Gusti Purnama berdiri di tengah Lapangan Puputan Margarana. Langit Denpasar merangkul tubuhnya yang mulai renta, tapi urat-urat di lehernya masih menegang seperti akar beringin tua yang tak pernah gentar dihempas angin.
Di belakangnya, seribu lebih saudara berdiri berjajar, mengenakan kain adat dan udeng, wajah mereka keras seperti batu padas yang sudah hafal doa-doa leluhur. Tapi hari ini, mereka tidak sedang menjaga upacara keagamaan, tidak pula mengatur lalu lintas odalan.
Mereka sedang menjaga satu hal yang lebih suci dari pura, lebih berat dari keris pusaka: harga diri.
**
"Preman bukan bagian dari adat," teriak seorang lelaki bertubuh kecil dengan suara meledak seperti petasan Galungan.
"Mereka bilang kami ormas, kami bilang kami penjaga. Penjaga jalan, penjaga upacara, penjaga desa, penjaga jiwa kami sendiri," sambungnya. Orang-orang menepuk-nepuk dada. Bunyi tangan di dada terdengar seperti suara gamelan marah.
Mereka tidak membawa senjata. Tapi kalimat mereka adalah tombak. Satu per satu dilemparkan ke langit, berharap ada yang mendengar, mungkin juga Tuhan yang bosan mendengar doa-doa tanpa tindakan.
**
Namanya tidak disebutkan di berita. Tapi dia ada. Lelaki tua yang matanya redup seperti lampu tempel yang kehabisan minyak tanah. Tapi ketika dia bicara, redup itu menjadi nyala.
"Ngayah tanpa gaji, bukan karena kami bodoh. Tapi karena kami tahu, menjaga adat itu seperti menjaga api di perut gunung. Harus siaga, tapi jangan meledak. Kalau meledak, desa bisa terbakar. Kalau diam, adat bisa padam."