Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Games Pilihan

Game Java, Kenangan, dan Kita yang Tak Pernah Selesai Bertumbuh

27 April 2025   14:25 Diperbarui: 27 April 2025   14:25 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: smart2000s.com

1. Game Sederhana, Kenangan Tak Sederhana

Kalau bicara game Java, sebenarnya kita bicara tentang sesuatu yang---kalau dilihat dengan mata hari ini---tidak masuk akal. Grafis pixel, layar kecil, tombol kaku. Bandingkan dengan ray tracing dan neural engine zaman sekarang, perbandingannya seperti membandingkan becak dan Tesla. Tapi lucunya, becak itu yang kita rindukan. Karena di balik kesederhanaan game Java, ada kenangan yang berlapis-lapis. Dalam neuropsikologi, ini disebut nostalgia bias---kecenderungan otak untuk menghias masa lalu, menaburkan glitter di atas sesuatu yang biasa-biasa saja. Kita ingat Bounce bukan cuma sebagai bola merah, tapi sebagai sahabat seperjalanan, penyelamat di tengah kelas yang membosankan. Bahkan, si Snake Xenzia bisa jadi simbol perjuangan hidup: terus maju, makan apa saja yang bisa, tapi jangan sampai nabrak diri sendiri---mirip hidup kita sekarang.

2. Teknologi Jadul, Ekonomi Modern

Zaman itu, kita belum kenal istilah microtransaction, tapi sudah merasakannya. Game Java diunduh lewat layanan berbayar di televisi. Bayar pakai pulsa, bukan kartu kredit. Setiap unduh, ada risiko: pulsa ludes, game tidak sesuai harapan, atau lebih parah---kena tipu iklan. Ini adalah contoh paling primitif dari freemium model yang hari ini merajalela di industri game. Para ekonom digital mungkin akan menulis panjang lebar tentang ini di jurnal, tapi intinya sederhana: senang-senang ada harganya, dan kita sudah mencicil itu sejak era Java. Sekarang, kita bayar untuk skin, untuk level tambahan, untuk booster. Dulu, kita bayar untuk grafis seadanya, tapi rasanya sudah seperti beli kebahagiaan.

3. Komunitas Pixel dan Budaya Kolektif

Game Java bukan sekadar hiburan pribadi. Ia adalah pengalaman sosial. Di tongkrongan, satu HP bisa jadi pusat keramaian. Satu orang main, yang lain jadi komentator, wasit, atau pengganggu. Bluetooth adalah jembatan penghubung, meskipun lebih sering putus di tengah jalan. Tapi dari situ, muncul cerita: bagaimana file .jar yang gagal dikirim bisa jadi bahan canda seharian. Benedict Anderson, dengan teori imagined community-nya, mungkin tidak pernah membayangkan HP Java, tapi konsepnya tetap relevan. Kita adalah komunitas yang terhubung bukan karena Wi-Fi atau 4G, melainkan karena pengalaman yang sama. Ini yang sekarang hilang. Main game bareng di kafe, tapi semua sibuk dengan layar masing-masing, saling diam, saling asing. Teknologi makin canggih, tapi kita makin jauh.

4. Dari Kenangan ke Refleksi Sosial

Dalam sosiologi digital, ada istilah social capital---modal sosial yang kita bangun lewat interaksi. Game Java adalah bentuk paling tulus dari modal sosial itu. Kita membangun hubungan, bukan lewat koneksi internet, tapi lewat pengalaman bersama yang sederhana. Ketika satu orang gagal lompat di Bounce, satu tongkrongan ikut kecewa. Ketika skor Snake tembus 9999, semua ikut bangga. Ini bonding yang sekarang sulit ditemukan di dunia digital yang serba cepat. Semua game sekarang menawarkan dunia luas, grafik memukau, tapi tak ada yang menawarkan rasa kebersamaan yang sama. Robert Putnam pasti mengangguk setuju: kita kekurangan bonding, terlalu banyak bridging. Koneksi kita luas, tapi rapuh.

5. Nostalgia: Bukan Mundur, Tapi Mengingat Siapa Kita

Akhirnya, nostalgia pada game Java ini bukan tentang ingin kembali ke masa lalu. Dunia terus bergerak, Java ME sudah jadi fosil digital, digantikan Android dan iOS. Tapi nostalgia ini adalah cara kita mengingat siapa diri kita---anak kecil yang bisa bahagia hanya dengan keypad dan layar mungil. Mahbub Djunaidi, dalam gaya khasnya, mungkin akan berkata: "Kebahagiaan itu sederhana, kadang cukup segenggam pixel." Dan itu benar. Kadang saya bertanya, kenapa kita mengejar teknologi yang semakin besar, tapi kebahagiaan justru makin mengecil? Jangan-jangan, kita terlalu sibuk membesarkan layar, tapi lupa membesarkan hati. Maka jangan heran, kalau suatu hari nanti saya nekat cari file .jar, pasang emulator, main Bounce lagi. Bukan untuk mengejar skor, tapi untuk mengingat bahwa bahagia itu sesederhana lompat-lompat pixel di layar kecil. D

an itu cukup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Games Selengkapnya
Lihat Games Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun