Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengenang "Kejayaan" UN, Ketika Nilai Kognitif Mendatangkan Kebahagiaan Semu

15 Oktober 2020   22:04 Diperbarui: 16 Oktober 2020   14:44 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ujian sekolah. Gambar oleh shutterstock via KOMPAS

Ketika kita berkisah tentang nilai rapor saja dulu, adanya tulisan peringkat 1,2,3....hingga 10 besar sudah begitu menggembirakan. Apalagi kalau didukung dengan apresiasi tambahan seperti piagam penghargaan dan uang pembinaan. Duh, senangnya!

Lalu, apakah ini adalah imbas dari penanaman mindset yang salah? Tidak semata-mata salah, kan. kalaupun salah, berarti sistem evaluasi yang telah berlaku dari zaman lalu yang salah. Sistem evaluasi nasional yang menjadi cikal bakal lahirnya mindset kebanggaan atas nilai kognitif. Upps

Lebih dari itu, kisah UN juga masih berada dalam satu baris titik singgung. Dalam artian, nilai kognitif yang diraih setelah mengikuti UN juga menjadi kebahagiaan besar. Tidak hanya bagi siswa, melainkan juga bagi orang tua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, bupati, hingga gubernur.

Buktinya? Ada pemeringkatan hasil UN terbaik se-satuan pendidikan, se-kecamatan, se-kabupaten, se-provinsi, hingga se-nasional. Hebatnya lagi, tiap-tiap siswa yang merengkuh gelar nilai UN terbaik bin tertinggi diberikan uang pembinaan hingga belasan juta.

Kalau sudah seperti ini, siapa yang tidak bahagia, coba? Bahkan, lembaga bimbel pun ikut terdongkrak reputasinya kalau saja ada anak didik yang berhasil meraih nilai UN terbaik. Benar-benar kebahagiaan yang komplit, ya.

Padahal, jika ditilik dan diulik lagi, semakin terasa oleh kita bahwasannya kebahagiaan atas nilai kognitif itu semakin semu. Tingginya nilai kognitif entah itu nilai rapor maupun UN pada masanya cenderung kurang seimbang dengan sikap para pemilik nilainya.

Contohnya? Coba kamu ingat-ingat lagi, deh. Terutama di masa-masa SMP hingga SMA ketika UN masih diberlakukan. Nilai UN temanmu, bahkan temanku terkadang tidak sebanding dengan perjuangan kita.

Misalnya, temanmu dan temanku itu saat belajar adalah siswa yang biasa-biasa saja. Di kelas tak dapat peringkat. Mindset mereka,yang penting naik kelas. Tapi ketika UN selesai?

Puuuuk! Aku dan kamu tepuk jidad gara-gara nilai  UN si dia lebih tinggi dari kita. seakan-akan hasil yang mereka dapatkan melanggar usaha dan kenyataan. Hiks

Tapi tahun depan? Selamat! Kita sudah beruntung. UN telah dihapus bersamaan dengan menghilangnya kebahagiaan semu. Ya, kukira, nilai kognitif hari ini semu karena semakin tinggi nilainya, maka semakin tidak imbang dengan sikap dan karakter siswa.

Kupikir-pikir lagi, perwujudan nilai kognitif yang cukup realistis adalah di zamanku SD dulu. Tahun 2000-an. Di masa itu, tak ada nilai perbaikan, tak ada nilai remedial sehingga kegiatan bolos sekolah maupun malas buat PR akan mendatangkan angka merah di rapotmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun