak-anak terlantar, masih banyak persoalan sosial yang kita hadapi dan belum mendapatkan pemecahan. Namun itu semua tidak menghalangi masyarakat Indonesia untuk merasakan kebahagiaan.

Ipsos, sebuah perusahaan riset global, melakukan jajak pendapat terhadap 18.687 orang dewasa di 24 negara, yang dilakukan pada 1 - 15 November 2011, mengenai kebahagiaan. Hasilnya cukup menakjubkan. Ternyata masyarakat Indonesia merasakan kebahagiaan paling besar dibandingkan warga negara lain di dunia. Sekitar 51% masyarakat Indonesia mengaku ‘sangat bahagia’. Rasio ini bahkan mencapai 92% bila digabungkan dengan responden yang menyatakan bahwa mereka ‘cukup bahagia’.

Sebagai perbandingan 22% dari warga di 24 negara umumnya mengatakan mereka ‘sangat bahagia’ dengan hidup mereka, dan delapan dari sepuluh warga (77%) menyatakan mereka ‘bahagia’.

Masyarakat Indonesia menjadi kelompok paling bahagia dari 24 negara yang disurvei dengan 51% dari warganya menyatakan mereka ’sangat bahagia’. Diikuti oleh India dan Meksiko dengan 43%, Brazil dan Turki dengan 30%, Australia dan Amerika Serikat dengan 28%. Beberapa negara hanya sedikit warganya yang  menyatakan mereka ‘sangat bahagia’, seperti Itali dengan 13%, Spanyol 11%, Rusia 8%, Korea Selatan 7% dan Hungaria 6%.

Salah satu hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa mereka yang sudah menikah (26%) merasa ‘sangat bahagia’, dan menjadi kelompok paling bahagia bila dibandingkan dengan semua kelompok demografis lainnya, terutama mereka yang belum menikah (18% ). Demikian hasil studi Ipsos sebagaimana ditayangkan dalam http://swa.co.id.

Memohon Kemudahan dalam Menghadapi Kesulitan Hidup

Sebagai manusia beriman, kita wajib selalu memohon pertolongan kepada Tuhan, agar mendapatkan kemudahan dalam menghadapi setiap kesulitan hidup. Berbagai persoalan kehidupan pasti menghadang, dan kita harus menghadapinya. Dengan doa dan usaha,  kita berharap akan mampu menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan dengan mudah dan mendatangkan kebaikan bagi langkah hidup berikutnya. Ini adalah sikap positif dalam menyongsong kesulitan hidup.

Maka tidak nalar ketika ada orang berdoa, memohon kepada Tuhan agar tidak mendapatkan masalah dalam kehidupan. Hidup itu sendiri identik dengan adanya persoalan dan kesulitan, sehingga yang harus selalu kita mohonkan kepada Tuhan adalah kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan setiap kesulitan tersebut dengan baik.

Jika anda akan berangkat haji, jangan berdoa agar tidak mendapatkan kesulitan selama di tanah suci. Mohonlah kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menghadapi setiap kesulitan yang muncul selama menunaikan ibadah haji. Jika anda berbisnis jangan berdoa agar tidak menjumpai kesulitan dalam mengelola bisnis, karena tidak mungkin ada bisnis tanpa persoalan dan kesulitan. Berdoalah agar diberi kemampuan menyelesaikan dan menghadapi berbagai persoalan bisnis dengan lancar sehingga membuat bisnis selalu berkembang sesuai harapan.

Dulu saya punya “sahabat” di kota Yogyakarta, seorang bapak tua penjual tape singkong keliling dengan sepeda kayuh. Hampir setiap hari ia lewat di depan rumah kontrakan saya, dan bahkan berhenti berlama-lama di depan rumah kontrakan, sampai saya keluar dan membeli tapenya. Saking seringnya bertemu, sampai saya sengaja mengunjungi rumahnya yang sangat sederhana di daerah Berbah, Sleman. Menilik kondisi rumahnya, penampilan dan usahanya, tampak kalau ia hidup dalam berbagai bentuk kesulitan.

Namun ia lebih sering bercerita tentang kebahagiaan yang dirasakan ketika ada “orang-orang penting” membeli tape singkongnya. Bukan bercerita tentang kegetiran hidup yang dialami. Mungkin karena kegetiran itu sudah dirasakan setiap hari, maka menjadi tidak berasa lagi. Seperti teman-teman yang “terpaksa” hidup dengan pola PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad), karena rumah dan keluarganya di Yogyakarta tetapi dinasnya di Jakarta. Setiap Jumat malam naik kereta api bisnis ke Yogyakarta, dan ahad malam naik kereta api bisnis ke Jakarta. Dua belas jam perjalanan tentu sangat melelahkan.

Ketika saya tanyakan apa tidak lelah, seorang anggota komunitas PJKA itu menjawab, “Jangan lagi dirasakan”.

Jadi, jangan takut dengan kesulitan hidup. Karena yang kita perlukan adalah kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan kesulitan tersebut, bukan menghindarinya. Hadapi saja semua kesulitan dalam kehidupan dengan sikap positif, maka kita akan selalu bersama kebahagiaan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun