Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

QRIS, Kampungku, dan Kenangan Uang Receh yang Kini Tinggal Kenangan

10 Mei 2025   18:55 Diperbarui: 12 Mei 2025   11:22 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Saya lahir di ujung paling utara Kabupaten Maros, tempat di mana sinyal kadang harus dicari pakai jurus berdiri di atas kursi bambu.

Waktu kecil, saya bisa dapat uang receh cuma dengan bantu angkat ember, antar daun pisang ke tetangga, atau nyanyi lagu 'Naik-Naik ke Puncak Gunung' pas ada tamu datang.

Hidup sederhana, tapi rejeki tak perlu scan barcode. Cukup dengan senyum, kadang dapat seratus perak. Lumayan, bisa beli kue bolu plastik di warung Hajji Andi.

Dulu Seratus Perak Cukup, Sekarang Butuh Sinyal dan Kamera

Receh itu dulu gampang didapatkan. Bahkan waktu jadi anak paling kecil di masjid, saya dapat bagian sisa kembalian infak. Tapi sekarang? Dompet orang kampung makin tipis, bukan karena miskin, tapi karena semua uangnya pindah ke layar HP.

Menurut Muchtar et al. (2024), QRIS memudahkan transaksi. Tapi bagi saya dan warga kampung yang sinyalnya harus naik ke pohon jambu, QRIS lebih cocok dijadikan nama anak muda: Qori'ah Rismayanti.

Di Maros, uang koin mulai hilang. Bahkan anak-anak yang biasa beli permen pakai koin kini harus 'scan'. Lucunya, banyak warung belum siap. Saya pernah lihat emak-emak di Pasar Camba gelagapan waktu ditanya, 'Ada QRIS?' Dia kira itu singkatan dari 'Qadarullah Riski Ilang Seketika.'

QRIS dan Masa Depan yang Tidak Bisa Dipalak

Dulu kalau ada acara nikahan di kampung, saya dan teman-teman bisa keliling bantu ambil piring, dapat amplop kecil berisi lima ratusan. Sekarang, pembayaran sistem 'saudara' digantikan oleh sistem 'scan di depan tenda'.

Menurut Prihatiningtias (2025), pengaruh sosial dan kemudahan jadi faktor adopsi QRIS. Tapi di kampung saya, pengaruh sosial itu namanya 'rasa nggak enakan'. Kalau belum bayar secara tunai, berasa belum dianggap hadir.

Anak-anak kampung kini tidak bisa lagi numpang rejeki dari tradisi. Mau jadi tukang parkir dadakan pun, kalau tak punya QRIS, mereka cuma dapat capek. 

QRIS memang membuat transaksi lebih praktis, tapi membuat interaksi jadi lebih mekanis. Kadang saya rindu, minta maaf dengan uang koin lima ratus. Sekarang, minta maaf saja harus kirim e-wallet.

Jangan Salahkan Orang Kampung kalau Lambat Digital

Puspitasari & Salehudin (2022) menyebut bahwa dukungan pemerintah dan kepercayaan jadi faktor penting dalam adopsi QRIS. Tapi di kampung, kepercayaan itu dibangun dari ngobrol panjang lebar, bukan dari brosur.

Saya pernah diajak pelatihan QRIS di kecamatan, tapi sinyalnya kalah cepat dibanding ayam lari dari kandang.

Di sesi tanya jawab, seorang ibu bertanya, 'Kalau saya scan QR-nya, uangnya bisa langsung masuk dompet saya?' Narasumber menjawab, 'Iya Bu.' Ibu itu lalu bertanya lagi, 'Tapi saya tak punya dompet digital, masuk ke mana?' Semua terdiam. Kadang, yang perlu dibangun bukan hanya jaringan, tapi juga pengertian.

UMKM dan QRIS: Ketika Lemari Es Tak Cukup untuk Simpan Sinyal

Saya punya tetangga, jualan es cincau. Setelah diajak ikut program QRIS gratis, dia senang bukan main. Besoknya, dia pajang stiker QRIS di depan warung, persis di sebelah lemari es. Tapi pembeli yang biasa bayar tunai jadi bingung.

Menurut Faisal et al. (2024), trust dan sikap pengguna itu penting. Tapi bagaimana bisa percaya pada kode QR kalau tiap hari HP-nya harus dicharge 3 kali sebelum Dzuhur?

UMKM kampung memang kreatif, tapi mereka bukan pesulap. QRIS bisa membantu, tapi juga bisa membingungkan. Kadang orang tidak mau scan bukan karena gaptek, tapi karena sinyalnya belum sembuh dari pilek semalam. Menurut WSEAS (2022), QRIS adalah game-changer. Tapi kalau game-nya Mobile Legends, kampung kami belum bisa main ranked.

Dari Anak Kampung ke Dunia Scan-Scanan

Saya, yang dulu dapat uang dari bantu panjat kelapa, kini harus belajar scan barcode untuk bayar kopi.

Menurut Wirabuana et al. (2024), kemudahan dan kepercayaan terhadap QRIS mempengaruhi perilaku digital. Tapi kampung mengajarkan saya satu hal penting: kadang yang lambat bukan sinyal, tapi kita yang lupa pelan-pelan mengajari.

QRIS tak bisa dihindari. Tapi jangan paksa kampung untuk langsung berubah. Biarkan ia beradaptasi, dengan gaya dan jalannya sendiri. Karena uang itu penting, tapi cara kita menyapa dan menyerahkan uang---itu yang membuat kita tetap manusia.

Uang Dulu Diberi, Sekarang Harus Dipindai

Dulu, saya bisa dapat uang dari main bola di sawah, dari jaga kambing, dari bantu buang sampah. Sekarang, saya harus tahu cara bikin QR, nyambungin ke akun bank, dan mengerti fintech. Dunia memang berubah. Tapi kampung saya, tetap menjadi tempat di mana kebaikan tidak butuh sinyal kuat.

QRIS boleh masuk ke desa. Tapi jangan lupa: masih banyak yang pegang HP, tapi belum tahu apa itu OTP. Dan saya, anak kampung dari ujung utara Maros, hanya ingin bilang: jangan biarkan digitalisasi menghilangkan rasa. Karena di kampung, uang boleh digital, tapi senyum tetap manual.

***

Makassar. 10/05/2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun