Pagi itu, saya bergegas ke ATM. Bukan untuk menarik uang segunung atau mengecek saldo yang selalu bikin miris, tapi untuk mentransfer cicilan motor. Sebuah ritual bulanan yang, entah kenapa, selalu terasa menegangkan. Seolah-olah mesin ATM itu bisa membaca isi hati dan dompet saya yang sama-sama tipis.
Sampai di depan ATM, langkah saya dihentikan oleh ibu-ibu penjual jalangkote dan panada. Wajahnya ramah, senyum tulus, tangan cekatan membuka kotak berisi jajanan. Tanpa basa-basi, beliau menawarkan dagangannya.
"Jalangkote' nak? Panada' sekalian?"
Saya spontan mengiyakan. Sebungkus kecil jalangkote berpindah tangan, seperti semacam penebusan dosa karena terlalu sering lewat tanpa membeli.
Tapi bukan jalangkote itu yang bikin saya merenung. Pertanyaan yang menggelitik datang justru sesudahnya: Apakah ibu-ibu ini berpikir semua orang yang ke ATM pasti narik uang buat belanja?
Kalau iya, saya maklum. Logika sederhana: orang yang mampir ke ATM berarti ada duit, minimal cukup buat beli jalangkote. Tapi logika ini seperti kurikulum di banyak sekolah: terlalu yakin semua orang sama, padahal tidak semua orang datang untuk tujuan yang sama.
Saya berdiri di antrean ATM, sambil mengunyah jalangkote, pikiran melantur. ATM ini, jangan-jangan, mirip kurikulum pendidikan kita. Orang datang ke sini dengan tujuan berbeda: ada yang narik uang, ada yang transfer, ada yang cuma cek saldo, ada juga yang sekadar ngadem. Tapi mesinnya sama, tombolnya sama, rutenya sama.
Begitu juga kurikulum.
Anak-anak dari latar belakang berbeda, dengan minat dan potensi berbeda, dipaksa menempuh rute yang sama. Seolah-olah semua datang ke ATM buat narik uang.
Lalu saya ingat Ibnu Sina. Bukan karena beliau doyan jalangkote, tapi karena pandangan beliau soal kurikulum.
Ibnu Sina mengajarkan bahwa pendidikan itu seperti rute perlombaan: harus jelas, bertahap, dan sesuai dengan kesiapan pesertanya. Anak-anak tak bisa disamakan. Ada yang siap belajar qur'an, ada yang butuh belajar syair, ada yang baru perlu olah raga dan seni suara. Kurikulum itu rute, tapi bukan jalan tol yang seragam jalurnya. Harus ada tikungan, tanjakan, bahkan pit stop, sesuai usia, potensi, dan kondisi psikologis anak.
Tapi kurikulum kita? Lebih mirip jalur antre ATM. Satu jalur untuk semua, tanpa tanya dulu siapa mau ngapain.
Kembali ke ibu penjual jalangkote. Saya membayangkan, kalau ibunya Ibnu Sina yang jualan di depan ATM, mungkin beliau tak langsung sodorkan jalangkote. Mungkin beliau tanya dulu:
"Mau transfer atau narik uang, Nak? Mau beli jalangkote atau lagi bokek?"
Baru setelah tahu, beliau sesuaikan dagangannya. Kalau saya lagi mentransfer cicilan motor dan saldo pas-pasan, mungkin beliau nawarin senyuman gratis saja, bukan jalangkote.
Itulah kurikulum versi Ibnu Sina: menawarkan materi sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan anak. Tak semua anak dipaksa makan panada kalau mereka butuh bubur kacang hijau. Tak semua anak disodori matematika rumit kalau baru belajar mengaji.
Pendidikan yang baik, kata Ibnu Sina, berangkat dari relevansi. Ada tahapan-tahapan perkembangan yang harus dipertimbangkan. Mulai dari olah raga dan seni di usia dini, menghafal syair dan qur'an di masa kanak-kanak, sampai penjurusan minat dan bakat di usia remaja.
Kalau sistem pendidikan kita terlalu yakin satu jalur cocok untuk semua anak, itu seperti ibu penjual jalangkote yang yakin semua orang di ATM pasti narik uang buat jajan. Padahal, mungkin sebagian besar cuma mau transfer cicilan, sambil berharap saldo cukup sampai akhir bulan.
Dan saya? Sambil menunggu giliran di ATM, saya mengunyah jalangkote sambil menggumam: Mungkin pendidikan kita perlu lebih banyak belajar dari Ibnu Sina. Atau, minimal, dari ibu-ibu penjual jalangkote yang tahu caranya membaca situasi.
***
Makassar. 29/04/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI