Mohon tunggu...
Hukum

Apakah PKI Masih Ada di Indonesia? (Sejarah Singkat)

10 Juli 2018   09:02 Diperbarui: 10 Juli 2018   09:06 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan 

Undang-undang dasar merupakan dokumen historis atas dasar mana revolusi dimulai dan yang dapat dipakai sebagai landassan guna penyelesaian revolusi pada tingkat sekarang. Undang-undang Dasar 1945 cukup demokratis dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan lebih menjamin terlaksananya demokrasi terpimpin.[1] 

Pada masa Presiden Soekarno pasca kemerdekaan, Undang-undang Dasar 1945 tersebut diproyeksikan dapat menstabilkan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Sebelum itu, pada tanggal 22 juni 1945 lahir piagam Jakarta, yang ditandatangani oleh Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikusno, Tjokrosujoso, A.K Muzakir, Agus Salim, A Subardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin, yang berkaitan dengan perubahan, tambahan dan penyempurnaan Undang-undang Dasar 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal 37 Undang-undang Dasar 1945, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, sampai dengan berlakunya pada tahun 1950.

Namun, sampai akhir tahun 1950 proses untuk perubahan, tambahan dan penyempurnaan Undang-undang Dasar 1945 belum mampu dilaksanakan. Pemberlakuan Undang-undang Dasar 1945 sejak 18 agustus 1945 dihentikan oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst Voor Federal Overleg, BFO) pada tanggal 29 Oktober 1949 di Scheveningen, Belanda. 

Dalam piagam persetujuan yang ditandatangani kedua pihak dinyatakan bahwa mulai saat itu diberlakukan UUD Peralihan bernama Konstitusi RIS.[2] Namun, pada tanggal 14 Agustus 1950 DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan Undang-undang Dasar Sementara NKRI. Sebagai konsekuensi, Konstitusi RIS batal dan mulai saat itu diberlakukan UUDS 1950. UUDS 1950 ini ditetapkan berdasarkan undang undang Nomor 7 tahun 1950 tentang adanya perubahan konstitusi sementara republik indonesia serikat menjadi undang undang dasar sementara republik indonesia.

Perjalanan pemerintah Indonesia dengan berlandaskan Undang-undang Dasar sementara tahun 1950, menemui titik akhir menjelang pertengahan tahun 1959. Sebab setelah pemberlakuan UUDS 1950 selama lima tahun, dirasakan perlunya suatu konstitusi yang tetap, yang dibuat oleh pembuat konstitusi (Konstituante). Namun dalam sidang-sidang yang dilakukan gagal dalam menghasilkan naskah konstitusi yang didukung oleh 2/3 suara. Sehingga berdasarkan beberapa konsiderans fakta-fakta tersebut, pemerintah, dalam hal ini presiden, mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 juli 1959 tentang pemberlakuan kembali UUD 1945.

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka kehidupan berbangsa dan bernegara diatur berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 kembali dilaksanakan dengan langkah menuju suatu bentuk pemerintahan yang diamanatkan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi terpimpin dalam UUD 1945 merupakan pemerintahan rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya pengertian terpimpin dalam demokrasi ditafsirkan sebagai terpimpin oleh presiden.[3]

Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin, selanjutnya, telah disepakati prinsip-prinsip pelaksanaan sebagai berikut; (i) Untuk menyehatkan sistem kepartaian, maka harus diadakan penyederhanaan partai-partai yang akan diatur dengan undang-undang kepartaian dan dengan jalan perubahan/penyempurnaan undang-undang pemilihan umum (Undang-undang nomor 7 tahun 1953), tidak dilakukan pembubaran partai-partai. (ii), di dalam DPR akan dibentuk dengan jalan pemilihan umum yang akan datang, akan duduk pula wakil-wakil dari golongan fungsional dalam masyarakat (utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan) di samping wakil-wakil dan partai-partai. (iii). 

Presiden/panglima tertingi mengangkat anggota-anggota DPR dan angkatan bersenjata (AD, AL, AU, dan Kepolisian). Pengangkatan dan jumlah wakil yang akan diangkat diatur dalam UU, dan jumlah seluruhnya ditetapkan 35 orang. Sehubungan dengan pengangkatan tersebut, maka anggota angkatan bersenjata tidak lagi menggunakan hak pilih aktif dan hak pilih pasif.[4]

Dalam ruang lingkup kehidupan partai, yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin, Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian di Indonesia diberlakukan kebijakan dengan prinsip menyederhanakan partai dengan Perpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960, yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PARTAI MURBA dan PARTINDO.

Salah satu alasan mendasar mengapa penyederhanaan partai itu dilakukan, adalah untuk meredam konflik serta persaingan ideology dalam tubuh pemerintahan. Tercatat bahwa sebelum penderhanaan partai itu dilakukan, terdapat 29 partai lengkap dengan ideology yang partai-partai itu usung. Kemudian, Perhelatan pertarungan partai-partai tersebut terimplemetasi pada tahun 1955, sekaligus menandai untuk pertama kali pemilu dilaksanakan di Indonesia. 

Dengan lahirnya kebijakan baru tentang penyederhanaan kuantitas partai, justru konflik dan pertentangan yang terjadi masih belum menunjukan tujuan dari kebijakan itu sendiri. 

Sehingga, untuk meredam konflik yang terjadi antar kubu partai, maka diselenggarakanlah pertemuan antar parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Untuk selanjutnya, pemilihan umum yang kedua terjadi pada tahun 1971, berlangsung pada masa kepemimpinan Soeharto atau yang lebih akrab disebut dengan masa kepemimpinan era demokrasi Pancasila.

 

1.II. Konflik dan Kehidupan PKI pra tahun 1966

 Setelah Revolusi Agustus 1945 meletus, Soekarno menginginkan adanya satu partai, yaitu PNI; sehingga PNI dapat menjadi sebuah Staatpartij (partai Negara). Hal ini ia maksudkan agar bangsa Indonesia yang sedang berjuang melawan aggressor asing terwadahi dalam satu partai, dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia merupakan tinju yang mematikan bagi aggressor asing.[5] Hal itu bisa jadi dikuatkan oleh sejarah dari PNI sendiri yang sempat menjadi sebuah partai dengan  massa yang besar pada tahun 1927. 

Dalam situasi obyektif yang terjadi saat itu, tidak dimungkinkan bagi Presiden Soekarno untuk membentuk partai besar yang mampu mengakommodir segala kepentingan dari tiap elemen rakyat. Sehingga sebagai bentuk tidak mungkinnya niat presiden terlaksana, maka dengan maklumat November pemerintah, bermunculah partai-partai politik baru. Melihat dan menghadapi situasi demikian, maka mau tidak mau, presiden harus hidup di luar partai, untuk kemudian merangkul semua elemen partai dengan tujuan membentuk kekuatan yang besar.

 Akan tetapi, pada akhir tahun 50'an sejumlah musuh mulai bermunculan di depan soekarno. Mulai dari usaha terror untuk melikuidasi soekarno, pemberontakan sparatis daerah dan perlawanan dari angkatan darat yang dipimpin oleh nasution. 

Karena tidak setuju dengan sistem parlementer, sehingga terlalu banyak mencampuri urusan angkatan bersenjata. Itu adalah beberapa tantangan berat yang harus dihadapi oleh Presiden seorang diri. Maka beralih dari konflik-konflik tersebut, Presiden Soekarno malukan manuver politik baru untuk mencari dukungan. Dan dalam pencarian dukungan tersebut, jatuh kepada partai komunis Indonesia/PKI. 

Konflik yang terjadi setelah Presiden dengan tegas meminta dukungan kepada PKI, justru semakin bergejolak. Terjadi beberapa konflik yang sifatnya sangat ideologis. Banyak sekali gerakan yang tidak mendukung keputusan Presiden Soekarno. Terlebih lagi dari gerakan yang dipimpin oleh Mohamad Hatta dan Nasution, yang sejak berakhirnya Tragedi di Madiun pada tahun 1948, sejak awal telah mengeluarkan sikap anti komunis. 

Selanjutnya, pada 6 maret 1960, dengan berdasarkan dekrit presiden, parlemen hasil pemilu dibubarkan. Kemudian pada 29 Maret 1960 dibentuk Parlemen baru yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPRGR). Dengan beranggotakan 130 orang anggota parpol dan 131 orang dari golongan fungsional, di mana PKI mendapat 30 kursi, yang berarti 9 kursi kurang dari hasil pemilu parlemen 1955.[6] Hal tersebut menjadi tamparan dan pukulan yang keras, mengingat tujuan PKI adalah membuat gerakan damai dengan masuk ke dalam tubuh pemerintahan, untuk menciptakan negara sosialis.

 Gerakan-gerakan yang timbul dari PKI setelahnya, karena beranggapan dengan adanya kebijakan yang menata ulang tatanan parlemen tersebut tidak mencerminkan demokrasi, lebih banyak berwujud aksi-aksi kaum tani di pedasaan, aksi sepihak, lengkap dengan tuntutan dan semboyanya. Kemudian pada tahun 1962 di Kediri, terjadi clash atau pemberontakan antara kaum tani dan tentara.

Dari gerakan-gerakan yang terkonsentrasi hanya pada tingkat daerah tersebut, akhirnya menimbulkan tragedy yang besar ke depanya. Konflik pemerintah yang dipicu dari masih kurang kuatnya konstitusi, menimbulkan ketidakjelasan fungsi dari tiap-tiap lembaga negara. Sehingga masih berpotensi terjadi penyelahgunaan wewenang yang dilakukan oleh beberapa  lembaga negara.

 Pergolakan di tubuh pemerintah dan pergolakan di lintas masyarakat, akhirnya berujung pada tragedi besar, yang terjadi pada 30 September 1965. Efek dari tragedy tersebut, salah satunya adalah beralihnya kepemimpinan yang sebelumnya dipimpin oleh Ir. Soekarno, selanjutnya beralih kepada Jendral Soeharto. 

Pun kursi pemerintahan telah beralih, maka kebijakn-kebijakan baru pun lahir. Salah satunya adalah kebijakan yang menyatakan 'Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme'. 

Secara hukum, yang dijadikan dasar untuk mengeluarkan kebijakan dalam upaya pembubaran dan pelarangan partai komunis Indonesia adalah bersumber pada pasal 3 UUD 1945  (naskah asli), disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR  berwenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara dalam arti luas.[7] Sehingga berdasarkan sumber hukum tersebut lahirlah TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 pada 5 juli tahun 1966. Yang dengan tegas menyatakan untuk membubarkan serta melarang partai komunis Indonesia berdiri, hidup dan mengikuti pemilu kembali.

 Dengan ditetapkannya TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966, maka sejak saat itu PKI sebagai Partai Politik dinyatakan dibubarkan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang diklaim sebagai ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang.

Sehingga dari penjelasan di atas kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sejak diberlakukannya TAP MPRS No. XXV tahun 1966, PKI sebagai partai politik sudah tidak memiliki eksistensi lagi di Indonesia.

 
  
 Daftar Pustaka

[1] . Nuruddin Hady, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Setara Press, malang, 2010, hlm. 113

   

[2] . Ridwan Saidi, Sekitar tuntutan Rakyat kembali ke UUD 1945, jakarta, 2006, hlm. 10

   

[3] . http://www.gurusejarah.com/2015/01/pelaksanaan-demokrasi-terpimpin.html. Diakses pada tanggal 21 april 2016

[4] . ibid. hlm 114

   

[5] . Imam Soejdono, yang berlawan membongkar tabir pemalsuan sejarah PKI, Resis book, yogyakarta 2006, hlm. 279

   

[6] . ibid, hlm. 290

   

[7] . Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pegeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,FH UII Press, 2004,hlm.39.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun