Lebih dari, itu, sewaktu SMP uang sakuku sangat minimum. Hanya dapat membeli 2 potong pempek atau bakwan saja. Kalau aku ingin jajan lebih, biasanya aku bersama temanku harus rela pulang jalan kaki sejauh 7 Km.
Jika aku ingat-ingat lagi, rasanya aku pernah malu di saat itu. Tapi, faktanya, aku belum pernah bolos sekolah gegara persoalan kurang uang jajan. Maka dari itulah, unsur biaya bagi banyak anak sepertiku memang menjadi pertimbangan yang krusial.
Sekolah Favorit Maupun Sekolah Populer Tidak Selalu Menjamin Kualitas Anak Didik
Benar, begitu, kok. Aku sudah mengalaminya sendiri. Nah, izinkan aku bercerita kembali.
Tahun kemarin (2020), di SD-ku ada 2 orang siswa baru pindahan dari sekolah sebelah. Dua orang siswa inilah yang menggenapkan jumlah siswa di SD kami hingga merengkuh angka 50 orang. Hahaha.
Tapi, ada keheranan tersendiri bagi aku dan rekan guru di SD, terutama tentang alasan kepindahan mereka. Nah, setelah diceritakan oleh orangtua siswa, ternyata 2 anak ini kurang mendapat perhatian ketika belajar di sekolah lamanya.
Selain itu, faktor banyaknya siswa dalam satu kelas telah menjadikan 2 anak ini "tersudutkan" oleh guru.
Aku cukup miris, sih. Soalnya, sekolah mereka sebelumnya sudah dicap favorit bin populer oleh warga desa. Tapi ternyata, tidak ada jaminan khusus bahwa sekolah yang favorit bakal mampu mencetak anak yang favorit pula.
Jadi, kita tak perlu malu kan bila harus memilih sekolah yang ada di desa sendiri?
Orangtua Adalah Kunci
Terakhir, perlu kembali ditegaskan bahwa orangtua adalah kunci. Akan percuma rasanya jikalau anak belajar di sekolah favorit bin unggul namun tiada perhatian yang maksimal dari orangtuanya.