Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Standardisasi Pembelajaran, Penting atau Tidak?

21 September 2020   14:37 Diperbarui: 22 September 2020   06:06 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKM sebagai salah satu standardisasi pembelajaran. Foto: Rapor SMA penulis tahun 2010 KTSP.

Beberapa minggu ini para pelaku pendidikan cukup resah dengan gerak-gerik Mas Menteri Nadiem bersama Kemendikbud. Sepertinya pandemi dan PJJ berikut dengan beragam keluh kesahnya bukanlah hal yang mampu menghambat mereka untuk tetap eksis menerbit program.

Terang terdengar bahwa Kemendikbud saat ini sedang mengkaji rencana penyederhanaan kurikulum dan kemudian akan diuji coba di tahun depan.

Warganet bisa dengan mudah memeriksanya. Cukup mengetik kata kunci "ubah kurikulum", lalu beragam artikel terkait rencana ubah perangkat mata pelajaran ini akan muncul. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, isu panas bahwa pelajaran sejarah bakal dihapuskan juga sempat berkeliaran di jagat maya.

Tapi, isu ini segera dibantah oleh Kemendikbud. Melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno, Kemendikbud menegaskan bahwa rencana pelajaran sejarah akan dihapus dari kurikulum tidaklah benar.

Kemendikbud menegaskan bahwa rencana penyederhanaan kurikulum masih berada dalam tahap kajian akademis dan pihaknya mengutamakan sejarah sebagai bagian penting dari keragaman dan kemajemukan serta perjalanan hidup bangsa Indonesia, baik di masa ini maupun masa depan.

Beruntung isu yang berkembang di tengah pandemi ini cepat diklarifikasi. Agaknya, ceroboh sekali bila Kemendikbud sampai harus mengorbankan mata pelajaran sejarah.

Jelas rencana ini tidak sama dengan kebijakan penghapusan UN beberapa waktu yang lalu. Jika penghapusan UN bisa dinilai kontroversial namun positif, maka mengorbankan pelajaran sejarah demi penyederhanaan kurikulum adalah kecerobohan.

Meski demikian, ketika kita menyelami berbagai kurikulum yang telah diubah dari masa ke masa, rasanya tidak banyak yang berubah.

Sebagian orang malah lebih paham bahwa yang diganti hanyalah nama kurikulum tanpa ada penguatan esensi pembelajaran dan kemudahan implementasi.

Salah satu bagian dari kurikulum yang menurut saya masih setengah hati untuk diutak-atik adalah tentang standardisasi pembelajaran. Kalau kita merunut pada Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebenarnya standardisasi pembelajaran adalah acuan untuk mencapai kompetensi lulusan.

Standardisasi pembelajaran adalah bagian dari standar proses dalam SNP. Ilustrasi: Ozy V. Alandika
Standardisasi pembelajaran adalah bagian dari standar proses dalam SNP. Ilustrasi: Ozy V. Alandika

Isinya ialah kriteria minimal proses pembelajaran yang meliputi silabus, RPP, SK, KD, tujuan dan materi aja, alokasi waktu, kegiatan pembelajaran, hingga evaluasi.

Nah, yang sering diutak-atik dalam beberapa kali pergantian kurikulum adalah RPP dan kegiatan pembelajaran.

RPP, dulunya ada yang hanya 2-4 lembar per pertemuan (KTSP) tapi tiba-tiba bertambah jadi lebih dari 20 lembar per pertemuan ketika Kurikulum 2013 mulai berlaku. Dan tahun ini?

Syukurlah RPP jadi tersisa satu lembar. Itu pun berkat imbas dari penyederhanaan kegiatan pembelajaran yang sejatinya terlalu "teoritis" dan "formal". Guru jadi "susah gerak" dalam mengajar.

Lalu, bagian mana yang disebut setengah hati?

Cobalah sejenak kita lihat rapor anak, tetangga, atau saudara di rumah. Baik mereka yang bersandar dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun Kurikulum 2013, semuanya masih mencantumkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di dalam rapor.

Dokpri
Dokpri
Padahal, KKM itu peninggalan-nya KBK alias Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004). KBK menggunakan prinsip penilaian acuan kriteria, yakni memakai kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik.

Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan sebagaimana yang tertera di rapor itulah yang dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Lalu, KKM itu penting atau tidak, sih?

Sejatinya, dilihat dari segi fungsi, KKM itu cukup penting dalam menunjang pembelajaran di sekolah. Terang saja, KKM adalah acuan bagi guru untuk menilai kompetensi siswa sesuai dengan kompetensi mata pelajaran. Selain itu, KKM juga bisa dijadikan target pencapaian oleh sekolah.

Maka dari itulah, kehadiran KKM sangat sejalan bila kita sanadkan ke Ujian Nasional (UN). Dulunya sebelum dihapus, UN ada standarnya, kan? Seingat saya, dulu saat SMP tahun 2009, standardisasi kelulusan dari segi UN adalah 5,5. Sedangkan satuan SD tak ada standarnya.

Oke, itu dulu, dan sekarang UN sudah say good bye dari peradaban. Tapi sayang, tulisan KKM masih tercantum di rapor, kan? Lagi-lagi inilah yang disebut utak-atik kurikulum setengah hati.

Di era Merdeka Belajar, kita semakin sadar bahwasannya nilai-nilai yang tertera di rapor siswa tidak sepenuhnya melambangkan kompetensi mereka. Apalagi hari ini, nilai akhir rapor anak-anak ada yang 95, bahkan 97 dengan KKM 75.

Tidak terbayangkan oleh kita, mungkin anak-anak sekolah pada jenius semua kali ya! Makin tinggi skor di rapor, rasanya values yang bersandar kepadanya semakin buram dan tak bisa lagi sepenuhnya kita jadikan patokan.

Lalu, andai suatu hari KKM benar-benar dihapus, apakah paradigma pembelajaran akan segera berubah?

Gara-gara KKM adalah keluaran dari KBK, saya malah teringat Kurikulum 1994. Ketika saya cek di rapor SD, ternyata K-94 memang belum menggunakan sistem KKM. Bahkan, seingat saya, nilai rapor pada Kurikulum 1994 adalah nilai murni tanpa ada sistem remedial.

Rapor penulis sewaktu SD tahun 2002 dengan Kurikulum 1994. Dok. Ozy V. Alandika
Rapor penulis sewaktu SD tahun 2002 dengan Kurikulum 1994. Dok. Ozy V. Alandika

Dan hebatnya, K-94 adalah kurikulum populis yang mengutamakan local wisdom alias kearifan budaya lokal. Tak percaya? Lihat saja di rapor lama saya ini, tertulis ada mata pelajaran muatan lokal.

Hanya saja, bukan berarti K-94 lebih baik. Di sini saya hanya menyajikan sedikit perbandingan untuk melihat eksistensi kurikulum pembelajaran yang tidak menerapkan standardisasi.

Nyatanya, K-94 dulunya juga memiliki kekurangan. Salah satunya, pembelajaran berpusat satu arah, hanya dari guru.

Nah, dari sini dapat kita tarik sedikit gagasan bahwasannya KKM sebagai standardisasi pembelajaran itu penting, tapi tidak menghasilkan capaian pembelajaran yang diinginkan.

Berdasarkan kacamata Mas Nadiem selaku Mendikbud, beliau mulai menyadari bahwa standardisasi pembelajaran merupakan salah satu kendala dalam dunia pendidikan.

Selama ini, kurikulum menentukan materi tertentu yang dipelajari siswa berdasarkan tingkat kelasnya alias harus seragam.

Karena Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan dianugerahi beragam suku, ras dan budaya, maka bisa jadi standardisasi pembelajaran jadi kurang penting. Inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar disederhanakannya kurikulum.

Tapi, tidak bisa juga kita sebut standardisasi pembelajaran itu tidak penting. Kalau begitu, apa gunanya ada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Standardisasi pembelajaran, terutama dari sisi proses sangatlah penting. Soalnya kita masih butuh alat ukur keberhasilan pendidikan di sekolah. Hanya saja, paradigma belajarnya yang perlu diubah dan sandaran pendidikan dalam cita-cita Merdeka Belajar sudah berubah.

Sandaran pembelajaran hari ini ialah proses belajar yang berorientasi kepada kebutuhan siswanya. Mengedepankan esensi, bukan hafalan materi. Mengedepankan critical thinking dan problem solving, bukan sekadar remembering.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun