Kembali ke ibu penjual jalangkote. Saya membayangkan, kalau ibunya Ibnu Sina yang jualan di depan ATM, mungkin beliau tak langsung sodorkan jalangkote. Mungkin beliau tanya dulu:
"Mau transfer atau narik uang, Nak? Mau beli jalangkote atau lagi bokek?"
Baru setelah tahu, beliau sesuaikan dagangannya. Kalau saya lagi mentransfer cicilan motor dan saldo pas-pasan, mungkin beliau nawarin senyuman gratis saja, bukan jalangkote.
Itulah kurikulum versi Ibnu Sina: menawarkan materi sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan anak. Tak semua anak dipaksa makan panada kalau mereka butuh bubur kacang hijau. Tak semua anak disodori matematika rumit kalau baru belajar mengaji.
Pendidikan yang baik, kata Ibnu Sina, berangkat dari relevansi. Ada tahapan-tahapan perkembangan yang harus dipertimbangkan. Mulai dari olah raga dan seni di usia dini, menghafal syair dan qur'an di masa kanak-kanak, sampai penjurusan minat dan bakat di usia remaja.
Kalau sistem pendidikan kita terlalu yakin satu jalur cocok untuk semua anak, itu seperti ibu penjual jalangkote yang yakin semua orang di ATM pasti narik uang buat jajan. Padahal, mungkin sebagian besar cuma mau transfer cicilan, sambil berharap saldo cukup sampai akhir bulan.
Dan saya? Sambil menunggu giliran di ATM, saya mengunyah jalangkote sambil menggumam: Mungkin pendidikan kita perlu lebih banyak belajar dari Ibnu Sina. Atau, minimal, dari ibu-ibu penjual jalangkote yang tahu caranya membaca situasi.
***
Makassar. 29/04/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI