Mohon tunggu...
Pablito del Sol
Pablito del Sol Mohon Tunggu... Freelancer - LEVANTATE Y ANDA! Hidup adalah sejarah dalam rangkaian Sabda

Penikmat Sabda dalam linea kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kita Sedang Gawat "Obesitas Digital", Ayo Operasi Segera!

21 April 2020   00:08 Diperbarui: 21 April 2020   13:04 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: batamtoday.com

Salah satu akibat pandemi covid 19 yang sedang kita rasakan adalah kita harus menjalani hari-hari kita di rumah saja.  Jika karena alasan yang kuat dan urgen kita keluar dari rumah sekadar memenuhi kebutuhan paling dasar. Itu pun hanya sebentar saja dan penuh dengan kewaspadaan untuk menjaga jarak.

Inilah yang saya rasakan. Kenyataan ini merupakan bentuk positif dari kesadaran akan pentingnya menjaga jarak untuk memutus rantai penyebaran virus corona. 

Pada sisi lain, dengan hanya bekerja dari rumah saja, ada peningkatan jumlah kelompmok orang yang oleh kalangan milenial disebut kelompok "santui". Kelompok santui ini adalah mereka yang masuk dalam kategori "mager" (malas gerak).

Efek lebih jauh dari gaya "santui" plus "mager" adalah adanya peningkatan berat badan dan sebagian menuju kepada gelaja obesitas. Ini juga menjadi bagian dari pengalaman penulis dan yang terlihat juga dalam kompleks sekitar tempat tinggal.

Beragam cara pencegahan terhadap jenuhnya gaya santui dan mager. Salah satunya dengan membaca. Tetapi ternyata  selama masa pandemi ini, lahir juga satu jenis obesitas baru yang saya namakan obesitas.

Obesitas dipahami sebagai keadaan kegemukan berlebihan. Obesitas digital artinya adanya kegemukan berlebihan akibat penggunaan media digital dalam hidup sehari-hari. Baik obesitas tubuh maupun obesitas jenis baru ini sama-sama kita sepakati sebagai satu jenis penyakit dalam konteks yang berbeda.

Obesitas Digital: Efek Baru Pandemi  

Secara tidak sadar, kita sedang menghadapi ancaman obesitas digital. Dengan berdalih mengisi waktu di rumah saja dengan kegiata positif seperti memaca, kita menghabiskan banyak waktu berselancar dalam dunia digital. Sebagian besar kita menggali informasi aktual secara online.

Sebagaimana dilaporkan dari pihak kominfo, lonjakan penggunaan internet selama pandemi covid di Indonesia berkisar 5 sampai 10%. Mentri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Jhony G. Plate mengatakan bahwa kenaikan trafic atau lalulintas data saat ini masih lebih rendah dibandingkan pada saat hari raya yang berkisar pada angak 30 sampai 40% (Tirto.id, 8 April 2020).

Sementara itu, data berbeda dilansir dalam CNN Indonesia. Anggka trafic penggunaan internet selama masa WFH di Indonesia mencapai 40% (CNN Inodonesia, 9 April 2020).

Pada level mundial, berdasarkan riset operator telekomunikasi menunjukkan bahwa penggunaan internet selama masa pandemi covid 19 di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Inggris, Vodafone mendeteksi adanya peningkatan trafic data sebesar 30%. Penyedia internet lainnya, TalkTalk menyebut bahwa  peningkatan sebesar 20%. 

Menyikapi masalah ini, komisaris Uni Eropa, Thierry Breton meminta agar konten dialihkan ke feed definisi standar untuk mencegah jaringan dari kelebihan muatan (techno.okezone.com, 2 April 2020).

Dari dua informasi di atas dapat disimak  dua hal fundamental. Pertama, adanya perbedaan informasi yang diberikan mengenai satu obyek yang sama. Kedua, adanya gejala "obesitas" pada mesin informasi dan teknologi. Dua hal fundamental inilah yang ingin kita gali lebih dalam.

Pengaruh Obesitas Digital Pada Manusia

Tentu saja kegiatan menggali informasi terkini sangatlah bermanfaat. Namun, perlahan kita digiring dalam sebuah fenomena yang kelihatan baru namun sesungguhnya sudah ada sejak lama yaitu kita mengonsumsi terlalu banyak informasi non filtrasi. 

Kita mencari dengan berselancar di berbagai laman dan baranda media sosial untuk memperoleh data dan informasi, namun terkadang (atau boleh jadi sangat sering) data-data tersebut kurang akurat atau tidak valid.

Sebenarnya, kita tidak sedang mencari informasi melainkan sebaliknya informasilah yang selalu menghampiri kita. Itulah kemudahan sekaligus masalah yang terkandung dalam teknologi digital.   

Sebagaimana terdapat dalam contoh informasi yang disebutkan tadi, akibat keseringan disuguhkan secara instan berbagai informasi berbeda, kita akhirnya menelan tanpa proses penyaringan terhadap kebenaran dan keakuratan informasi yang masuk. Lebih lanjut, kita menjadi kesulitan dalam membuat anlisis terhadap realitas sesungguhnya yang terjadi. Kesulitan filtrasi ini menimbulkan efek lanjut pada kerancuan anlisis. 

Lebih parah lagi, kita akan terjerumus dalam berbagai "kepentingan" dari informasi yang ditawarkan. Kita kesulitan menemukan kenyataan akibat kerancuan informasi dan proses anlisis yang minim terhadapa berjuta informasi.

Mesin jaringan informasi saja mengalami kesulitan mengatur trafic data, apalagi pada kita pembaca yang sering juga melibatkan intuisi dan perasaan dalam mengonsumsi informasi.

Tak jarang, pada akhirnya saya (dan kita semua) mengonsumsi berita atau informasi yang tidak akurat (hoaks). Bisa saja, satu informasi itu masih bersifat sementara dan momentual. Namun, kita harus akui bahwa kita langusng menjadikannya sebagai informasi final. Inilah salah satu bentuk kerancuan analisis pembaca dunia digital.

Selain efek yang bersifat umum ini, dapat pula terjadi efek personal. Contoh konkretnya adalah ketika kita dalam masa pandemi covid 19 ini banyak informasi mengenai asal, bentuk, cara penyebaran dan akibat dari covid 19. Tentu saja informasi ini langsung bersinggungan dengan pembaca. Akibatnya timbul kewaspadaan yang sangat berlebihan yang boleh saya sebut dengan kegelisahan atau kepanikan.

Kenyataan terakhir ini melahirkan sebuah desorden informasi yang kemudian melahirkan ke-chaos-an dalam berpikir dan bertindak sang pembaca. Maka tidak heran, reaksi negatif dapat terjadi seperti panic buying dsb.

Realitas ini tidak lahir secara kebetulan, melainkan sebagai hasil dari proses asimilasi informasi yang berujung pada muncul dan terakumulasinya pikiran dan energi negatif dalam diri seseorang. Hasil reaksi energi negatif ini tidak hanya kepada diri sendiri melainkan berdampak juga bagi sesama dan keadaan sekitar.

Jika kita telisik lebih jauh, ternyata akan berdampak lebih besar. Misalkan pembaca yang mengalami situasi tersebut adalah mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah lain yang lebih besar. Tentu mereka ini sangat beresiko dan rentan terhadap stress. 

Dampak terparah selanjutnya adalah pada penurunan imunitas tubuhnya. Inilah jaringan rantai yang teranyam dari obesitas digital selama masa pandemi. Dari mengonsumsi informasi non filtrasi berujung pada penurunan imunitas tubuh pembaca. Kelompok ini tentu lebih rentan terjangkit covid 19 dan bisa berakibat lebih fatal.

Obesitas Digital: Dibedah "Akal Sehat"

Tentu kita sepakat bahwa situasi sebagaimana yang digambarkan pada bagian terakhir tadi tidak kita inginkan. Untuk keluar dari situasi tersebut, kita perlu banyak membuat latihan, sebagaimana latihan bagi penderita obesitas (tubuh). 

Latihan dimaksud adalah perlahan meninggalkan "mager" analisis kritis terhadap informasi. Saya dan pembaca sekalian diundang untuk mampu menjadi dokter operasi akal sehat. Kita harus berani berpantang terhadap informasi. Maksudnya di sini adalah agar tidak hanya mencari informasi sesuai selera dan kemauan (kepentingan) kita lalu kita mengesampingkan keakuratan faktual terhadapnya. 

Kita harus cermat dan mampu mengoperasi dan membedah setiap informasi. Secara ringkas proses pembedahan tersebut adalah memilih, memilah dan menganalisis informasi yang membantu menemukan dan mendekatkan kita kepada realitas sesungguhnya.

Untuk itu perlu latihan rutin menjadi dokter bedah "akal sehat" bagi setiap orang. Inilah pencegahan sederahan namun diakui sulit untuk dibuat di tengah lautan informasi yang membanjiri portal dan laman baca kita masing-masing.

Selamat dan salam beroperasi "akal sehat".

De Sol al Tesoro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun